LEMBAGA
KULTUR :
MEDIA ALTERNATIF PEMBELAJARAN MAHASISWA
Dinamika kemahasiswaan
identik dengan pergerakan dan kegiatan-kegiatan intelektual yang sering
dilakukan oleh para mahasiswa yang bergelut di dalam lembaga kemahasiswaan
maupun non struktural dari lembaga kemasiswaan. bentuk-bentuk dari kegiatan
kemahasiswaan ini terlihat pada program-program kerja yang sering dilakukan
oleh lembaga kemahasiswaan seperti pembentukan kelompok-kelompok diskusi serta
forum-forum kajian untuk mengawal problem-problem mahasiswa di lingkungan
kampus dan kegiatan-kegiatan lainnnya yang bersifat membangun bakat dan potensi
mahasiswa.
Akan tetapi, saat ini
lembaga kemahasiswaan mengalami kemunduran yang sangat pesat karena lembaga
tersebut terkadang tidak mampu mewadahi kebutuhan mahasiswa sebagai kaum
intelektual selain itu pencitraan para pengurus lembaga kemahasiswaan semakin
melorot karena hanya mengutamakan popularitas yang krisis tanggungjawab. Dampak
dari kondisi yang seperti ini maka lahirlah lembaga-lembaga kultur sebagai
alternatif untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan intelektual mahasiswa seperti
KOMIK (Komunitas Intelektual Kampus) di Fakultas Ilmu Pendidikan, PROLOG
(Progresif dan Logis) di Fakultas Ekonomi dan sosial dan Muqaddimah di Fakultas
Ilmu Sosial. Para pelopor lembaga kultur ini merasa resah dengan kondisi
kemahasiswaan yang sekarang ini yang hanya membincangkan hal-hal yang
tidak penting dan minat-minat kemahasiwaan tidak terakomodasi di lembaga
kemahasiswaan sehingga mahasiswa yang masih peduli, mencari alternatif yang lain untuk
menyalurkan potensi dan bakat mahasiswa maka lahirlah lembaga kultur ini untuk
mewadahi kebutuhan mahasiswa. Posisi lembaga kultur bersifat independent tidak
terikat oleh lembaga kemahasiswaan dan tidak terikat oleh jurusan sehingga
dalam posisi lembaga kultur memiliki kebabasan untuk menyalurkan aspirasi dan
bakatnya tanpa ada tindakan preventif dari berbagai pihak. Lembaga kultur
berjalan atas inisiatif para penggeraknya.
Jika kita refleksi
kondisi lembaga kemahasiswaan saat ini di UNM, kita bisa katakan bahwa lembaga
kemahasiswaan telah mati karena otoritas penuh ada pada para birokratisasi
kampus. Lembaga-lembaga kemahasiswaan telah di bekukan mulai dari tingkatan
Study club yang non struktural, HMJ, BEM Universitas telah menjadi vakum. Hal
ini membuktikan bahwa sekarang lembaga kemahasiswaan tidak memiliki kekuatan
apa-apa untuk mempertahankan eksistensinya. Pembuktian ini bisa kita lihat pada
pemecatan mahasiswa secara massal di fakultas Bahasa dan Penghentian aktivitas
Lembaga kemahasiswaan di fakultas tersebut. Kebijakan ini berefek pada fakultas
lain dengan bentuk yang berbeda seperti di Fakultas FIS setiap jurusan otorites
kebijakan Himpunan ditentukan oleh ketua jurusan masing-masing. Sikap yang
seperti ini membatasi kreativitas mahasiswanya sebab ada kejanggungan untuk menentukan sikap
kelembagaan khususnya dalam menentukan program kerja.
Efek dari semua ini,
aktivitas lembaga menjadi mati, aktivitas kelembagaan tidak terlihat, obrolan
tentang gosip mewaranai taman bukanlah lagi diskusi keilmuwan, lembaga
kemahasiswaan menjadi lembaga elit di tingkatan mahasiswa, aktivitas
mahasiswa di warnai oleh jejaring sosial
bukanlah lagi membaca buku, kegiatan ilmiah tidak terlihat. Kegiatan yang di
lakukan para pengurus lembaga adalah bagaimana menyenangkan hati para
Birokrasi.
Dari warna yang
terlihat dari berbagai kebisuan intelektual dalam lingkungan kampus. Birokrat
kampus menjadi leluasa menerapkan kebijakan yang tak berpihak kepada mahasiswa.
Selain daripada itu kebekuan lembaga kamasiswaan saat ini menandakan hilangnya
power untuk menekan kebijakan yang represif akibat dari ketidaksiapan pengurus
menghadapi kebijakan tersebut karena mahasiswa tidak dengan konsep yang jelas
dengan data yang liar.
Sehingga tidak heran apabila
mahasiswa menjadi jalur alternatif untuk belajar dan berdiskusi sebab lembaga
kamahasiswaan dalam tidak mampu mahasiswa sebab lembaga kemahasiswaan seperti
milik segelintir orang. Rasa bangga terhadap lembaga kemahasiswaan hanya
berkutat pada kalangan pengurus. Namun yang lain hanyalah orang sambi lalu.
Ketidaknormalannya
lembaga kamahasiswaan ini memenculkan wajah baru dengan pergerakan kultur
dengan tujuan membangun fondasional di tingkat bawah. Bergerak di tingkat
sektoral namun memiliki ruang aktualisasi yang luas. Sebab satu tujuan yang
baik belum tentu bisa di sambut dengan yang tangan terbuka namun kita di sambut
dengan tangan yang terkepal sebab itulah perjuangan sebab kebaikan hanya sifat
yang melekat pada ruang dan waktu.
SaMpeaN
***