RUU PILKADA 2014 : KELAHIRAN NEO ORDE BARU
Revisi undang-undang Pemilihan Kepala daerah 2014 (UU PILKADA 2014) menuai
pro dan kontra di tingkat elit politik maupun di masyarakat. Pro-kontra
tersebut hadir ketika Gamawan Fausi sebagai menteri dalam negeri menyerahkan revisi
UU Pilkada ke anggota Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Salah satu butir RUU pilkada yang menuai polemik yaitu mekanisme pemilihan
kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat yang di ubah menjadi kepala
daerah dipilih oleh anggota DPR.
Bertolak dari perubahan isi RUU pilkada 2014 ini, kita diingatkan kembali
pada masa orde baru di mana kepala daerah dan presiden dipilih oleh anggota
DPR. Melihat produk RUU pilkada 2014 ini menjadi penanda kebangkitan kekuatan
orde baru dalam kancah politik Indonesia
saat ini. Kebangkitan itu terlihat dari revisi UU pilkada 2014. Mekanisme ini mengembalikan kekuatan elit dengan mengurangi
kekuatan rakyat. Pelemahan rakyat pada masa orde baru sangat terasa dalam
masyarakat. Rakyat tidak punya andil
untuk menentukan kebijakan dalam pemerintahan. Sehingga pemerintah
sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan. Di masa orde baru tersebut, rakyat
diposisikan sebagai objek kebijakan. Rakyat seolah objek yang kaku tidak paham
soal politik. Jadi, partisipasi politik rakyat dihilangkan. Imbasnya, rakyat
tidak dipedulikan oleh pemerintah. Sebab rakyat tidak punya posisi tawar dalam
kelangsungan kedudukannya. Segala otoritas kekuasaan berada di pundak kepala
daerah dan DPR. Model ini memusatkan pada kekuasaan pada elit. Sementara, di
masa reformasi rakyat seolah punya kekuatan untuk menentukan sikap politiknya
dalam memilih pemimpin. Partisipasi politik ini memberikan ruang kepada rakyat
untuk terlibat dalam menentukan kebijakan.
Laksana menuntut perubahan ke arah yang lebih baik dengan melahirkan revisi
RUU Pilkada 2014 mengembalikan pemilihan kepala di daerah ke DPR. Justru perubahan
itu menodai cita-cita reformasi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat. Beberapa elit politik dari koalisi Merah
Putih yang terdiri dari Gerindra, PKS, PPP, Golkar, PAN, dan demokrat dari kubu
netral. Walau belakangan demokrat berubah arah mendukung pemilihan langsung.
Pengembalian pemilihan kepala daerah bertolak dari Pancasila poin keempat yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan kemudian dipertegas dalam pembukaan undang-undang
dasar 1945 dalam alinea keempat. Poin dalam Pancasila ini diplesetkan untuk
melegitimasi kekuatan undang-undang RUU pilkada ini. Poin ini juga dijadikan
dasar oleh orde baru untuk melegitimasi
kekuasaannya. Sementara spirit yang membangun Pancasila adalah adalah
gotong royong sebagaimana yang digagas oleh Ir. Sukarno. Semangat gotong royong
ini lebih cocok dengan pemilu langsung di mana masyarakat berbondong-bondong memilih
pemimpinnya. Selain itu, elit politik dari kubu koalisi merah putih menganggap
bahwa Pilkada langsung menelan biaya besar, memicu konflik horizontal dalam
masyarakat.
Pengusulan revisi UU pilkada 2014sebagai upaya pengembalian kekuatan partai
politik. Selama ini, partai politik tidak punya andil untuk mengintervensi
pemerintahan termasuk anggotanya yang bebal terhadap partai. Misalnya anggota
partai yang yang di usung terpilih menjadi kepala daerah, partai tidak punya
otoritas untuk memberhentikan anggota Kepala Daerah dari jabatannya. Walau,
sudah dipecat atau mengundurkan diri
dari partai yang mengusungnya. Seperti halnya Ahok (Basuki Tjahya Purnomo)
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Gerindra tidak bisa memberhentikan Ahok dari Wakil
Gubernur Dki Jakarta. Ketakberdayaan partai dalam mengintervensi kepala daerah
di tutupi dengan pemilihan kepala daerah melalui DPR. Ketika itu RUU Pilkada
2014 ditetapkan. anggota DPR seenaknya
saja akan membuat regulasi sesuai kepentingan partai yang mengusungnya. imbasnya
Kepala daerah tidak mengatasnamakan kepentingan rakyat tapi kepentingan partai.
Sementara, partai merupakan suara golongan bukan representasi rakyat. Pemilihan
kepala daerah dan anggota DPR telah mengesampingkan aspirasi rakyat karena
banyak suara rakyat tidak terwakilkan di DPR. Maka model seperti ini pernah
terjadi di masa orde baru. ketika RUU
Pilkada 2014 disepakati menjadi penanda kelahiran neo-orde baru dan memicu produk-produk
Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah
(Permen) serta Peraturan Daerah (Perda) mirip Orde baru. RUU
PIlkada 2014 akan menyandra kepentingan rakyat.
Oleh “S”
Bulukumba, 15 September
2014