IKHTIAR KATA
Tiada terkira, rasa malu lepas
lekas hilang penuh ragu-ragu. Sejumput senyum dan tatapan menghela napas
panjang meletakkan Jerigen dan mengantre untuk mengisi bensin.
jerigen berjejer rapi serupa serdadu, motor berbaris serupa semut.
Ahh........aling-aling hanya berupa tatapan sebongkah beku, ramai namun senyap.
Mula kata sulit terucap, apakah ini sebuah nestapa. Selekas itu datang, lalu
pergi. Ini bukan nestapa, tapi kikuk yang sedang bersulang dengan kerumunan.
Tak perlu riuh, tak perlu galak
tawa. Cukup senyum sendiri. Ahh..... mata cuma melotot, tak perlu paham
maksudnya. Debu purba hanya cukup melerai, kapan tangis disembunyikan. Kamu
hanya perlu duduk, berdiri dan berdiam diri. Lihatlah, yang lalu lalang,
menunggu kapan giliranmu mengangkat jerigen itu.
Pesona tampak merungsing. Tubuh
gemulai lembut, berhias tato, rambut berurai panjang dengan rona merah bata.
Senyum selalu mekar di bibirmu, merekah merah padam. Beruntung kamu tak
menggunakan pagar besi di gigimu, yang congkak itu. Hanya saja, Perutmu bontot
seolah ngotot melotot, selalu menenggak bir sebotol. Laku mu seolah muram, Aku
miris melihat jenjang tubuhmu. Sesekali kamu palingkan muka ke telepon
genggammu, kamu tertawa sendirian. Terkadang kamu mengeram menahan tawa,
sekelilingmu tak ada yang kocak. Aku pun tercengang melihatmu. Ternyata, di seberang
sana ada kawan kamu rupanya. "Maaf aku salah sangka tentangmu"
bergumam dalam hati.
Sejenak kuperhatikan kawanmu, dia
seolah gelagapan dengan tingkahmu, tersenyum malu-malu pula. Entah......
Mengapa gelagat kamu, seolah tak bersahabat karib? Namun, terlihat dekat.
kalian berdendang seloka Bugis - Makassar. Seloka yang tak pernah disyairkan
dengan lembut. Tapi, hanya dengan amarah, cacian, dan kebencian. Kalian mungkin
selalu bersama, tapi tak serupa. Tubuh kalian kamu balut penuh intrik. Dan
mungkin topengmu adalah pitutur mu. Kalian berdua adalah rahasia penuh bimbang,
kalian ceruk di atas tanah lapang.
Kulihat "toto bag" yang
kamu kenakan berlarik "telacco #katakan dengan lembut" Woow kamu
memang nyentrik kulihat lagakmu agak kasar, tak sedikit pun kesan lembut kamu
tampakkan. Namun, pesan yang hendak kamu sampaikan mengubah perangaimu
terhadapku. Kesan yang hendak kamu tinggalkan, bisa berupa kedamaian dan
kelembutan. Tak sengaja, aku melirik jaket kawan kamu yang terbelah "maaf bukan
belahan dada" baju kaos yang berwarna, berlengan abu-abu tertera larik
"assu #katakan dalang hati" pesan ironik yang hendak kamu sampaikan
dicemari dengan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Kata
"dalang" seharusnya menggunakan kata "dalam". Atau.
Mungkin, aku yang salah menafsirkan kata "dalang" ini, sepahaman ku
kata "dalang" adalah aktor, insiator, otak, pelaku dan lain-lain.
"Ini hanya pengaruh salah tulis saja" ketusku dalam hati. "Tak
apalah salah ketik atau tidak baku maupun okkots. Sebab, itu ada pesan ikonik.
Apatah lagi dengan kekurangan "g" atau kelebihan "g" adalah
budaya luhur, yang tak punya perangai serupa di Nusantara. Dari gaya pitutur
saja, kita sudah tahu bahwa kita serumpun. Kesan ikonik Bugis-Makassar berbahasa
Indonesia, membuat kelipungan suku lain.
Bagaimana tidak, kata
"kita" dalam suku Bugis - Makassar adalah panggilan penghormatan
kepada lebih tua dari penutur. Sementara, dalam bahasa Indonesia adalah kata
ganti yang melibatkan antara penutur dan pendengar." Sekedar ocehan dalam
hati, melepas lelah antre di pertamina yang kian memanjang.
**
Senja kala, peristiwa sepuluh tahun
silam. Gara-gara kata "telacco" Darah mengucur di pelipis mata dan
mulut muntahkan darah. tubuh tertelungkup mengeram kesakitan, air mata sempat
menitik dari rona wajah yang membiru. Betapa tidak, pukulan telak berulang kali
menghujam tubuhku, tendangan putar sesekali merengsek mengenai ulu hati. Tubuh
seolah tak berdaya mendapat guyuran pukulan dari dua orang kakak. Seolah, sulit
mengelak dari pukulan-pukulan itu yang terus mengenai tubuhku.
Aku begitu lancung di hadapannya,
seuntai kata "telacco" jiwaku hampir merenggang. Muka yang merah
padam, sungguh murka terhadapku. Dianggap tak layak mengeluarkan kata-kata
kotor itu. Apatah lagi, terhadap orang yang lebih tua. Sungguh kata-kata itu
membuatku muak, dan murka. Jika terdengar nyaring di telingaku. Mengembalikan
luka di masa silam. Bagaimana pula dengan seloka tadi dari anak-anak intrik,
jika kata “telacco” diucapkan dengan lembut, kata “assu” diucapkan dalam hati.
Mungkin peristiwa itu tak pernah terjadi. Entahlah !
"Mungkin ini pemberontakan bahasa,
ihwal penghancuran terhadap bahasa keseharian" ketusku. Seseorang membalikkan
badannya ke aku. Lalu, dia menatapku dan tersenyum. Entah apa, yang ia
pikirkan. Seorang anak mudah, tampak malu-malu berdiri bersama kerumunan orang
tua. Dan apa pula yang dilakukan gadis itu, selalu menatapku, kadang tak
berkedip. Perjumpaan di kerumunan, hanya menyisakan serupa cerita. Kenangan yang
tak beralur
“mungkinkah, kata “telacco” yang
diucapkan dengan lembut mengurangi kesan kasar atau mengurangi ungkapan
sarkastis yang dikandungnya, apakah pengucapan dengan lembut bisa mengurangi ketersinggungan pihak lain!”
Bolehkah, aku bertandang di bibirmu,
pendengar peluh kata itu. Mungkin menjadi nyanyian syahdu, yang akan ku dengar.
Serupa seloka, yang tak pernah disyairkan dengan lembut. Tapi, amarah....
Kini, kamu berlalu..... seperti
hilangnya titik, yang lindap di pelupuk mata. Sekian, karena tak ada lagi yang
harus ku ucap, kali ini. Cerita ini sudah kukulum dalam nadiku, bisa saja
terangkai pada peristiwa lain untuk
dituturkan.
Keterangan :
Assu (bahasa konjo) artinya Anjing
Telacco (bahasa konjo) kelamin
laki-laki