Selasa, 11 September 2012

SOSIAL BUDAYA


Diskursus Gender :  Visi Eksploitasi Terhadap Perempuan
Oleh : Sampean
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat, arus wacana semakin meningkat dalam berbagai lintas keilmuan yang mulai salin terkait dan mengalami ketergantungan satu sama lain termasuk diskursus tentang gender. Diskursus gender hadir dari sebuah kegelisahan terhadap sebuah ketimpangan sosial di arus modernitas. Ketimpangan itu melahirkan sebuah diskursus tentang gender dengan spirit kesetaraan. Namun, dalam perkembangan wacana gender mengalami berbagai polemik sebab isu gender mencoba melabrak sebuah kemapanan atas nama kesetaraan dan kebebasan.
Gender merupakan gaung yang di bawah oleh para kaum feminis untuk melepaskan perempuan dalam sebuah jeratan konstruk budaya patriarki. Upaya pembebasan ini di topang oleh wacana  gender. Dari upaya ini nampak bahwa isu gender melakukan rekayasa untuk dalam memperjuangkan sebuah dunia yang baru yaitu dunia tanpa penindasan. Di balik semua itu apa sebenarnya gender itu?..
Gender merupakan diskursus perbedaan perempuan dan laki-laki di tinjau dari segi peran dan status dalam kehidupan sosial. Berarti dalam pengertian ini bahwa diskursus gender merupakan sebuah hasil konstruksi sosial budaya terhadap peran dan status manusia. Dari pengertian ini pula bahwa isu gender di gunakan sebagai analisis untuk melihat sebuah ketimpangan sosial yang tidak berpihak pada perempuan. Sebab, wacana gender di gunakan para kaum feminis sebagai ideologisasi untuk memperjuangkan sebuah kesetaraan.
Ungkapan ini senada dengan kutipan dari Showalter bahwa yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender sebagai konsep analisa sebagai mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan sesuatu. Sehingga isu gender bagi kaum feminis  merupakan sebuah momentum untuk melakukan emansipasi terhadap perempuan. Sebab, perempuan dalam  konstruk kehidupan sosial mengalami ketertindasan oleh budaya patriarki.
Menurut pandangan kaum feminis bahwa perempuan selama ini ini hanya berkutat pada ranah domestik yaitu bahwa perempuan hanya bisa berkiprah sebagai pelayan rumah tangga atau yang biasa kita kenal pekerjaan perempuan adalah kasur, sumur dan dapur. Dari dominasi ini perempuan di dorong untuk keluar berkiprah di ranah publik. Sebab dengan melihat volume penduduk dunia bahwa perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Namun dari segi realitas yang berkiprah di ranah publik masih di dominasi oleh laki-laki sehingga perlu memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan. serta potensi yang di miliki oleh manusia adalah sama Karena setiap manusia dalam proses untuk menjadi.
Gelombang  perjuangan perempuan telah mendapat legitimasi dari PBB. Arus pembelaan kesetaraan semakin meningkat sebab wacana kesetaraan gender menjadi indikator sebuah kemajuan suatu negara melalui HDI (Human Developtment Indeks). Sehingga dalam respons ini merupakan hal yang sangat positif bahwa perjuangan yang dilakukan oleh para kaum feminis menuju pintu keberhasilan. Keberhasilan ini di tandai oleh perempuan di berbagai belahan dunia mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan upah yang sama dan pendidikan yang sama.
Dari implementasi ini peraturan ini memberikan sebuah babakan baru dalam mengukur sebuah kemajuan suatu negara dengan melihat partisipasi perempuan di ranah publik. Selain itu, kebijakan ini memberikan warna baru di ranah publik karena terbuka semua ruang-ruang sosial bagi perempuan untuk berkiprah di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan kebudayaan.
Kebijakan ini di iringi sebuah tanda tanya ketika negara-negara maju mengalami sebuah kemerosotan pendapatan dan mengalami stagnan dalam mengembang  perusahaan. Sebab industri-industri negara maju sedang mengalami keterbatasan sumber daya manusia sementara suplai tenaga kerja dari laki-laki semakin berkurang, selain itu tingkat kelahiran di negara-negara maju mengalami ketidakseimbangan atau tingkat kelahiran di negara maju sangat  rendah di banding tingkat Kematian semakin meningkat. Upah buru atau tenaga kerja semakin melambung tinggi. Hal ini memberikan sebuah kehawatiran sendiri bagi para pengusaha-pengusaha besar terhadap kekurangan tenaga kerja sebab mereka sangat bergantung pada aspek tenaga kerja. Selain itu, perusahaan-perusahaan raksasa mulai kehilangan karismanya di belantara pasar bebas karena tidak mampu bersaing  dengan perusahaan-perusahaan yang satu dengan yang lain. Hal ini di sebabkan oleh kekurangannya tenaga ahli dari kaum laki-laki sehingga perlu inovasi sebuah kebijakan baru dari para kaum korporasi dengan mendorong perempuan ke ranah publik.
Sebab volume tenaga kerja dari kaum perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan memiliki kemampuan kognitif dan skill yang sama. Sehingga di pandang perlu  melakukan pemberdayaan terhadap perempuan. Sehingga ketersediaan tenaga kerja semakin luas terkhusus di negara-negara dunia ketiga sebab bagi mereka volume tenaga kerja di dunia ketiga sangat besar sehingga memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk membuka ruang untuk merekrut tenaga kerja yang banyak dengan harga yang murah dengan kualitas yang sangat memadai dengan motivasi kerja yang sangat tinggi.
Sehingga diskursus gender seolah di tunggangi oleh sebuah kekuasaan dan kepentingan para kaum korporasi sebagai babakan baru di era globalisasi ini. Hal ini memberikan dampak positif bagi kaum para korporasi untuk melakukan eksploitasi tenaga kerja terhadap perempuan.
Dari perspektif ini bahwa diskursus gender telah membuktikan dirinya telah bermuka  dua atau bersifat ambivalen sebab para kaum feminis berharap bahwa perempuan mampu melepaskan jeratan dari kaum patriarki akan tetapi di sambut dengan perselingkuhan kebutuhan korporasi terhadap kebutuhan tenaga kerja.
Bisa kita lihat implementasi kebijakan ini, dari berbagai instansi-instansi, perusahaan yang telah di dominasi oleh kaum perempuan. Bahkan perempuan telah menjadi bahan pajangan dan tontonan bagi laki-laki di berbagai media. Sebab perempuan menjadi ikon kecantikan dengan memamerkan kemolekan tubuhnya dengan mengait para konsumer. Para pengusaha mendorong perempuan untuk menjadi simbol sebuah iklan bahkan bintang iklan di dominasi oleh perempuan yang estetis dan eksotis. Dan tubuh perempuan menjadi sangat murah untuk di pertontonkan dan bahkan gratis karena tak di lirik oleh pengusaha namun mereka telah mengikuti ikon dari iklan tersebut.
 Keterlibatan perempuan di ranah publik  di sambut baik oleh para para kapitalis-kapitalis untuk mengeksploitasi manusia. Para kapitalis itu berlomba untuk meningkatkan proses produksi mereka dengan eksploitasi tenaga kerja dari kaum perempuan. Posisi perempuan menjadi fungsi ganda perempuan berkecimpung di ranah domestik sekaligus perempuan ikut terlibat dalam ranah publik demi sebuah keseteraan dan pertukaran peran. Namun membuat perempuan dalam keadaan terjepit.
Memperjuangkan hak perempuan dalam menuntut kesetaraan dengan laki-laki  merupakan sebuah keharusan akan tetapi kesetaraan itu menjebak perempuan yang pada masalah yang pelik di atas sebuah tuntutan yang  lebih. Namun yang seharusnya perempuan yang di lakukan oleh perempuan adalah menuntut sebuah keadilan. Bergeraklah untuk menuntut keadilan itu. Sebab hari ini bukanlah perempuan yang mengalami penindasan akan tetapi laki-laki merasakan yang sama.

***
sAmPeAn