Rabu, 23 Desember 2015

,

PAGI YANG TERTEPIS

Tiada mimpi menggiring angin, kesunyian menebus luka. Air mata yang jatuh di ujung daun, menikam sukma. Biarkan aku terseduh. Sebab, ini aku adanya.

Aku melebur dalam sunyi, tidak beranjak dari kamar. Berbaring telungkup, mengeram pesakitan. Pintu kubiarkan menganga sejengkal jari. Supaya merekatahu aku sedang tertidur pulas. Aku hanya menutup mata, Pikiran hanya melanglang buana ke masa silam ihwal kali pertama kamu datang. Waktu itu, ketika senja memburat di kaki langit, cahaya berpendar gelap. Raut wajahmu menjadi buram, bayang-bayang hidungmu tergambar utuh dalam gelap. Matahari hampir terbenam, cahaya jingga menghias di tepian langit. Kamu datang dengan ketenangan mencecap kasih sayang. Meluruhkan jiwa angkuh.
“Aku ingin jujur pada kakak. Tapi, kakak harus janji tidak meninggalkanku dan menjauh dari adek”. Dia bertutur dengan lembut, halus dan santun dengan khas Sundanya. Sesekali dia menatap mataku, dan raut wajahnya tampak sedih.
Aku terkesiap dengan perkataannya. Ada apa dengan dia, tiba-tiba mengeluarkan perkataan seperti itu. Pertemuanku dengannya belum seumur jagung. Aku pun tidak banyak tahu tentangnya, pertemuan yang aku rajuk, ini kali kedua bertatap muka dengannya. Selebihnya hanya ngobrol lewat telepon dan dunia maya.
“Ada apa? kamu nanya kayak gituch” suara yang datar keluar dari bibirku, aku menatap matanya, dia tertunduk rapuh. Kulitnya yang putih bersih tampak merah. Dia rupanya serius dengan perkataannya.
“Kakak janji kan, tidak menjauh dari adek. Aku sudah merasa nyaman dengan kakak dan sayang sama kakak” dia berusaha meyakinkanku dengan tulus. Kini, bibirnya mengatup, sesekali menunduk, mengusap muka dengan kedua tangannya. Dia memperbaiki cara duduknya.
Aku terdiam, entah harus mengatakan apa. Aku tak menyangka ia mengungkapkan perasaannya. Tapi, aku masih penasaran dengan dia. Ia takut aku tinggalkan, entah dengan alasan apa. Ketakutan itu menyimpang rahasia besar. Dia setiap tuturnya, ia cukup berhati-hati.
Tiba-tiba Suara terdengar dari ruang tengah “Ian, kamu masih tidur ? tak lama berselang suara itu,  pintu kamarku terbuka lebar, Kak Vicko sudah berdiri di depan pintu.  Aku masih terkulai. di atas kasur, cahaya kamar masih remang-remang. Pikiranku menjadi buyar dan hilang seketika. Dan berusaha mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaan Kak Vicko “Iyah, aku sudah bangun”
“Kamu pergi beli lauk” Kak Vicko sambil memegang uang yang tergulung rapi.
“Iya, kak”
 Kak Vicko langsung membalikkan badannya pergi dan masuk ke kamarnya kembali. Sementara, aku mengenakan baju dan celana. Setelah semuanya sudah rapi, aku bergegas pergi beli lauk. Dalam perjalanan aku baru ingat, saya lupa memakai motor. Padahal motor Kak Vicko nganggur di parkiran.
Aku terlalu terbawa dengan perasaanku, menahan rasa sakit yang menjalar di pusat sukmaku. Tubuh yang kokoh, kini terasa lunglai, juntaian kakiku terasa kaku dan lemah. Sesakit inikah ketika ditinggal oleh seorang yang disayangi. Perlahan pikiran kembali merasuk ke dalam duniaku yang silam.
Kenangan yang bertabur kebahagiaan, kini sirna dengan sekejap hanya dengan kata “jauhin adek kak”. enam bulan perjalanan cinta kita diakhiri dengan enam huruf pula. Ungkapan yang sangat puitis sebelum puisi mengembang menjadi air mata.
Kenangan hanyalah kenangan, air mata kadang tak mampu menebus luka. Tapi, setidaknya air mata mengurangi jejak yang pernah berlalu dengan ketenangan. Hanya sedikit kisah cinta yang berakhir dengan kebahagiaan, selebihnya adalah air mata duka. Pesan singkat kamu kirim pada petang kemarin. Membunuhku perlahan. Derik pintu yang terbuka, menginginkan aku pergi, menyisakan kali rindu yang kerontang. Lembaran pesanmu, hidupmu, dan kisahmu aku usap perlahan. Ku baca dengan mata berbinar, Lelehan air mataku senantiasa terjatuh. Air mata yang jatuh adalah kesetiaan menjagamu.
Dalam perjalanan ke warung yang jaraknya sekitar 30 meter dari kontrakan. Aku sempat menitikan air mata. Penjaga warung itu menatapku penuh curiga
“Kamu kenapa toch mas”
“Nggak ada apa-apa mbak”
“Mata kamu merah”
“Aku baru bangun mbak”
“OoOO” dia tak lagi melanjutkan percakapannya. Dan mengambil makanan yang aku tunjukkan “Telur tiga, Tempe enam biji, dan sayur tiga ribu mbak”
Setalah semuanya selesai aku serahkan uang Rp. 9.000,
“Uang Pas yah” kata mbak penjaga warung.
Kini, aku kembali berjalan pulang ke kontrakan. Kembali menjadi hening, ingatanku kembali kepada seseorang. Deru mobil dan motor bergantian lalu lalang. Terik matahari sedikit membakar, baju yang kukenakan berwarna hitam, menyerap panas. Peluh membasahi tubuhku, sesekali menetes di keningku. Kamu selalu hadir dalam setiap senyap, jarak antara kita terlalu jauh untuk bertemu kembali. Ingin kutahu, apa alasan meninggalkanku. Aku tak peduli orang-orang memandangiku seperti apa, mukaku masih kusut, rambutku masih acak-acakan. Maklum semuanya kelupaan. Lupa cuci muka, lupa menyisir rambut. Seperti itulah aku. aku yang terpuruk dengan kepergianmu. Jejak yang telah aku rangkum terlalu menyakitkan di setiap ingatanku.
Pesan singkat yang kamu kirim tempo hari, membuyarkan semua sisi hidupku. Tak kala aku ingin menulis, dan membaca. Ingatanku melumpuhkan segalanya. Kulerai waktu perlahan, kehadiranmu semakin kuat. Kamu semakin terbayang jelas, tubuhmu yang mungil, tingkahmu yang centil dan genit tak bisa menggugurkan perasaanku terhadapmu. Ingin kupeluk erat bayangmu, supaya kamu tak lepas dariku. Kuabadikan dirimu sebagaimana gambar yang kamu berikan, tubuhmu yang dibalut dengan kemeja kuning, rok warna hijau, jilbab warna kuning berbintik hitam, dan sepatu warna hitam cukup sepadan. Apatah lagi dengan kulitmu yang putih bening dan hidungmu yang mancung kamu tampak anggun. Itu abadi dalam ingatanku. Sosok mu yang mungil, adekku sayang.
Lamunanku berhenti lagi, aku telah sampai di kontrakan, ruang tamu kelihatan sunyi, pintu menganga begitu saja. Kaca yang berdebu seolah  tidak pernah dilap, pada hal sekali seminggu kaca itu dibersihkan masih tetap kelihatan kotor. Musim kemarau yang panjang, menghasilkan debu jalan beterbangan tanpa tuan. Hingga melengket di dinding kontrakan ini.
Aku melangkah masuk ke kontrakan itu tanpa salam, kontrakan ini terasa senyap. Kak Vicko hanya sibuk dalam kamarnya. Sedangkan, dua keponakan Kak Vicko sudah pergi sejak pagi  tadi, jam 06.00. kesenyapan dalam kontrakan tiba-tiba berhenti “Kak Makan” kataku.
“Iyah bentar” kata Kak Vicko yang masih memandangi laptopnya, dan sebelum beranjak dari kursinya. Kak Vicko tidak lupa memutar  lagu-lagu legendaris dari Tommy J Pisa. Penyanyi ini adalah favoritku, sebab lagu dan musiknya tidak lekang oleh waktu. Dia selalu ada di setiap hati penggemarnya di setiap zaman.
Makanan telah aku siapkan di atas meja. Walaupun, menu sangat sederhana hanya enam keping tempe, tiga buah telur mata sapi berlumur sambal dan semangkuk sayur bening dari bayang, wortel dan kentang. Menu sederhana itu siap menangkal rasa lapar kami berdua.
Kak Vicko datang  dari kamarnya dan tersenyum simpul melerai kesenyapan dari tadi. Sementara, musik dan lagu Tommy J Pisa terus mengisi ruangan kontrakan ini. “Kamu kenapa...?” kata Kak Vicko.
“aku Nggak kenapa-kenapa kok Kak” sambil tersenyum.
“Bagaimana? Jadi kan ke Tangeran”
“Entahlah kak..!”
“Kalau kamu ingin aku menang, yah ikutlah”
“Hahahahha, kalau gituch aku usahakan kak. Tapi, bergantung kondisi”
Canda dan gurauan kami terus berlanjut. Jingga kekasihku telah terbenam dalam benakku. Kini, Ia harus menepi sejenak di antara canda kami. Cintaku tak pernah ingkar walau kamu tak pernah mengakuinya. Walau kamu di seberang lautan, bersama dengan orang lain. Kamu adalah kekasihku, bukan pacar, bukan teman. Tapi kamu lebih dari itu. Aku mencintaimu selembut engkau meremah duri di langit-langit kesedihan. Di antara ruang rindu aku sematkan namamu. Kamu berhias air mata, aku takluk di bawah keteduhan wajahmu. Kamu tetap dalam jiwaku. 
Oleh; Sampean

Selasa, 03 November 2015

MEMBURU KATA

PERADABAN, BUKU DAN RACUN SOKRATES
Oleh : Sampean
Aku hanya kutu yang melintasi setiap zaman, mencucup di atas ceruk cangkir kehidupan. Mereguk jiwa yang kosong, memburu kata yang tak berlarik. Mencari yang hilang, yang tak pernah ada. Ini hanya senandung liris  dari jiwaku, jiwamu yang hitam. Resahku, resamu adalah sepucuk risau menadah cinta. Ku tunggu dikau dalam buku,  dari nada yang tak bersyair.
Jika kamu mencariku dalam gelap, Pulanglah.
Jika kamu menemukanku dalam Cahaya, pergilah.
Sebab, itu bukan aku.
Aku sepat, yang kamu seduh di saban hari.
Peradaban itu hanya bicara pagi, siang, dan malam perihal rasa lapar dan haus. Sedangkan, buku hanya ihwal tentang ingatan. Pertalian keduanya adalah racun. Racun yang membunuh ingatan, mengabdi bersama kematian. Kemudian, terlahir sebagai keabadian. Tahu kamu; keabadian itu hanya epos kepahlawanan dari keringat, air mata,  dan darah. Buku itu adalah narasi keabadian dari nadir peradaban. Manakala Socrates menenggak racun, dia berakhir sekaligus bermula. Jiwa pembangkangannya hidup bersama senarai pengarang. Mungkin sederhananya seperti itu, tentang aku sepenggal buku. Napasku lecut dalam naskah, ku semai kata per kata berasa lelucon yang tak ingkar.
Sungguh coretan yang hadir dalam dalam karya peradaban, buku, dan racun Socrates hanya petikan kehidupan keseharian. Buku ini adalah jenjang waktu 2010-2014 melingkupi beberapa peristiwa. Buku ini hanya menyimak yang terlintas dalam ingatan, itu pun tak utuh. Hanya kecut, yang meletup oleh kegelisahan menerjang penulis. Mungkin, itu yang dianggap penting untuk direkam. Resapi saja di setiap bagian yang terdiri dari; pendidikan, Kebudayaan, Kota dan masalah-masalahnya, demokrasi dan mahasiswa.
Dari keempat bagian tersebut serba tanggung; data yang belum akurat, penjelasan yang masih nyelimet dan beberapa peristiwa belum usai. Menyelamlah ke dalam setiap bagian itu, pembaca akan tahu “bagaimana aku” atau “aku di sisi lain”. Bisa jadi, apa yang telah tercoret adalah kekeliruan atau kebenaran yang belum tersingkap. Maka, perlu ku jabarkan setiap bagian, supaya tak sesat dalam kebenaran. Misalnya; di bagian pertama, tentang pendidikan terdiri tujuh tulisan, merangkum pokok persoalan mengenai literasi. Bagian Kedua, kebudayaan, terdiri dari delapan tulisan hanya menyemai persoalan-persoalan berserak dan anomali kebudayaan di sekitaran manusia seperti tentang jilbab, kamera, fiksi, mall, agama. Bagian ketiga, Kota dan masalah-masalahnya, yang terdiri tujuh tulisan. Pada bagian ini mengulas persoalan kecil, yang tersisip di dalam kota berupa kejahatan, kekerasan, krisis ekologi, ketimpangan, dan eksploitasi perempuan. Sedangkan bagian keempat demokrasi dan mahasiswa, terdiri dari dua belas tulisan. Bagian ini merupakan telah kritik terhadap kedirian penulis sebagai mahasiswa. Bagian ini pula merupakan oto kritik dan pembelaan terhadap mahasiswa atas perjuangannya. Inilah tafsir seadanya yang aku paparkan, semoga anda tersesat dalam kebenaran.
Jalan sunyi ditepaki dalam keseharian buku ini, seharusnya dijejal dengan membaca. Daraslah dengan hati-hati, bisa jadi akan ditemukan sari pati kebenaran sekaligus kekeliruan penulis. Sebab, karya tak lepas dari kesalehan. Maka perlu kritikan dan saran bagi penulis demi menumbuhkan dan meneguhkan kembali tentang catatan keseharian yang lebih objektif.  Sekiranya, penulis berharap kepada pembaca untuk ikut berkecimpung dalam dunia buku dan literasi.

Sabtu, 26 September 2015

,

IKHTIAR KATA

IKHTIAR KATA 

Tiada terkira, rasa malu lepas lekas hilang penuh ragu-ragu. Sejumput senyum dan tatapan menghela napas panjang meletakkan Jerigen dan mengantre untuk mengisi bensin. jerigen berjejer rapi serupa serdadu, motor berbaris serupa semut. Ahh........aling-aling hanya berupa tatapan sebongkah beku, ramai namun senyap. Mula kata sulit terucap, apakah ini sebuah nestapa. Selekas itu datang, lalu pergi. Ini bukan nestapa, tapi kikuk yang sedang bersulang dengan kerumunan.
Tak perlu riuh, tak perlu galak tawa. Cukup senyum sendiri. Ahh..... mata cuma melotot, tak perlu paham maksudnya. Debu purba hanya cukup melerai, kapan tangis disembunyikan. Kamu hanya perlu duduk, berdiri dan berdiam diri. Lihatlah, yang lalu lalang, menunggu kapan giliranmu mengangkat jerigen itu.
Pesona tampak merungsing. Tubuh gemulai lembut, berhias tato, rambut berurai panjang dengan rona merah bata. Senyum selalu mekar di bibirmu, merekah merah padam. Beruntung kamu tak menggunakan pagar besi di gigimu, yang congkak itu. Hanya saja, Perutmu bontot seolah ngotot melotot, selalu menenggak bir sebotol. Laku mu seolah muram, Aku miris melihat jenjang tubuhmu. Sesekali kamu palingkan muka ke telepon genggammu, kamu tertawa sendirian. Terkadang kamu mengeram menahan tawa, sekelilingmu tak ada yang kocak. Aku pun tercengang melihatmu. Ternyata, di seberang sana ada kawan kamu rupanya. "Maaf aku salah sangka tentangmu" bergumam dalam hati.
Sejenak kuperhatikan kawanmu, dia seolah gelagapan dengan tingkahmu, tersenyum malu-malu pula. Entah...... Mengapa gelagat kamu, seolah tak bersahabat karib? Namun, terlihat dekat. kalian berdendang seloka Bugis - Makassar. Seloka yang tak pernah disyairkan dengan lembut. Tapi, hanya dengan amarah, cacian, dan kebencian. Kalian mungkin selalu bersama, tapi tak serupa. Tubuh kalian kamu balut penuh intrik. Dan mungkin topengmu adalah pitutur mu. Kalian berdua adalah rahasia penuh bimbang, kalian ceruk di atas tanah lapang.
Kulihat "toto bag" yang kamu kenakan berlarik "telacco #katakan dengan lembut" Woow kamu memang nyentrik kulihat lagakmu agak kasar, tak sedikit pun kesan lembut kamu tampakkan. Namun, pesan yang hendak kamu sampaikan mengubah perangaimu terhadapku. Kesan yang hendak kamu tinggalkan, bisa berupa kedamaian dan kelembutan. Tak sengaja, aku melirik jaket kawan kamu yang terbelah "maaf bukan belahan dada" baju kaos yang berwarna, berlengan abu-abu tertera larik "assu #katakan dalang hati" pesan ironik yang hendak kamu sampaikan dicemari dengan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Kata "dalang" seharusnya menggunakan kata "dalam". Atau. Mungkin, aku yang salah menafsirkan kata "dalang" ini, sepahaman ku kata "dalang" adalah aktor, insiator, otak, pelaku dan lain-lain. "Ini hanya pengaruh salah tulis saja" ketusku dalam hati. "Tak apalah salah ketik atau tidak baku maupun okkots. Sebab, itu ada pesan ikonik. Apatah lagi dengan kekurangan "g" atau kelebihan "g" adalah budaya luhur, yang tak punya perangai serupa di Nusantara. Dari gaya pitutur saja, kita sudah tahu bahwa kita serumpun. Kesan ikonik Bugis-Makassar berbahasa Indonesia, membuat kelipungan suku lain.
Bagaimana tidak, kata "kita" dalam suku Bugis - Makassar adalah panggilan penghormatan kepada lebih tua dari penutur. Sementara, dalam bahasa Indonesia adalah kata ganti yang melibatkan antara penutur dan pendengar." Sekedar ocehan dalam hati, melepas lelah antre di pertamina yang kian memanjang.
**
Senja kala, peristiwa sepuluh tahun silam. Gara-gara kata "telacco" Darah mengucur di pelipis mata dan mulut muntahkan darah. tubuh tertelungkup mengeram kesakitan, air mata sempat menitik dari rona wajah yang membiru. Betapa tidak, pukulan telak berulang kali menghujam tubuhku, tendangan putar sesekali merengsek mengenai ulu hati. Tubuh seolah tak berdaya mendapat guyuran pukulan dari dua orang kakak. Seolah, sulit mengelak dari pukulan-pukulan itu yang terus mengenai tubuhku.
Aku begitu lancung di hadapannya, seuntai kata "telacco" jiwaku hampir merenggang. Muka yang merah padam, sungguh murka terhadapku. Dianggap tak layak mengeluarkan kata-kata kotor itu. Apatah lagi, terhadap orang yang lebih tua. Sungguh kata-kata itu membuatku muak, dan murka. Jika terdengar nyaring di telingaku. Mengembalikan luka di masa silam. Bagaimana pula dengan seloka tadi dari anak-anak intrik, jika kata “telacco” diucapkan dengan lembut, kata “assu” diucapkan dalam hati. Mungkin peristiwa itu tak pernah terjadi. Entahlah !
"Mungkin ini pemberontakan bahasa, ihwal penghancuran terhadap bahasa keseharian" ketusku. Seseorang membalikkan badannya  ke aku. Lalu, dia  menatapku dan tersenyum. Entah apa, yang ia pikirkan. Seorang anak mudah, tampak malu-malu berdiri bersama kerumunan orang tua. Dan apa pula yang dilakukan gadis itu, selalu menatapku, kadang tak berkedip. Perjumpaan di kerumunan, hanya menyisakan serupa cerita. Kenangan yang tak beralur
“mungkinkah, kata “telacco” yang diucapkan dengan lembut mengurangi kesan kasar atau mengurangi ungkapan sarkastis yang dikandungnya, apakah pengucapan dengan lembut  bisa mengurangi ketersinggungan pihak lain!”
Bolehkah, aku bertandang di bibirmu, pendengar peluh kata itu. Mungkin menjadi nyanyian syahdu, yang akan ku dengar. Serupa seloka, yang tak pernah disyairkan dengan lembut. Tapi, amarah....
Kini, kamu berlalu..... seperti hilangnya titik, yang lindap di pelupuk mata. Sekian, karena tak ada lagi yang harus ku ucap, kali ini. Cerita ini sudah kukulum dalam nadiku, bisa saja terangkai pada  peristiwa lain untuk dituturkan.
 OLEH: SAMPEAN
Keterangan :
Assu (bahasa konjo) artinya Anjing
Telacco (bahasa konjo) kelamin laki-laki

Kamis, 18 Juni 2015

, , ,

Peradaban, Buku, dan Racun Sokrates

Karya Sederhana ini kupersembahkan kepada penikmat kesederhaan karena proses selalu bermula  dari kesederhanaan. Silakan menikmati suguhanku walaupun itu Sederhana.....!!! Sebab kesederhanaan akan menghentakkan ketika kita menikmatinya. 



Judul      : Peradaban, Buku, dan Racun Socrates

Penulis  : Sampean
ISBN       : 976-602-72506-3-5
Penerbit : The Phinisi Press Yogyakarta

Tahun     : 2015

Halaman : XI+227

Harga      : Rp. 25.000 (Belum Ongkos Kirim)


Sinopsis :
Bagi penulis, buku ini adalah wujud kegelisahan dan kegetiran terhadap potret kehidupan yang kian retak. Kadang kala banalitas kehidupan dirayakan, budaya instan dan pragmatisme dirawat. Nuansa inilah yang dibingkai oleh penulis dalam bentuk buku kumpulan esai. Sebab, perbincangan dalam buku ini tidak jauh dari fenomena keseharian seperti dunia pendidikan, kemahasiswaan, demokrasi, dan problem kehidupan perkotaan yang terekam bak catatan harian. Juga tak ketinggalan bahasan-hahasan nan sederhana yang menggelitik, seperti kehidupan Socrates, perbincangan tentang buku, dan seksualitas sebagai bagian dari peradaban.

bagi teman-teman yang ingin memesan silahkan Inbox atau hubungi di no ini 085-292-039-650./ 

Selasa, 19 Mei 2015

KISARAN PANGGUN HIBURAN

Pengaruh panggung hiburan dalam masyarakat begitu kuat. Terkadang artis dan realitas panggung hiburan diasosiasikan kepada yang nyata. Bagaimana tidak, penjaga warung saja begitu terlarut dalam ralitas sinetron.  Aku dihentakkan panggilan histeris si penjaga warung “ada Tristan” pemeran ganteng-ganteng Serigala. Aku kaget dengan panggilan itu “aaa….!!! Siapa itu Tristan?”. Orang sekitar ku melirik dan menatap ku baik-baik. Si pemilik warung memandang ku dengan nanap dan terus bertutur “kamu kok, mirip sekali sama Tristan pemeran Ganteng-ganteng Serigala di SCTV itu Lho….”. aku merasa gugup berada di antara orang yang memandangi ku. aku berbisik dalam hati “Wouw… aku ganteng ternyata mirip artis sinetron”. Setelah itu, aku beranjak pergi sambil membawa makanan pesan terbungkus kantong plastik putih.

Apa yang aneh dari realitas di atas? Sejatinya, realitas keberadaan tersebut memiliki kedekatan realitas pada panggung hiburan. Realitas panggung hiburan adalah realitas yang dicipta dari kenyataan di ranah sosial. Lalu ditampilkan dalam lakon kepalsuan. Dunia panggung hiburan ditampilkan seolah menjadi nyata. Kemudian, dijadikan rujukan atau representasi kesempurnaan kenyataan yang diyakini kebenarannya. Tak ayal, pesona para aktor dijadikan figur atau sosok ideal dalam laku sosial dan mesti diikuti. Alhasil panggung hiburan menciptakan masyarakat tontonan. Realitas masyarakat menjadi hibrid (kerdil) dan jumud. Sebab kehidupan masyarakat ibarat sebuah panggung hiburan seperti laku-laku sang aktor.

Gaya kehidupan masyarakat mudah diterka karena senantiasa mengikuti perkembangan model kehidupan dalam panggung hiburan seperti kehidupan Tukang Bubur Naik Haji di RCTI, Ganteng-Ganteng Serigala di SCTV, Stand Up Comedy di Metro TV, Facebooker di ANTV, Indonesia Lawak Club di  TRANS 7, Parodi Korupsi di berbgai Stasiun Berita di TV One dan Metro TV, Kuis 2 milyar di ANTV, Horor di film layar lebar, Suster Ngesot, Super Hero, Aliens, Akademi Fantasi di Indosiar. Realitas panggung hiburan tersebut sangat mudah didapatkan dalam masyarakat. Terkadang setiap genre, sekual, dan karakter tokoh menghadirkan komunitas-komunitas sesuai gendre film, karakter tokoh yang dihadirkan panggung hiburan. Maka, panggung hiburan mengukuhkan tokoh-tokohnya sebagai figur yang patut dicontoh, diikuti, dan representasi kesempurnaan.

Tidak perlu heran ketika menemukan komunitas-komunitas yang menyerupai gaya sang Atris sebagai idola. Cara berpakaiannya pun ditiru secara buta. Masih terasa dalam ingatan ramadan Tahun lalu (2014) di daerah Bulukumba  para perempuan mengenakan model Jilbab dan mukena mengikuti Gaya Syahrini, dan Dewi Persik dalam satu lapangan. Inilah realitas serupa tapi tak sama. Lihatlah orang-orang di sekitaran anda begitu banyak komunitas fans club sang Artis seperti fans club Chibi-Chibi ketika berfoto selalu ikutan bergaya mirip sang idola. Lihat pula teman-teman anda bergaya alay ketika menemukan tempat bagus pasti selalu berfoto selfi atau tiba-tiba bergoyang Bang Jali, Goyang Sesar dan Ala Maichel Jakson. Terkadang asyik juga menyaksikan tingkah mereka, soalnya cita-cita mereka belum kesampaian jadi artis. Mungkin stasiun teve lagi pada sibuk kali yah….  Artis-artis ini luput diliput.

Pada dasarnya panggung hiburan adalah realitas kepalsuan dan kepura-puraan. Kenyataan tidak pernah tampak sebagaimana adanya karena kenyataan dihadirkan tiruan dari kehidupan. Lancung malulu ditampilkan.  Apa indahnya menonton pernikahan Raffi Ahmad super mewah seharian! apa gunanya menyaksikan Ashanty  istri Anang Hermansyah Melahirkan! Apa pentingnya mendegar cermah ustads di teve yang hanya terpaku pada layar di depannya seolah-olah menghafal ayat al Quran dan Hadist dan Asyik mempermainkan agama sebagai Barang dagangan. Apakah wajar pemirsa disuguhkan pameran kekayaan artis dengan harga nominal pakaian mereka! Bukan lagi rahasia, teve sangat antusias menyiarkan pameran kekayaan antara Bella Shopie dan Roro Fitria dengan isi tabungan mereka masing-masing. 

Ternyata para pemirsa! kita disuguhkan dengan peluruhan kebenaran. Kebenaran diukur pada pencapaian material dan eksistensi tubuh. Mungkin benar adanya apa yang diutarakan St Sunardi bahwa tubuh merupakan representasi kenikmatan paling nyata. Tubuh yang dipoles dengan balutan make up,  tubuh yang dililit dengan kain sutra berhias mutiara dan tubuh dipersentuhkan dengan daging. Pamor pun dicapai dengan keningratan pengalaman kebertubuhan.
Bagaimana tidak, kehidupan glamour yang dipertontonkan oleh para artis sudah diluar kendali kehidupan normal. Tak ayal tubuh mereka disewakan untuk mendapatkan kenikmatan semalam sebagai pundi-pundi pemasukan. Kesemuanya dilakukan untuk menopang persaingan fashion dan Style di kalangan mereka yang berbiaya besar. Itulah yang menerpa Artis bernisial “AA” dan lain-lain. Kejadian yang menimpa “AA”, publik pun digegerkan dengan praktik prostitusi melibatkan para artis  pengusaha, dan pejabat negara.

Kasus “AA” hanyalah bagian terkecil perilaku yang tak senonoh para artis panggung hiburan di Indonesia. Masih segar di ingatan kita kasus yang menimpa Ahmad Fathana melakukan pencucian uang dengan perempuan-perempuan cantik di sekitarnya. Lihat saja film Ariel Noah Band bersama Luna Maya dan Cut Tari yang memerangkan film porn. Perilaku-perilaku semacam ini adalah hal lumrah di kalangan mereka. Jadi, Tak perlu risau dan kaget kalau ada kejadian seperti ini karena itu memang dunianya. Bisa jadi apa yang dikatakan Nikita Mirzani benar adanya  bahwa tindakan seperti itu wajar-wajar saja sepanjang tidak mengganggu kehidupan orang lain (kapanlagi.com). Mungkin itulah dunia di atas panggung. Penuh dengan sandiwara, Layakkah dijadikan figur ketika hidupnya penuh dengan glamour, harta melimpah, suka menyumban di bulan ramadhan, gonta ganti pasangan dan skandal seks. Mungkin itu sosok figure yang di idealkan oleh panggung hiburan. Dunia panggung yang dicipta manusia hasil cecap dari kebudayaannya sendiri.

 Yahh…..mungkin penulis terlalu sirik dengan kehidupan mereka hidupnya tak karuan itu..Hiks..hiks..hiks…. dan bisa jadi jika penulis dipanggil jadi Aktor juga ikut nimbrung disana.. wk..wk.. tapi, mana mungkin, muka saja pas-pasan.

Oleh : Sampean

Senin, 11 Mei 2015

KOIN

lirih
bertepuk
meringkih
semerbak wangi logam
menutup lubang hidung
gemerisik daun bertutur
mengulung pandang wangi
liur menetes, sajak mengepul lunglai
udara terasa pekat demi serbuk merah
kau timpal loteng rumah tetangga
ada tulang di rumah ku
cukup menyambung lidah mu
kemari
ambil  itu
sambung hajat mu
mungkin
kamu terlalu lelah
membawanya pulang
ahhh... itu
mungkin cukup sebatang


Oleha : Anonim
Yogyakarta, 10-05-15

Senin, 04 Mei 2015

Cinta, Tuhan, dan Perempuan

Aku berharap ada sosok menadah cinta sedang terjatuh dan menyelinap sebagai embun menghapus debu di ujung daun. Sebab, cinta terlalu sederhana untuk diungkapkan dengan kata apalagi dengan rintihan. Cinta tak butuh pendedah yang jelimet. Cinta hanya butuh tatapan mata dan rintihan tetesan hujan menghapus debu di wajahku. Biarkan cinta menubuh dan menebar kesejukan di saat kesunyian menerpa.
Jika kamu butuh pengakuan cinta dari ku, kamu tak perlu resah karena aku dari dulu mengakuimu sebagai kekasih. Cuma, kamu saja sulit memahaminya. Sekiranya cinta yang menggebu dalam jiwa turut menghasut untuk tak memilikimu. ku harap kamu paham yang aku rasakan. Andai kamu butuh pengakuan, ku harap kamu mengakui cinta yang ku beri. Cara ku mencintai mu mungkin tak lazim.
Bagaimana lagi, aku tak ingin memikatmu sekadar pengakuan dan mengikatmu dengan cincin. Bagi ku cinta yang seperti itu hanya memenjarakan. Kamu akan bersangkar emas beralaskan harapan palsu. Hingga pada akhirnya kamu terjatuh dan menetaskan air mata dan Kamu akan mengatakan "aku menyesal mencintai mu, kamu tak ubahnya dengan lelaki bejat sama dengan lelaki lain pada umumnya dan kamu tak menghargai perasaan perempuan". Sesungguhnya perkataan itu aku hindari. Bukannya aku menghindar dengan ketukan cinta mu. Tapi, itulah cara ku mencintai mu, aku menjaga mu dari pesakitan karena aku takut menyakitimu. Jika, aku menyakitimu sama halnya aku menyakiti rahim yang telah melahirkanku. Tapi, ku harap kamu tak mengacukanku, bagaimanapun aku akan datang menyambut mu sebagai teman hidup. Karena terlalu naif ketika aku harus menyebut mu sebagai kekasih. Sesungguh yang pantas menjadi kekasih manusia hanyalah Tuhan.
Mungkin kamu paham persoalan itu, ku tahu kamu adalah orang yang taat terhadap agamamu. Sementara, aku merajuk asa mengakui kesempurnaan agamaku. Aku berusaha meneguhkan keyakinan itu di balik kegelisahan yang selalu bertaluh. Kamu mungkin tidak pernah dihinggapi dengan keraguan sebagaimana aku meragukan Tuhanku.
Ketika kita bersama, kamu begitu zuhu menjalankan ritual agama mu. Terkadang aku iri dengan mu. Aku mengakui mencintai Tuhan ku, sementara aku sering lupa memanjatkan doa kepadanya. Mungkin Tuhan ku terlalu absurd bagi ku. bisa saja kamu beranggapan sama denganku. Sebab, Tuhanku tak pernah tersalib dan merasakan penderitaan manusia. Karena Tuhanku tak sekalipun di lahirkan, apa lagi berwujud manusia dan patung. Mungkin karena itu, Tuhanku menciptakan pertumpahan darah di antara pemeluk agamaku karena Tuhanku tidak pernah merasakan sakit dan terluka akibat sobekan luka pedang dan peluru.
Bisa saja, Tuhan ku tidak mengenal senjata mesin karena dia tidak pernah terlahir di zaman manapun. Sementara, zaman ini teknologi semakin aneh bahkan dia menandingi kekuatan Tuhan. Sekali letup, ribuan nyawa meregang sebagaimana di peragakan di Palestina, Nepal, suriah, Irak dan negeri-negeri muslim. Ahh.... Aku yakin Tuhan ku tak pernah menghendakinya. Sebab, Tuhanku sangat pemurah karena tak pernah pilih kasih kepada setiap hambanya. Walaupun, Hambanya berlomba-lomba menghujatnya tapi DIA selalu bermurah hati menghamparkan reseki kepada hambanya. Mungkin itu perbedaan Tuhan kita dari kasat mata dan pengetahuan kita terhadap Tuhan ku, Tuhan mu dan tuhan Kita. Maaf, aku sedikit rasis dengan membeda-bedakan wujud Tuhan dan membatasinya dengan frase-frase bahasa. Namun, itulah kenyataan manusia menyederhanakam-Nya ke dalam wujud bahasa dan dikonstruksi melalui pikiran manusia.
Sebenarnya aku menolak untuk menjelaskan-Nya dengan kata apalagi dengan kalimat. Karena ku yakin Tuhan hanya ada satu. Tuhanku dan Tuhan musama, cuma orang-orang saja yang membedakannya. Ku harap kamu mengakui bahwa kita satu keyakinan. Walau kita berbeda pandangan dunia. Kuharap cintaku berlabuh di pelabuhan yang tepat. Pengakuan cinta ku terhadap mu adalah peluh merajuk asa mencibir ketunggalan cinta. Ini cukup membahasakannya, kuharap kamu sudah paham perasaan ini. kamu tak perlu menggugat lagi. Nestapa yang kurasakan sudah cukup menyiksa, kini ku butuhkan belaianmu di saat sunyi. Sudah cukup bisikan hati menjadi musuh, luka yang nenar menyiksaku karena cinta yang mendua. Perasaan ini mengganggu ketenangan jiwa yang menghamba pada Tuhan.
**
Mata kita sering beradu, tatapan mu meresap ke dalam jiwa, menyimak rahasia belum terungkap. Rasa penasaran menjadi bayang-bayang kesepian, mulut selalu mangatup untuk mengungkap kata.  Sesekali kamu menyikut dengan sindiran, tapi aku tak pernah merasa bahwa itu aku. Sekiranya, aku tahu ada orang lain menjejakimu dan ingin merangkulmu dalam pelukan. Itulah sebabnya, aku diam dan berusaha menyelami dirimu sebagai perempuan yang penuh rahasia karena diri mu dan perempuan yang lain adalah teka-teki yang tak punya jawaban yang pasti.
Banyak orang mengatakan “perempuan butuh dibelai, dimanja, dijaga dan dikasihi”. Waduh begitu sederhananya perempuan itu. Perempuan terlalu lemah bagiku dari ulasan para pemuja perempuan. Kasihan perempuan-perempuan itu selalu dikucilkan dan diperlakukan  hanya sebagai pelengkap. Perempuan dijadikan sebagai pasangan hidup tak ubahnya sebagai asesoris. Lihatlah para lelaki mu! Sadarilah perlakuannya apakah dia menjaga mu dengan menikmati tubuh mu dan mencumbuimu sebagaimana permintaannya. Kamu hanya bermodalkan pengakuan pacaran, kamu sudah berserah diri kepadanya. Naïf bagi ku menerima semua ini. Apakah ini namanya menjaga perempuan atas nama pacaran dan cinta! Cinta yang seperti terlalu sulit untuk dimaknai, terlalu dekil untuk dihayati.
“Aku mencintamu, tapi jangan pinta aku seperti lelaki yang lain memperlakukan perempuan” caraku mencintamu dengan tidak memilikimu. Itu cara yang paling tepat untuk menjagamu. Maaf, jika selama ini  hanya senyum terumbar dalam diriku dan selalu diam di dekatmu. Sekali lagi, itu cara memuliakan mu. Cinta kasih adalah perasaan hati harus diungkapkan dengan hati sebagaimana penerimaan yang tulus atas hadirmu dalam diriku. Keterpisahan bukan jaminan untuk meredupkan bara cinta. Tapi, keindahan sesungguhnya di saat kita sedang berjuang meraih cinta. Jadi, biarkanlah kita selalu terpisah dan cinta selalu mekar di hati kita masing-masing. Dengan mencintaimu, aku memuliakan Tuhan karena di setiap rahim perempuan adalah perajuk kehidupan. Tanpa rahim perempuan kehidupan tak pernah ada.


Sampean  
Yogyakarta, 3 Mei 2015

Jumat, 27 Februari 2015

INSOMNIA

INSOMNIA

 

mata terasa kuyu

kelopak mata tak jua terkatup

ku rebahkan badan di atas peraduan

mata letih menutup kuncup

ku mekarkan kembali dengan tetasan embun

ku belai, ku tiris lalu ku ketenggak perlahan

kenikmati rasa sendu dari hitamnya genangan

racunnya menjalar di tubuh ku

racun yang menyesatkan mimpi ku

dari kubangan keindahan

aku takut terlelap

dan lupa untuk kembali

 

https://images.search.yahoo.com/images/view;

Kamis, 05 Februari 2015

BIDADARI KU

 BIDADARIKU 

Malam ini, ku tatap lagi wajah mu yang ranum, entah berapa kali aku tatap wajah mu, diri mu tak jua bersimpati terhadap ku. Sebab, tatapan ku terhadap mu, kamu tidak pernah tahu. Di dalam kamar ini aku duduk di bawah temaran lampu neon. Cahaya bulan mengintip di luar sana, mungkin dia iri, aku menatap dirimu. Aku telah mengabaikannya, dulu bulan menjadi pelipur lara  di saat sunyi, teman di kala sendirian. Tapi, kini telah terabaikan dengan segenggam teknologi. Dulu, Aku bersama bulan duduk di beranda rumah di bawah temaran cahayanya. Kini telah berubah dengan tamu yang sengenggam. Tamu ku, ku bopong dia dalam kamar ku, hingga tidur bersamanya pula. Sulit rasanya berpisah dengannya, dia setia dan patuh, tidak sekali pun, pernah menyangkal kehendakku sebagai seorang kekasih. “kata kekasih” mungkin itu yang cocok dilekatkan kepada telepon genggam (HP), smartphone dan sejenisnya. Bagi yang beristri,  telepon genggam adalah selingkuhan. Telepon genggam tidak pernah jauh dari diri sang pemilik. Seperti halnya aku.
Lewat telepon genggam yang aku miliki, aku menjelajahi dunia yang datar, lewat mesin pencari di google, ku temukan media sosial namanya facebook.   tidak sengaja aku menemukan mu di facebook itu. Dirimu berdiri dan tersenyum di balik layar telepon genggam ku. Hidup mu di seberang sana begitu damai, aku malu untuk menyapa mu bahkan aku enggan untuk mengajak mu berkenalan. Tapi, semuanya berubah di saat tidak ada jarak, walaupun tidak saling menatap. Kita tidak duduk bersama dan  tidak berdampingan. Rasa malu telah luruh dengan hadirnya media sosial khususnya facebook. Aku terkadang lancang menggunakan facebook tersebut. aku terkadang menghadirkan Tuhan lewat kotak status yang disediakan, dengan cara berdoa, berzikir selayaknya beribadah di dalamnya. Aku pun tidak sungkan bercerita tentang diriku di dalamnya, bahkan rahasia yang tidak mesti diketahui oleh orang lain, aku umbar lewat kotak status yang disediakan.
Pertemuan di antara kita, kuingat benar di malam itu, aku meminta mu untuk berteman dengan ku. Aku mengklik kotak pemintaan pertemanan atas nama “Nadia”. Malam itu, aku tak sengaja mengklik nama itu, dari deretan nama yang ku ajak untuk berteman hanya diri mu mengonfirmasinya. Tapi, aku tidak tahu, Entah kapan kamu mengonfirmasi permintaan pertemanan ku. Semenjak malam itu, akun facebook ku telah diambil oleh orang lain selama seminggu. Orang itu mencuri chip poker dalam akun facebook ku. Selama seminggu itu, aku berusaha mengambil alih akun facebook ku dan pada akhirnya aku berhasil mengambilnya.
Bermula dari situ, aku sudah malas membuka akun facebook ku karena telah terisi konten pornogarfi dan perempuan-perempuan yang aku tak tahu asalnya dari mana. Tapi, aku penasaran dengan teman-teman yang baru di dalamnya. Di antara teman-teman yang baru itu tak sedikit pun aku mengenalnya. Hanya saja, nama Nadia ada di antara mereka. Nama yang tidak sengaja aku kirimkan permintaan pertemanan, kini hadir dalam kotak chating ku.
Ku sambut Nadia dengan ucapan “hey, Nadia!” aku tahu ini hanya modus mendapatkan perhatian dari mu. Pasalnya dalam kehidupan keseharian ku, sulit rasanya untuk menyapa sosok perempuan yang tidak aku kenal. Maklum dalam keseharian ku, aku hanya bergulat dengan buku, berlari bersama teman lelaki ku, dan berpacu dengan diskusi. Hingga pada akhirnya aku dijejali sebutan “Bencong” lelaki mati rasa. aku sulit mengelak dari cercaan itu, kala ukuran kelelakian diukur saat punya pacar. Aku kalah dari segi itu, bahkan seumur hidup ku tidak mampu menaklukkan hati perempuan. Aku terasing dengan kehidupan yang berpasangan. Tapi kali ini, ku beranikan untuk menyapa mu. Sebab, aku dan diri mu tidak saling menatap hanya larik-larik tulisan yang akan menggambarkan raut wajah kita, entah muka mu jeles, tertawa terbahak-bahak. Intinya aku tidak melihat mu, begitu pun sebaliknya.
Ku tunggu balasan dari Nadia tidak juga ada, titik yang hijau yang menandakan sedang online telah berubah menjadi abu-abu, itu artinya sudah tidak online. Ku abaikan sejenak dengan membuka yang lain, ku perhatikan tebaran-tebaran status di beranda ku. Semua menuliskan status yang galau, aktivitas sedang dijalani, iklan, konten-konten pornografi, ada yang sedang beribadah, foto selfi, foto makanan. Aku bingun melihat semua itu, setiap langkah kecil manusia diutarakan lewat status facebook. Ada yang sedang menulis “lagi mandi”, “ya Tuhan lindungi pacar ku” intinya status manusia di dalam facebook macam-macam. Aku mulai bosan dengan status yang jumud dan chat ku tidak di balas dengan Nadia.
**
Sebulan kemudian, aku kembali membuka akun facebook ku. Kebetulan Nadia juga sedang online, aku iseng-iseng mengintip foto-foto profilnya berusaha mencari tahu tentang dirinya. Di salah satu fotonya, Nadia sedang tersenyum, menunjukkan keramahan, tidak sedikit pun menunjukkan bahwa senyum Nadia karena keterpaksaan. Senyumnya manis sekali, semanis senyum bidadari. Dalam Islam, bidadari dipercaya seorang putri yang sedang berada di surga.
Pesonanya menggoda ku untuk selalu mengganggunya. aku kirimkan terus kata sapaan tapi dia tidak pernah membalasnya. Sampai-sampai aku terpancing untuk mengeluarkan kata-kata kotor untuk mencacinya, cantik-cantik kok belagu. Tapi. Aku menahannya dengan menuliskan di kotak chating “minta dong pin BBnya” tapi belum mendapat respon. Kemudian, aku kirim kedua kalinya. Akhirnya Nadia membalasnya “nga’ pake BB (Blackberry)” mulai dari sini komunikasi mulai lancar, walau masih terlalu kaku.
Aku membalasnya dengan sedikit menyindir“tapi, saat kamu online di status kamu muncul dibuat di blackberry” kemudian Nadia menukasnya kembali “ah ngak kok” aku sih percaya nga’ percaya sebab dalam media sosial, kebebasan adalah milik kita. Entah dia berbohong, itu urusan dia. Kemudian aku melanjutkan obrolan “ouh gi tuch yah, tapi boleh kan kenalan ama kamu”
“Yah boleh aja” kata Nadia….
Kususul terus pertanyaan hingga endingnya aku minta nomor dan ku ajak untuk  bertemu.  dia menolak memberikan nomor teleponnya dan mengelak untuk bertemu. “Biarkan kita berteman dalam bayangan” katanya. Aku teringat pertanyaan pertanyaan sang pendongen Eko Tunas “adakah teknologi menciptakan Cinta!.
Pelupuk mata ku mulai luyu, sementara chating ku bersama Nadia menjadi hambar. Nadia hanya menjadi bidadari bayangan. Sadarlah aku, sesungguhnya dirimu telah bosan meladeni pertanyaan-pertanyaan yang kolot itu, dengan jawaban mu yang seandanya. Jangankan kamu, orang di samping ku pun ikut mencibir ku, sebab kerancingan dengan facebook. Dia bosan melihat diri ku hanya mengusap layar kaca dan menekan tombol-tombol hp. Ketika aku duduk di tempat-tempat ramai entah di kampus, di pasar dan entah di mana aku hanya menunduk mengangkangi HP ku.
Aku mulai bebal, bukan lagi menjadi kutu buku, tapi telah bermetamorphosis menjadi kutu telepon genggam dan smartphone. Dari penggembaraan ku ini, aku memetikkan pesan bahwa aku tercekat dalam lian-lian teknologi dan terperangkat di alam sana. Aku hanya bisa mengelus dan menatap bidadari ku di bawah temaran cahaya neon.
Aku ingin memeluk Tuhan ku dan tubuh mu di telepon genggam ku. Akhirnya kisahmu menutup ku dalam selimut Aroma kematian nurani ku, wahai angin malam sampaikan salam kerinduan kepada bidadari bayangan ku. Ku di sini hanya menatap wajahnya. Sebab kamu ihwal pelajaran tentang hakikat dan pengharapan, sembari menunggu senyum bahagia dari mu. Tapi rasanya penantian itu hanya bualan seperti bahasa puisi.
Dari Sampean 
Untuk "Tirani"

Sabtu, 10 Januari 2015

,

Riwayat Kesepian

RIWAYAT SEPI

Sesepi sunyi, hening menggugat kesepian. Dia hening yang berisik. Serta gemerisik mengganggu riuh yang risih. Kegelisahan mengumpal dalam benak, mengharapkan kedatangan yang riang. Boleh kah Aku bertanya tentang kesepianmu! Dirimu hanya terpaku pada rasa hambar, diri mu tidak pernah kudapatkan dalam kegembiraan. kamu menghayati diri mu di dalam kesunyian. Seabrek persoalan kamu menghayatinya bersama sepi. Sulit bagi mu berbagi rasa dng yang lain. Kamu hidup dalam di dunia mu sendiri. Kamu seolah terluka di dalam hidup mu, lalu kamu tidak pernah ceritakan. Inikah riwayat mu yang tenggelam dalam sepi. Kamu mengartikan kebahagiaan dengan kesendirian. Riwayat mu kini, hanyalah kesepian yang berbalik kesendirian. Ternyata kamu mengartikannya seperti itu. Adakah hidup sesepih dirimu. Kenapa Senyap kamu anggap menggugat!, apalagi dengan suara berisik. Sedih sekali riwayat mu kawan. Hidup mu telah kamu artikan sebagaimana kesepian. kamu menyeduh kehidupan mu dengan sendirian. Riwayat sendu kamu peragakan. Sementara riwayat ramai kamu hempaskan. Diri mu pun diam, disaat aku menggugatmu, diri mu begitu dingin menyambutkan dengan senyum. Hadir ku, kamu anggap merecoki kesendirian mu. Lalu kamu anggap aku apa! Ternyata, aku hanya teman dalam sepi. Adakah yang terharu dalam hidup ku, sebab aku riwayat kesepian itu sendiri. Adakah yang mau menghampiri ku untuk termenung, berkhayal, berfantasi, menangis, dan bermimpi. Teman ku hanyalah kesendirian. Tidak semua orang memilihnya, kecuali duka. Aku betul-betul sepi karena tidak semua orang membutuhkan kesepian.

SADIS ITU BENAR

"ampun" kata ku, kamu membuka luka d tubuhku. Kamu menyayatnya, kamu beringas, kamu penggal kepala saudara ku. Tak sedikit pun kamu ragu melakukannya. Kamu itu saudara kita, tapi kamu tidak pernah ibah dengan ku. Malah Kamu mengibahku "kafir", darah ku pun halal untuk mu. Ahh.... Kenapa agama ku begitu kejam di tangan mu, pada hal nabi ku mengajarkan kasih sayang dan pengasih. Bukan kah setiap laku dimulai dengan sifat Tuhan yang rahman dan rahim.

Ditangan mu, sadis itu benar. Kamu bangga ketika jiwa para korban melayang, aku bingun terhadap mu. sudahlah, jiwa ini pun ihklas terkoyak oleh mu. Rengguklah jiwa ku, jika itu membuat mu bahagia. Agama ku yang malang, dijadikan pembenaran setiap laku sadis.

Rabu, 07 Januari 2015

,

Arkeologi agama dan Budaya

Arkeologi Agama dan Budaya
oleh : Sampean
Dalam pembahasan diskusi kali ini mengankat tema agama dan budaya. Perbincangan tentang agama dan budaya seolah tak ada habisnya dalam ruang diskusi  para ilmuwan sosial dan filsuf. Sebab, tema ini akan selalu menyentrik karena agama dan budaya suatu unsur fitrawi. Unsur fitrawi tersebut akan senantiasa berproses dalam bentuk tindakan dan perilaku sosial dalam masyarakat. entah tindakan dan perilaku manusia itu bersifat tindakan agama, budaya ataukan meleburkan keduanya. Dengan persoalan ini perlu kiranya untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi relasi agama dan budaya dengan pendekatan arkeologis.
Pertanyaanya kemudian, kenapa mesti pendekatan arkeologis? sebab pendekatan arkeologis berupaya untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi dasar dalam konsep budaya, dan konsep agama. Pendekatan arkeologis menurut Nurachman Iriyanto (web. http://arkeologi.web.id) bahwa:
“arkeologi akan memerikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan secara ilmiah kaitan antara tinggalan bendawi dan tindakan serta gagasan manusia pembuatnya. Maka dalam upayanya menjelaskan segala sesuatu kaitan tersebut, arkeologi hanya melakukan interpretasi, dan bukan eksplanasi, dengan cara mencoba 'memahami' karya dan makna, sehingga yang terjadi bukanlah upaya 'pembenaran', tetapi lebih pada 'memberi arti' kembali pada masa lalu”
Pemeriksaan asumsi-asumsi dasar atas agama sebagai upaya untuk menginterpretasikan relasi agama dan budaya  di masyarakat kontemporer. Pendekatan arkeologi untuk memeriksa agama dan budaya dari unsur penyusunnya serta unsur teoritisnya. Walaupun, selama ini budaya dan agama masing-masing bersifat abstrak. Keduanya tidak bisa dilihat secara jasmani, namun bisa dirasakan. Sehingga keduanya memiliki kesamaan wujud. Kesemaan tersebut menempatkan agama dan budaya bisa dipertautkan, diselaraskan sekaligus di wariskan. Kesamaan ini terlahir dari subjek yang sama yaitu Manusia. Sebab, manusia adalah pelaku dari agama dan budaya.
Berangkat dari persoalan ini, agama dan budaya secara arkeologis memiliki unsur material, agama dan budaya sebagai bentuk tindakan sosial, agama dan budaya sebagai produk akal budi manusia. Secara teknis Kebudayaan cultuur (bahasa Belanda) culture (bahasa inggris) berasal dari perkataan latin “Colore” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Selain itu, Ki Hajar Dewantara menginterpretasikan agama sebagai Cipta, rasa dan karsa manusia. Gagasan ini menginspirasi koentjaraningrat  bahwa kebudayaan barasal dari kata budaya bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tatakelakuan, yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. dari konsep ini bahwa  unsur dan peran kebudayaan meliputi :
1.    Kebudayaan sebagai ciri kelompok, komunitas atau masyarakat. Kebudayaan diasumsikan mempunyai kekuatan yang menghubungkan orang dengan kelompok, komunitas atau masyarakat tempat afiliasinya, yang kemudian membedakannya dengan kelompok, komunitas atau masyarakat lain.
2.    Kebudayaan sebagai ekspresi kehidupan social. Dalam konteks ini, kebudayaan bisa berupa kesenian yang di dalamnya terdapat karya kreatif yang indah para seniman dalam bentuk lukisan, ukiran, tari gubahan lagu dan sebagainya.
3.    Kebudayaan berfungsi sebagai sarana pemaknaan. Dalam konteks ini kebudayaan tidak ditempatkan semata-mata hanya sebagai ciri atau identitas kelompok, komunitas dan masyarakat. Tetapi pelbagai bentuk nilai, norma, keyakinan, ritual dan ketentuan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat diyakini tidak muncul mendadak atau terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlilit-lilit dengan sejumlah hal yang saling bertautan yang diliputi oleh beragam makna.
Sedangkan Agama secara teknis berasal dari bahasa sensakerta yang artinya “tidak kacau” dari tinjauan ini, agama merupakan tata kelakuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. dari tinjauan sosioligis agama merupakan  kepercayaan pada hal-hal yang spiritual, perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan ideology mengenai hal-hal yang bersifat supranatural Sementara itu, agama menurut sosiolog Emile Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus/sakral (sacred) kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari konsep ini bahwa agama terdiri dari unsur kudus meliputi unsur kewahyuan sedangkan unsur yang lain agama merupakan praktek ritual. Agama sebagai unsur kewahyuan, agama tidak memiliki sumber yang non historis, bersifat mutlak dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Secara konseptual dilihat dari aspek ontologis agama akan mengalami problematis ketika disandingkan agama dengan budaya. Apakah agama  merupakan bagian dari kebudayaan? Karena agama bersifat absolut dan universal sedangkan budaya bersifat heterogen, plural, dan hybrid dan realatif. bersambung