Selasa, 23 September 2014

,

RUU PILKADA 2014 : KELAHIRAN NEO ORDE BARU

RUU PILKADA 2014 : KELAHIRAN NEO ORDE BARU

Revisi undang-undang Pemilihan Kepala daerah 2014 (UU PILKADA 2014) menuai pro dan kontra di tingkat elit politik maupun di masyarakat. Pro-kontra tersebut hadir ketika Gamawan Fausi sebagai menteri dalam negeri menyerahkan revisi UU Pilkada ke anggota Dewan Perwakilan rakyat Republik Indonesia (DPR-RI). Salah satu butir RUU pilkada yang menuai polemik yaitu mekanisme pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat yang di ubah menjadi kepala daerah dipilih oleh anggota DPR.
Bertolak dari perubahan isi RUU pilkada 2014 ini, kita diingatkan kembali pada masa orde baru di mana kepala daerah dan presiden dipilih oleh anggota DPR. Melihat produk RUU pilkada 2014 ini menjadi penanda kebangkitan kekuatan orde baru  dalam kancah politik Indonesia saat ini. Kebangkitan itu terlihat dari revisi UU pilkada 2014. Mekanisme ini  mengembalikan kekuatan elit dengan mengurangi kekuatan rakyat. Pelemahan rakyat pada masa orde baru sangat terasa dalam masyarakat. Rakyat tidak punya andil  untuk menentukan kebijakan dalam pemerintahan. Sehingga pemerintah sewenang-wenang dalam mengambil kebijakan. Di masa orde baru tersebut, rakyat diposisikan sebagai objek kebijakan. Rakyat seolah objek yang kaku tidak paham soal politik. Jadi, partisipasi politik rakyat dihilangkan. Imbasnya, rakyat tidak dipedulikan oleh pemerintah. Sebab rakyat tidak punya posisi tawar dalam kelangsungan kedudukannya. Segala otoritas kekuasaan berada di pundak kepala daerah dan DPR. Model ini memusatkan pada kekuasaan pada elit. Sementara, di masa reformasi rakyat seolah punya kekuatan untuk menentukan sikap politiknya dalam memilih pemimpin. Partisipasi politik ini memberikan ruang kepada rakyat untuk terlibat dalam menentukan kebijakan.
Laksana menuntut perubahan ke arah yang lebih baik dengan melahirkan revisi RUU Pilkada 2014 mengembalikan pemilihan kepala di daerah ke DPR. Justru perubahan itu menodai cita-cita reformasi untuk mengembalikan kedaulatan rakyat.  Beberapa elit politik dari koalisi Merah Putih yang terdiri dari Gerindra, PKS, PPP, Golkar, PAN, dan demokrat dari kubu netral. Walau belakangan demokrat berubah arah mendukung pemilihan langsung. Pengembalian pemilihan kepala daerah bertolak dari Pancasila poin keempat yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan kemudian dipertegas dalam pembukaan undang-undang dasar 1945 dalam alinea keempat. Poin dalam Pancasila ini diplesetkan untuk melegitimasi kekuatan undang-undang RUU pilkada ini. Poin ini juga dijadikan dasar oleh orde baru untuk melegitimasi  kekuasaannya. Sementara spirit yang membangun Pancasila adalah adalah gotong royong sebagaimana yang digagas oleh Ir. Sukarno. Semangat gotong royong ini lebih cocok dengan pemilu langsung di mana masyarakat berbondong-bondong memilih pemimpinnya. Selain itu, elit politik dari kubu koalisi merah putih menganggap bahwa Pilkada langsung menelan biaya besar, memicu konflik horizontal dalam masyarakat.
Pengusulan revisi UU pilkada 2014sebagai upaya pengembalian kekuatan partai politik. Selama ini, partai politik tidak punya andil untuk mengintervensi pemerintahan termasuk anggotanya yang bebal terhadap partai. Misalnya anggota partai yang yang di usung terpilih menjadi kepala daerah, partai tidak punya otoritas untuk memberhentikan anggota Kepala Daerah dari jabatannya. Walau, sudah dipecat atau  mengundurkan diri dari partai yang mengusungnya. Seperti halnya Ahok (Basuki Tjahya Purnomo) Wakil Gubernur DKI Jakarta, Gerindra tidak bisa memberhentikan Ahok dari Wakil Gubernur Dki Jakarta. Ketakberdayaan partai dalam mengintervensi kepala daerah di tutupi dengan pemilihan kepala daerah melalui DPR. Ketika itu RUU Pilkada 2014 ditetapkan.  anggota DPR seenaknya saja akan membuat regulasi sesuai kepentingan partai yang mengusungnya. imbasnya Kepala daerah tidak mengatasnamakan kepentingan rakyat tapi kepentingan partai. Sementara, partai merupakan suara golongan bukan representasi rakyat. Pemilihan kepala daerah dan anggota DPR telah mengesampingkan aspirasi rakyat karena banyak suara rakyat tidak terwakilkan di DPR. Maka model seperti ini pernah terjadi di masa orde baru.  ketika RUU Pilkada 2014 disepakati menjadi penanda kelahiran neo-orde baru dan memicu produk-produk Undang-undang (UU), Peraturan Pemerintah  (Permen) serta Peraturan Daerah (Perda) mirip Orde baru. RUU PIlkada 2014 akan menyandra kepentingan rakyat.
Oleh “S”
Bulukumba, 15 September 2014