Selasa, 03 November 2015

MEMBURU KATA

PERADABAN, BUKU DAN RACUN SOKRATES
Oleh : Sampean
Aku hanya kutu yang melintasi setiap zaman, mencucup di atas ceruk cangkir kehidupan. Mereguk jiwa yang kosong, memburu kata yang tak berlarik. Mencari yang hilang, yang tak pernah ada. Ini hanya senandung liris  dari jiwaku, jiwamu yang hitam. Resahku, resamu adalah sepucuk risau menadah cinta. Ku tunggu dikau dalam buku,  dari nada yang tak bersyair.
Jika kamu mencariku dalam gelap, Pulanglah.
Jika kamu menemukanku dalam Cahaya, pergilah.
Sebab, itu bukan aku.
Aku sepat, yang kamu seduh di saban hari.
Peradaban itu hanya bicara pagi, siang, dan malam perihal rasa lapar dan haus. Sedangkan, buku hanya ihwal tentang ingatan. Pertalian keduanya adalah racun. Racun yang membunuh ingatan, mengabdi bersama kematian. Kemudian, terlahir sebagai keabadian. Tahu kamu; keabadian itu hanya epos kepahlawanan dari keringat, air mata,  dan darah. Buku itu adalah narasi keabadian dari nadir peradaban. Manakala Socrates menenggak racun, dia berakhir sekaligus bermula. Jiwa pembangkangannya hidup bersama senarai pengarang. Mungkin sederhananya seperti itu, tentang aku sepenggal buku. Napasku lecut dalam naskah, ku semai kata per kata berasa lelucon yang tak ingkar.
Sungguh coretan yang hadir dalam dalam karya peradaban, buku, dan racun Socrates hanya petikan kehidupan keseharian. Buku ini adalah jenjang waktu 2010-2014 melingkupi beberapa peristiwa. Buku ini hanya menyimak yang terlintas dalam ingatan, itu pun tak utuh. Hanya kecut, yang meletup oleh kegelisahan menerjang penulis. Mungkin, itu yang dianggap penting untuk direkam. Resapi saja di setiap bagian yang terdiri dari; pendidikan, Kebudayaan, Kota dan masalah-masalahnya, demokrasi dan mahasiswa.
Dari keempat bagian tersebut serba tanggung; data yang belum akurat, penjelasan yang masih nyelimet dan beberapa peristiwa belum usai. Menyelamlah ke dalam setiap bagian itu, pembaca akan tahu “bagaimana aku” atau “aku di sisi lain”. Bisa jadi, apa yang telah tercoret adalah kekeliruan atau kebenaran yang belum tersingkap. Maka, perlu ku jabarkan setiap bagian, supaya tak sesat dalam kebenaran. Misalnya; di bagian pertama, tentang pendidikan terdiri tujuh tulisan, merangkum pokok persoalan mengenai literasi. Bagian Kedua, kebudayaan, terdiri dari delapan tulisan hanya menyemai persoalan-persoalan berserak dan anomali kebudayaan di sekitaran manusia seperti tentang jilbab, kamera, fiksi, mall, agama. Bagian ketiga, Kota dan masalah-masalahnya, yang terdiri tujuh tulisan. Pada bagian ini mengulas persoalan kecil, yang tersisip di dalam kota berupa kejahatan, kekerasan, krisis ekologi, ketimpangan, dan eksploitasi perempuan. Sedangkan bagian keempat demokrasi dan mahasiswa, terdiri dari dua belas tulisan. Bagian ini merupakan telah kritik terhadap kedirian penulis sebagai mahasiswa. Bagian ini pula merupakan oto kritik dan pembelaan terhadap mahasiswa atas perjuangannya. Inilah tafsir seadanya yang aku paparkan, semoga anda tersesat dalam kebenaran.
Jalan sunyi ditepaki dalam keseharian buku ini, seharusnya dijejal dengan membaca. Daraslah dengan hati-hati, bisa jadi akan ditemukan sari pati kebenaran sekaligus kekeliruan penulis. Sebab, karya tak lepas dari kesalehan. Maka perlu kritikan dan saran bagi penulis demi menumbuhkan dan meneguhkan kembali tentang catatan keseharian yang lebih objektif.  Sekiranya, penulis berharap kepada pembaca untuk ikut berkecimpung dalam dunia buku dan literasi.