Rabu, 23 Desember 2015

,

PAGI YANG TERTEPIS

Tiada mimpi menggiring angin, kesunyian menebus luka. Air mata yang jatuh di ujung daun, menikam sukma. Biarkan aku terseduh. Sebab, ini aku adanya.

Aku melebur dalam sunyi, tidak beranjak dari kamar. Berbaring telungkup, mengeram pesakitan. Pintu kubiarkan menganga sejengkal jari. Supaya merekatahu aku sedang tertidur pulas. Aku hanya menutup mata, Pikiran hanya melanglang buana ke masa silam ihwal kali pertama kamu datang. Waktu itu, ketika senja memburat di kaki langit, cahaya berpendar gelap. Raut wajahmu menjadi buram, bayang-bayang hidungmu tergambar utuh dalam gelap. Matahari hampir terbenam, cahaya jingga menghias di tepian langit. Kamu datang dengan ketenangan mencecap kasih sayang. Meluruhkan jiwa angkuh.
“Aku ingin jujur pada kakak. Tapi, kakak harus janji tidak meninggalkanku dan menjauh dari adek”. Dia bertutur dengan lembut, halus dan santun dengan khas Sundanya. Sesekali dia menatap mataku, dan raut wajahnya tampak sedih.
Aku terkesiap dengan perkataannya. Ada apa dengan dia, tiba-tiba mengeluarkan perkataan seperti itu. Pertemuanku dengannya belum seumur jagung. Aku pun tidak banyak tahu tentangnya, pertemuan yang aku rajuk, ini kali kedua bertatap muka dengannya. Selebihnya hanya ngobrol lewat telepon dan dunia maya.
“Ada apa? kamu nanya kayak gituch” suara yang datar keluar dari bibirku, aku menatap matanya, dia tertunduk rapuh. Kulitnya yang putih bersih tampak merah. Dia rupanya serius dengan perkataannya.
“Kakak janji kan, tidak menjauh dari adek. Aku sudah merasa nyaman dengan kakak dan sayang sama kakak” dia berusaha meyakinkanku dengan tulus. Kini, bibirnya mengatup, sesekali menunduk, mengusap muka dengan kedua tangannya. Dia memperbaiki cara duduknya.
Aku terdiam, entah harus mengatakan apa. Aku tak menyangka ia mengungkapkan perasaannya. Tapi, aku masih penasaran dengan dia. Ia takut aku tinggalkan, entah dengan alasan apa. Ketakutan itu menyimpang rahasia besar. Dia setiap tuturnya, ia cukup berhati-hati.
Tiba-tiba Suara terdengar dari ruang tengah “Ian, kamu masih tidur ? tak lama berselang suara itu,  pintu kamarku terbuka lebar, Kak Vicko sudah berdiri di depan pintu.  Aku masih terkulai. di atas kasur, cahaya kamar masih remang-remang. Pikiranku menjadi buyar dan hilang seketika. Dan berusaha mengumpulkan tenaga untuk menjawab pertanyaan Kak Vicko “Iyah, aku sudah bangun”
“Kamu pergi beli lauk” Kak Vicko sambil memegang uang yang tergulung rapi.
“Iya, kak”
 Kak Vicko langsung membalikkan badannya pergi dan masuk ke kamarnya kembali. Sementara, aku mengenakan baju dan celana. Setelah semuanya sudah rapi, aku bergegas pergi beli lauk. Dalam perjalanan aku baru ingat, saya lupa memakai motor. Padahal motor Kak Vicko nganggur di parkiran.
Aku terlalu terbawa dengan perasaanku, menahan rasa sakit yang menjalar di pusat sukmaku. Tubuh yang kokoh, kini terasa lunglai, juntaian kakiku terasa kaku dan lemah. Sesakit inikah ketika ditinggal oleh seorang yang disayangi. Perlahan pikiran kembali merasuk ke dalam duniaku yang silam.
Kenangan yang bertabur kebahagiaan, kini sirna dengan sekejap hanya dengan kata “jauhin adek kak”. enam bulan perjalanan cinta kita diakhiri dengan enam huruf pula. Ungkapan yang sangat puitis sebelum puisi mengembang menjadi air mata.
Kenangan hanyalah kenangan, air mata kadang tak mampu menebus luka. Tapi, setidaknya air mata mengurangi jejak yang pernah berlalu dengan ketenangan. Hanya sedikit kisah cinta yang berakhir dengan kebahagiaan, selebihnya adalah air mata duka. Pesan singkat kamu kirim pada petang kemarin. Membunuhku perlahan. Derik pintu yang terbuka, menginginkan aku pergi, menyisakan kali rindu yang kerontang. Lembaran pesanmu, hidupmu, dan kisahmu aku usap perlahan. Ku baca dengan mata berbinar, Lelehan air mataku senantiasa terjatuh. Air mata yang jatuh adalah kesetiaan menjagamu.
Dalam perjalanan ke warung yang jaraknya sekitar 30 meter dari kontrakan. Aku sempat menitikan air mata. Penjaga warung itu menatapku penuh curiga
“Kamu kenapa toch mas”
“Nggak ada apa-apa mbak”
“Mata kamu merah”
“Aku baru bangun mbak”
“OoOO” dia tak lagi melanjutkan percakapannya. Dan mengambil makanan yang aku tunjukkan “Telur tiga, Tempe enam biji, dan sayur tiga ribu mbak”
Setalah semuanya selesai aku serahkan uang Rp. 9.000,
“Uang Pas yah” kata mbak penjaga warung.
Kini, aku kembali berjalan pulang ke kontrakan. Kembali menjadi hening, ingatanku kembali kepada seseorang. Deru mobil dan motor bergantian lalu lalang. Terik matahari sedikit membakar, baju yang kukenakan berwarna hitam, menyerap panas. Peluh membasahi tubuhku, sesekali menetes di keningku. Kamu selalu hadir dalam setiap senyap, jarak antara kita terlalu jauh untuk bertemu kembali. Ingin kutahu, apa alasan meninggalkanku. Aku tak peduli orang-orang memandangiku seperti apa, mukaku masih kusut, rambutku masih acak-acakan. Maklum semuanya kelupaan. Lupa cuci muka, lupa menyisir rambut. Seperti itulah aku. aku yang terpuruk dengan kepergianmu. Jejak yang telah aku rangkum terlalu menyakitkan di setiap ingatanku.
Pesan singkat yang kamu kirim tempo hari, membuyarkan semua sisi hidupku. Tak kala aku ingin menulis, dan membaca. Ingatanku melumpuhkan segalanya. Kulerai waktu perlahan, kehadiranmu semakin kuat. Kamu semakin terbayang jelas, tubuhmu yang mungil, tingkahmu yang centil dan genit tak bisa menggugurkan perasaanku terhadapmu. Ingin kupeluk erat bayangmu, supaya kamu tak lepas dariku. Kuabadikan dirimu sebagaimana gambar yang kamu berikan, tubuhmu yang dibalut dengan kemeja kuning, rok warna hijau, jilbab warna kuning berbintik hitam, dan sepatu warna hitam cukup sepadan. Apatah lagi dengan kulitmu yang putih bening dan hidungmu yang mancung kamu tampak anggun. Itu abadi dalam ingatanku. Sosok mu yang mungil, adekku sayang.
Lamunanku berhenti lagi, aku telah sampai di kontrakan, ruang tamu kelihatan sunyi, pintu menganga begitu saja. Kaca yang berdebu seolah  tidak pernah dilap, pada hal sekali seminggu kaca itu dibersihkan masih tetap kelihatan kotor. Musim kemarau yang panjang, menghasilkan debu jalan beterbangan tanpa tuan. Hingga melengket di dinding kontrakan ini.
Aku melangkah masuk ke kontrakan itu tanpa salam, kontrakan ini terasa senyap. Kak Vicko hanya sibuk dalam kamarnya. Sedangkan, dua keponakan Kak Vicko sudah pergi sejak pagi  tadi, jam 06.00. kesenyapan dalam kontrakan tiba-tiba berhenti “Kak Makan” kataku.
“Iyah bentar” kata Kak Vicko yang masih memandangi laptopnya, dan sebelum beranjak dari kursinya. Kak Vicko tidak lupa memutar  lagu-lagu legendaris dari Tommy J Pisa. Penyanyi ini adalah favoritku, sebab lagu dan musiknya tidak lekang oleh waktu. Dia selalu ada di setiap hati penggemarnya di setiap zaman.
Makanan telah aku siapkan di atas meja. Walaupun, menu sangat sederhana hanya enam keping tempe, tiga buah telur mata sapi berlumur sambal dan semangkuk sayur bening dari bayang, wortel dan kentang. Menu sederhana itu siap menangkal rasa lapar kami berdua.
Kak Vicko datang  dari kamarnya dan tersenyum simpul melerai kesenyapan dari tadi. Sementara, musik dan lagu Tommy J Pisa terus mengisi ruangan kontrakan ini. “Kamu kenapa...?” kata Kak Vicko.
“aku Nggak kenapa-kenapa kok Kak” sambil tersenyum.
“Bagaimana? Jadi kan ke Tangeran”
“Entahlah kak..!”
“Kalau kamu ingin aku menang, yah ikutlah”
“Hahahahha, kalau gituch aku usahakan kak. Tapi, bergantung kondisi”
Canda dan gurauan kami terus berlanjut. Jingga kekasihku telah terbenam dalam benakku. Kini, Ia harus menepi sejenak di antara canda kami. Cintaku tak pernah ingkar walau kamu tak pernah mengakuinya. Walau kamu di seberang lautan, bersama dengan orang lain. Kamu adalah kekasihku, bukan pacar, bukan teman. Tapi kamu lebih dari itu. Aku mencintaimu selembut engkau meremah duri di langit-langit kesedihan. Di antara ruang rindu aku sematkan namamu. Kamu berhias air mata, aku takluk di bawah keteduhan wajahmu. Kamu tetap dalam jiwaku. 
Oleh; Sampean

0 komentar: