Rabu, 07 Januari 2015

,

Arkeologi agama dan Budaya

Arkeologi Agama dan Budaya
oleh : Sampean
Dalam pembahasan diskusi kali ini mengankat tema agama dan budaya. Perbincangan tentang agama dan budaya seolah tak ada habisnya dalam ruang diskusi  para ilmuwan sosial dan filsuf. Sebab, tema ini akan selalu menyentrik karena agama dan budaya suatu unsur fitrawi. Unsur fitrawi tersebut akan senantiasa berproses dalam bentuk tindakan dan perilaku sosial dalam masyarakat. entah tindakan dan perilaku manusia itu bersifat tindakan agama, budaya ataukan meleburkan keduanya. Dengan persoalan ini perlu kiranya untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi relasi agama dan budaya dengan pendekatan arkeologis.
Pertanyaanya kemudian, kenapa mesti pendekatan arkeologis? sebab pendekatan arkeologis berupaya untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi dasar dalam konsep budaya, dan konsep agama. Pendekatan arkeologis menurut Nurachman Iriyanto (web. http://arkeologi.web.id) bahwa:
“arkeologi akan memerikan, menginterpretasikan, dan menjelaskan secara ilmiah kaitan antara tinggalan bendawi dan tindakan serta gagasan manusia pembuatnya. Maka dalam upayanya menjelaskan segala sesuatu kaitan tersebut, arkeologi hanya melakukan interpretasi, dan bukan eksplanasi, dengan cara mencoba 'memahami' karya dan makna, sehingga yang terjadi bukanlah upaya 'pembenaran', tetapi lebih pada 'memberi arti' kembali pada masa lalu”
Pemeriksaan asumsi-asumsi dasar atas agama sebagai upaya untuk menginterpretasikan relasi agama dan budaya  di masyarakat kontemporer. Pendekatan arkeologi untuk memeriksa agama dan budaya dari unsur penyusunnya serta unsur teoritisnya. Walaupun, selama ini budaya dan agama masing-masing bersifat abstrak. Keduanya tidak bisa dilihat secara jasmani, namun bisa dirasakan. Sehingga keduanya memiliki kesamaan wujud. Kesemaan tersebut menempatkan agama dan budaya bisa dipertautkan, diselaraskan sekaligus di wariskan. Kesamaan ini terlahir dari subjek yang sama yaitu Manusia. Sebab, manusia adalah pelaku dari agama dan budaya.
Berangkat dari persoalan ini, agama dan budaya secara arkeologis memiliki unsur material, agama dan budaya sebagai bentuk tindakan sosial, agama dan budaya sebagai produk akal budi manusia. Secara teknis Kebudayaan cultuur (bahasa Belanda) culture (bahasa inggris) berasal dari perkataan latin “Colore” yang berarti mengolah, mengerjakan, menyuburkan dan mengembangkan, terutama mengolah tanah atau bertani. Dari segi arti ini berkembanglah arti culture sebagai “segala daya dan aktivitas manusia untuk mengolah dan mengubah alam. Selain itu, Ki Hajar Dewantara menginterpretasikan agama sebagai Cipta, rasa dan karsa manusia. Gagasan ini menginspirasi koentjaraningrat  bahwa kebudayaan barasal dari kata budaya bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan dari kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur oleh tatakelakuan, yang harus didapatnya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. dari konsep ini bahwa  unsur dan peran kebudayaan meliputi :
1.    Kebudayaan sebagai ciri kelompok, komunitas atau masyarakat. Kebudayaan diasumsikan mempunyai kekuatan yang menghubungkan orang dengan kelompok, komunitas atau masyarakat tempat afiliasinya, yang kemudian membedakannya dengan kelompok, komunitas atau masyarakat lain.
2.    Kebudayaan sebagai ekspresi kehidupan social. Dalam konteks ini, kebudayaan bisa berupa kesenian yang di dalamnya terdapat karya kreatif yang indah para seniman dalam bentuk lukisan, ukiran, tari gubahan lagu dan sebagainya.
3.    Kebudayaan berfungsi sebagai sarana pemaknaan. Dalam konteks ini kebudayaan tidak ditempatkan semata-mata hanya sebagai ciri atau identitas kelompok, komunitas dan masyarakat. Tetapi pelbagai bentuk nilai, norma, keyakinan, ritual dan ketentuan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat diyakini tidak muncul mendadak atau terjadi secara tiba-tiba, tetapi berlilit-lilit dengan sejumlah hal yang saling bertautan yang diliputi oleh beragam makna.
Sedangkan Agama secara teknis berasal dari bahasa sensakerta yang artinya “tidak kacau” dari tinjauan ini, agama merupakan tata kelakuan untuk mengatur kehidupan masyarakat. dari tinjauan sosioligis agama merupakan  kepercayaan pada hal-hal yang spiritual, perangkat kepercayaan dan praktik-praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan ideology mengenai hal-hal yang bersifat supranatural Sementara itu, agama menurut sosiolog Emile Durkheim adalah suatu "sistem kepercayaan dan praktik yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus/sakral (sacred) kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal. Dari konsep ini bahwa agama terdiri dari unsur kudus meliputi unsur kewahyuan sedangkan unsur yang lain agama merupakan praktek ritual. Agama sebagai unsur kewahyuan, agama tidak memiliki sumber yang non historis, bersifat mutlak dan tidak terikat oleh ruang dan waktu.
Secara konseptual dilihat dari aspek ontologis agama akan mengalami problematis ketika disandingkan agama dengan budaya. Apakah agama  merupakan bagian dari kebudayaan? Karena agama bersifat absolut dan universal sedangkan budaya bersifat heterogen, plural, dan hybrid dan realatif. bersambung