BERJALAN
DI KOTA ANGKOT
Tujuh hari sudah berselang di kota ini, menikmati desau
angin, terik mentari, jatuhan butiran hujan, lelehan permata embun pagi. Tapi,
satu hal aku rindukan yang selalu jatuh di tubir langit tak pernah aku
menatapnya. Jingga hanya nampak di atas permadi atap rumah setelah itu tak ada
lagi. Akhirnya semua langit di sapu gelap. Di kala malam tiba hanya
sebutir bintang yang berkedut menyangsikan orang-orang lagi kasmaran di dataran
kota angkot ini. Sungguh kota ini tidak seromantis di ingatanku. Kota yang
selalu menjatuhkan butir kehidupan, kini air matanya hanya meringis kesakitan.
Dari sebermula aku bersolek di kota ini, jiwanya sudah
kesakitan sekuntum bunga tak lagi mekar, senyum gadis-gadisnya tak segirang
yang kubayangkan. Tatapan mereka hanya wajah-wajah muram. Berlari mengejar
waktu, bergegas menemui kekasih di simpan jalan. Semua akan terasa sia-sia,
jika waktu tiba dengan janji, semua sudah jadi ingkar. Hal itu sudah menjadi
lumrah di kota ini. Aku akan menjalani hari demi hari seperti itu adanya.
Bulan purnama yang kadang kita nantikan hanya tertutup
kabut, yang konon katanya kabut-kabut itu berasal dari kumpulan asap yang
mengepul menjadi satu kumpulan awan. Setelah, itu berkumpul menjadi gelap
cahaya kebenaran pun tertutupi. Lihat saja, pemerintah kita ini selalu menuding
asap rokok mencemari polusi udara, dengan tidak merokok lingkungan menjadi steril dalam artian tidak tercemar. Itu sih yang
sering aku dapatkan di pinggiran trotoar jalan, depan kantor pemerintah, dan
tempat-tempat umum. Dari situlah, kadang aku tidak temukan lagi pengisap
cerobong asap.
Hari-hariku semakin meleleh, ketika aku mencari gadis yang katanya berparas cantik dan
menggoda sebagai polusi di kota ini. Aku tak temukan jua seperti mencari
seorang perokok di tempat ini. Aku pun jatuh hati dengan seorang pria, hanya
sekedar mengelus rokoknya, sesekali ujung rokoknya dia pukulkan di atas
lututnya. Lelaki itu sangat rindu dengan rokok di tangannya itu, mulutnya
seolah ingin mencecap sebatang rokok itu. Setelah lama ia pandangi akhirnya
rokok itu di simpan di telinga bagian kirinya. Cukup kasihan, ia rela menderita
demi menyenangkan hati pemerintah. Ia cukup teguh memegang asas
pembertidakdayaan dan pematian mendadak oleh kebijakan pemerintah. Hatiku pun
kadang merana pula, peraturan dibuat menyiksa diri, sementara sedang tertawa yang
sedang menghukum.
Negeri ini bukan hanya sekadar permainan
akrobat para politis. tapi, negeri ini,
negeri para bedebah dan pembunuh paling keji.
Jika hari ini asap rokok menimbulkan polusi udara, kita
menunggu waktu lada hitam, lombok, cabai, dan semacam pedas-pedasnya yang
lainnya untuk divonis sebagai penyebab muntah berak (MUNTABER). Dan, Penyakit
ini cukup berbahaya karena salah satu yang menyebabkan kematian pada anak-anak,
balita, dewasa, dan orang tua. Penyakit ini membuat jantung menjadi off. Jika vonis kesehatan telah
dijatuhkan, sisa menunggu waktu kebijakan akan dikeluarkan untuk melarang makan
yang mengandung cabai, lada hitam, lombok, dan semacamnya karena mengganggu
keuangan negara. Hati-hatilah mengonsumsi makanan itu karena pejabat kita tidak
akan mendapatkan subsidi. Keuangan kita sedang defisit, tak ada dana untuk
menyubsidi orang sakit.
Di kota angkot ini, katanya sangat rentan dengan
muntaber karena pedas-pedasan. Ini bisa dijadikan indikator untuk kota-kota
yang lain untuk mengukur penyebab muntaber. Bayangkan saja, hampir tiap hari
ada saja mahasiswa, warga masuk rumah sakit karena muntaber itu. Makanya, di
kota ini kita serba hati-hati untuk menjadi penyantap.
Maaf tulisan ini meleleh ke soal makanan dulu karena
makan tanpa rokok itu tidak mengasyikkan. Untukmu yang para perokok. Rokokmu bukan
satu-satunya sumber polusi, yang berpolusi itu mulut para pemangku kebijakan yang
tidak berpihak pada rakyat. Jika rokok anda saya bandingkan dengan cerobong
knalpot mobil dan motor. Knalpot kendaraan itu Masih lebih besar cerobong rokok
anda. Apalagi cerobong pabrik industri Itu yang lebih berpolusi. Aku yakin,
bahwa aku merindukan jingga karena kepulan asap beracun dari knalpot motor,
mobil, kendaraan bermesin yang lain. Serta asap industri yang senantiasa
mengepul sepanjang hari.
Dengan knalpot-knalpot itu pula di kota ini, kita akan
selalu terjebak macet satu sampai dua jam dengan jarak tempuh normal 30 menit.
Macet di kota ini sudah menjadi tradisi, sehingga wajah yang cantik harus
bertampak muram. Jatuh cinta pun di kota ini menjadi sulit, tapi untuk bercinta
bagi para pecandu kelamin akan mengalir seperti air. Rasanya, tidak sulit
menemukan air di kota yang sering hujan.
SAMPEAN