Review
Buku:
RUNTUHNYA
UNIVERSALITAS
SOSIOLOGI
BARAT
(Bongkar
wacana atas : Islam Vis A Vis Barat, Orientalisme postmodernisme, dan
Globalisme)
Djogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2008
402
hlm.
oleh : sampean
Buku ini di tulis oleh Bryan S. Turner
dan di terjemahkan oleh Sirajuddin Arief, M. Syukri, Inyiak Ridwan Muzir. Bryan
S. Turner adalah seorang dekan fakultas Seni dan Professor Sosiologi di
Universitas Deakin, Australia. Buku ini merupakan kumpulan essai dari berbagai
rangkain kuliah yang di berikan di beberapa tempat khususnya di tempat dia mengabdikan dirinya sebagai seorang dosen di
Universitas Deakin, Australia. Buku ini merupakan sebuah rangkain naratif
teoritis terhadap sebuah perkembangan ilmu pengetahuan sosial khususnya
sosiologi sebagai disiplin Ilmu yang lahir di rahim orang-orang barat.
Seperti tersirat dan tersurat dalam buku
ini, buku ini bisa di bagi menjadi empat bagian tapi yang sebenarnya dalam buku ini terdiri dari lima
bagian saya peramping menjadi empat bagian sebab bagian pertama dan kedua
memiliki hubungan yang erat dan tak perlu di pisahkan. Dalam pemabahasan buku
ini menjelaskan perkembangan zaman yang melahirkan sebuah pertentangan
diskursus yaitu Islam versus barat sebagai yang tersurat dalam judul buku ini.
Buku ini mengungkap secara kritis terhadap diskursus epos yang terjadi saat
ini. Sebagian buku ini sangat di pengaruhi oleh pemikiran Edwar W. Said tentang
Orientalisme yang menjadi landasan utama buku ini, kedua buku di pengaruhi oleh
Max weber dalam menelah masyarakat menggunakan pendekatan ekonomi dan pandangan
max weber terhadap Islam.
Dalam buku ini sebagai bentuk eksposisi
problem pengatahuan yang terjadi di barat dengan mengunakan pendekatan
sosiologi dengan metode komparasi melalui struktur dan kebudayaan (Turner,
51:2008). Di mana bentuk universalitas teori barat telah menghegemoni
pengatahuan sebagai budaya yang agung dengan kolonialisasi lewat pendidikan dan
media. Pengetahuan barat sebagai upaya untuk menyelamatkan kita dari kegelapan.
Barat pun mendistorsi epistemologi dengan mengfragmentasi sebuah etno
epistemologi. Etno epistemologi adalah pemisahan wilayah pengatahuan
berdasarkan letak wilayah geografis atau upaya untuk mentaksonomikan
pengatahuan berdasarkan wilayah geografis dengan pendekatan struktural dan
kebudayaan. Pembagian ini melahirkan dua diskursus pengetahuan Barat dan Timur.
Pendikotomian pengetahuan ini secara gamblang di jelaskan oleh Edwar W. Said
sabagai diskursus Timur Dan Barat sebagai bentuk ekspresi terhadap kekuasaan
barat.
Berdasarkan wacana ini melahirkan sebuah
dualitas pengatahuan yang mengambil posisi biner yaitu studi orientalisme dan
oksidentalisme. Studi orientalisme menurut Edward W. Said merupakan cara untuk
mempelajari Timur dengan cara membuat klaim-klaim terhadap mereka untuk
melegitimasi prasangka yang dilakukan oleh mereka dengan upaya untuk
menundukkan Timur dengan
menvisualisasikan Timur.
Dari definisi ini Orientalisme, barat
menghadirkan Timur sebagai hal yang eksotik, erotik, dan asing untuk dipahami
dan di mengerti. Kontruksi Timur di bangun oleh barat dengan berbagai macam
tipologi karakter Timur di rendahkan dan untuk di kuasai. Suatu hal yang sangat
menarik dalam buku ini yang di jelaskan Turner pada buku ini (BAB : 2, Hal :
54) Orientalisme adalah wacana orientalis, kita mengetahui dan membicarakan
masyarakat Timur; sementara mereka sendiri (masyarakat Timur) justru mereka
sendiri tidak dapat memahami dirinya sendiri di samping itu tidak bisa
berbicara balik tentang diri kita (masyarakat Barat). Berdasarkan adagium ini
berarti diskursus oksidentalisme tidak melahirkan sebuah tandingan bagi Orientalisme tersebut.
Islam
vis A vis Barat
Dari perbincangan orientalisme terhadap
pendikotomian Barat dan Timur merupakan sebuah hal yang yang mengalami
kerancuan sebab memiliki kekurangan termasuk pendikotomian wilayah geografis
jika wilayah Asia di letakkan sebagai
posisi timur. Sungguh sangat tidak relevan sebab wilayah di Asia memiliki berbagai
macam kemiripan budaya di Eropa dan Amerika yang notabene sebagai barat. Jika
di studi orientalisme kita lekatkan pada pendekatan agama yaitu Islam sebagai
agama Timur dan Kristen sebagai agama Barat yang merupakan tradisi Abrahamik
atau agama yang menganut prinsip apokaliptik
dengan pendekatan ini sebuah tanda tanya besar untuk menjelaskan Timur
dan Barat sebab Timur memiliki berbagai macam agama selain dari Islam sebagai
Agama yang dominan.
Berdasarkan penjelasan Turner dalam buku
ini bahwa Islam memberikan sumbangan kultural berharga bagi barat dan menjadi
kebudayaan yang dominan di beberapa masyarakat mideterania. Sementara, Islam
tidak selamanya bersifat Timur, Kristen pun sebenarnya demikian bahwa agama
Kristen sebagai agama Barat. Sebagai kepercayaan semitik yang berakar pada
agama abrahamik, Kristen dapat di pandang sebagi agama Timur. Sementara
Spanyol, Sisilia dan Eropa Timur, dapat dipandang menjadi agama Barat (Turner:
55; 2008).
Definisi Islam kian menjadi
kontroversial menjadi wacana di kalangan orientalisme sebab Islam menjadi
ancaman bagi barat setelah berakhirnya perang dingin atau perang urat syaraf
yang di lakukan oleh Amerika Serikat dan Sekutunya dengan Uni Soviet dan
Sekutunya. Di akhiri oleh kemenangan Amerika Serikat dan sekutunya yang tidak
lagi mempunyai tandingan yang melahirkan negara Adidaya. Uni Soviet menjadi
terpecah belah untuk menuntut kemerdekaan masing-masing.
Berakhirnya perang dingin tersebut
melahirkan ancaman kultural baru terhadap Barat yaitu Islam. Sebab mereka
menganggap bahwa saat ini Islam telah mengalami kebangkitan yang sebagaimana yang telah di lakukan oleh
para pendahulunya. Sebagai bukti terjadinya revolusi Islam Iran yang bisa di
kategorikan selevel dengan revolusi Prancis dan Revolusi Inggris.
Dari perkembangan pengetahuan. Islam dan
Kristen di perhadapkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan sekuler yaitu logika
dan retorika sebagaimana yang telah berkembang di Yunani pada masa itu. Akan
tetapi dalam perkembangannya pada masa abad pertengahan Kristen mengalami
sebuah masa kegelapan yang harus mengekor kepada Islam yang mampu
mentransmisikan Pengatahuan yunani terutama pengaruh Aritoteles terhadap
beberapa filsuf Islam Averroes, Avicenna, Al Kindi, Al Razi yang telah
memberikan kontribusi besar saat ini terhadap perkembangan ilmu pengatahuan (Hal 96). Kontribusi islam dalam ilmu
pengatahuan sangat terasa sekali di bidang sains yaitu ilmu kedokteran, Optik
dan Kimia. Kontribusi ini memberikan hak istemewah terhadap islam terutama
perkembagan sains.
Jika di telisik saat ini perkembangan
ilmu pengatahuan saat bahwa agama dan sains merupakan suatu hal yang sangat
kontradiksi sebab sains mengarahkan kita pada hal yang sekuler sementara agama
hanya membicarakan masalah-masalah ortodoksi dan teologis. Agama hanya
mengedepankan hal yang mistikal sementara sains berbicara yang bersifat empiris
dan realitis. Namu ada kebiasaan yang tidak lazim dalam diri filsuf islam yang
telah mampu mentransformasikan pengatahuannya dengan mengakumulasi pengetahuan
sains dan agama. kenyataan ini menjadi menjadi tanda tanya bagi orang-orang barat sebab Islam mampu
mensitesiskan agama dan filsafat yunani pada waktu itu sementara Kristen di
rundung gugatan terhadap pengetahuan sekuler tersebut.
Namun, sumbangsih yang dilakukan oleh
para filsuf Islam telah di ingkari oleh orang-orang barat terhadap kontribusi
perkembangan pengetahuan saat ini. Seperti yang di kemukakan oleh filsuf Ernest
Renan sebagai seorang filsuf prancis mengatakan bahwa mereka tinggal di Timur
atau Afrika terbentur oleh suatu cara yang di dalamnya terdapat pemikiran yang
benar-benar fatalisik yang menjadi lingkaran besi baginya dan bersifat
tertutup. Yang di anggap tidak mampu mempelajari gagasan yang baru (hal 96). Pandangan
ini menganggap bahwa Islam hanyalah pembawa Ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani yang steril bagi peradaban Eropa dan di tegaskan kembali dengan
prasangka yang lebih halus.
Perlu juga di ketahui bahwa masa
pencerahan yang di alami oleh Eropa tidak lepas dari kontribusi Spanyol yang
menjadi Pusat ilmu pengatahuan Islam pada waktu itu. Satu hal lagi bahwa pada
saat itu Spanyol menjadi peradaban Islam yang memiliki Perpustakaan yang cukup
besar yaitu perpustakaan Cordoba. Perpustakaan Cordoba menjadi sasaran
kedengkian Barat membumi hanguskan karya-karya muslim disana. Adapun yang
tersisa di rekontruksi oleh Barat dengan mengaburkan nilai-nilai Islam terhadap
manuskrip-manuskrip Islam. Seperti nama Filsuf ibnu Sina di rubah menjadi
Avicenna, Ibnu Rush di ubah menjadi Averroes dan lain-lain sebagainya.
Berdasarkan perspektif ini bahwa Barat berdiri di atas sebuah kemunafikan
epistemologi.
*
Perspektif
terhadap Islam
Pertanyaan yang mendasar untuk Islam
adalah Apakah Islam sebagai agama atau bukan? Sebab Islam yang selama di
gambarkan oleh barat hanya sebagai tradisi abrahamik sebagaimana kristen akan
tetapi Islam memiliki ciri khas yang berbeda dengan kristen. Menurut Pandangan
David Hume Islam sebagai bentuk teisme yang sempurna di banding Kristen dengan
doktrin trinitasnya, menyusul berikutnya bahwa pandangan Islam sebagai bentuk
menghargai akal namun di sisi lain Islam sebagai agama yang sempit dan tidak
toleran (Hal 100).
Tapi perlu di ketahuai bahwa Islam
merupakan pengejawantahan dualitas terhadap keyakinan sebab Islam bisa bersifat
agama dan Sistem sosial. Islam sebagai agama karena Islam merupakan seperangkat
keyakinan dan ritual sebagai bentuk perjalanan ruhani untuk mencapai tahap
kesempurnaan berdasarkan prinsip apokaliptik. Definisi mengantarkan kita pada
sebuah perspektif bahwa Islam sebagai agama merupakan menjunjung tinggi
nilai-nilai asketis. Sementara Islam sebagai sistem sosial untuk menciptakan
sebuah tatanam yang ideal berdasarkan perpektif profetis yang bisa
terimplementasi terhadap realitas.
Seperti yang telah di kutib oleh Turner
(hal 108), Huodgson Islam baik sebagai agama maupun sistem sosial di perlakukan
sebagai perjalanan kesadaran nurani personal yang bersifat batin dalam
menciptakan peradaban yang inpersonal dan lahiriah.
Globalisme,
Modernisnme, Post-modenisme
Bahwa perubahan sosial sebagai bentuk
keniscayaan yang tak dapat di elakkan maka perjalanan epos yang di hadapi Islam
semakin berat yaitu Globalisme, modenisme, dan Post-modernisme.
Proyek epos ini merupakan produk dari
budaya barat yang telah mencenkram dunia sebagai proyek-proyek ilmiah yang tak
kunjung selesai. Melahirkan budaya-budaya universal yang di anggap memiliki
nilai Tinggi terhadap perkembangan
zaman. Misi yang dilancarkan oleh barat merupakan sebuah visi westernisasi dan
modenisasi melalui sebuah ideologi besar yaitu Kapitalisme yang mampu
mengokomodir semua ideologi yang tetap mempertahankan eksistensinya.
Misi ini di selanjarkan melalui media dengan
berbagai macam propaganda yang di lakukan melalui Iklan yang bergantian-gantian
dengan berbagai macam indikator-indikator sebagai bentuk mode. Zaman ini mengantarkan
kita pada sebuah demokratis hasrat dan dunia yang begitu ilusi sebab segalanya
merupakan suatu hal yang melampaui, semuanya semakin cepat, manusia semakin
konsumtif, realitas menjadi sebuah resiko atau risk sociaty dan merebaknya ruang asosiasional yang terbuka seperti
super market dan drugstore . Ini merupakan gambaran yang singkat
tentang dunia saat ini. Tapi bagaimana dengan Islam?
Suatu hal yang ditelisik saat bahwa
respon terhadap dunia saat ini peningkatan paham fundamentalisme yang tetap
kokoh dibawah nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan di pandang sebagai kebenaran
yang dapat di bantah yang merupakan warisan dari leluhurnya yaitu nabi Muhammad
SAW. Menurut weber bahwa ketika teori
sekularisasi konvensional sering mengamsumsikan bahwa agama dan modernisasi
berada dalam suatu hubungan kontradiktif sebab sifat-sifat fundamentalisme
asketik benar-benar mendorong masyarakat dari hubungan komunal tertutup menjadi
sebuah komunal yang terbuka untuk melawan masa saat ini khususnya pada
Post-modernisme ini.