Rabu, 24 Agustus 2016

,

JERUK NIPIS

JERUK NIPIS
Sehabis mengepel rumah senior di jalan Citayam Kabupaten Bogor provinsi Jawa Barat. sekitar pukul 5.30 WIB sore aku keluar mencari makan tempat sesuai dengan isi kantong. Aku menelusuri gang kecil hanya cocok dilalui seorang tanpa berpapasan di sebelah selatan rumah itu. Berjalan sekitaran dua menit jalan sudah terasa lengan dua orang anak laki-laki bermain bendera merah-merah putih sambil tertawa girang dan dua orang anak mudah sibuk mengutak-atik laptopnya tanpa peduli dengan orang di sampingnya. Tapi, aku merasa sungkan untuk lewat di tengah-tengah orang-orang itu dan aku harus memotong pembicaraan kedua orang itu yang masing-masing di seberang jalan. Tanpa sungkan, saya lewat dengan menundukkan sedikit badan menurunkan satu tangan seperti yang biasa dilakukan orang-orang suku Bugis-Makassar ketika berjalan di depan orang lain dengan mengucap kata tabe’. Tata krama ini tidak berlaku lagi di tanah Sunda, di mata mereka itu sedikit aneh ketika melewati mereka berdua. Sambil berlalu aku mengucap permisi untuk mengganti kata tabe’ itu. Kemudian mereka mempersilakan aku melaluinya.
Sekitar sepuluh meter dari orang-orang itu, aku sudah berada di pertigaan aku berbelok kiri, sepuluh meter lagi aku belok kanan berjalan lurus ke arah barat sekitar dua puluh meter kemudian aku kembali belok kiri. Sekitar dua puluh meter lagi aku belok kanan kembali ke arah barat. Tidak jauh pembelokan itu,  di sudutnya terdapat  pangkalan ojek dan rumah makan tanpa nama.
Aku pilih tempat karena tempat itu amat sangat sederhana, ayamnya hanya dipajang tergeletak di dalam kaca tanpa penutup kain dan sejenisnya yang lain, di sekelilingnya terlihat wajan untuk menggoreng dan membakar ayam dan ikan. Dengan perasaan yang sangat canggung dengan budaya yang baru, apalagi ibu itu memandangku dengan penuh takzim. Aku merasa ada yang aneh dengan tatapan itu, dengan perasaan malu dan agak terbata-bata  “Bu pesan makanan”
“Iya, makan di sini?” kata ibu penjual makanan itu, matanya masih terus mengamatiku.
“Iya” sambil aku menganggukkan kepala.
“Pakai ayam atau ikan ? kata ibu itu melanjutkan
“Ayam sajah bu” sambil menarik kursi untuk duduk menunggu pesanan.
“Ayam Goreng atau bakar?”
“Ayam Goreng ajah bu”
“Dada, Paha, Sayap ?”
“Dada saja”
Setelah percakapan kami ibu itu sudah sibuk mempersiapkan makanan yang aku pesan. Tidak lama berselang dengan percakapan kami. Sepasang kekasih mampir juga pesan makanan, ketiga orang itu terlihat berdialog dan sepasang kekasih itu duduk tepat di belakang saya. Setelah sepasang kekasih itu datang, tamu-tamu yang lain terus berdatangan tempat itu sudah mulai terlihat penuh.
Ibu itu terlihat kerepotan melayani pengunjung warungnya, sembari membakar potongan ayam, dia juga menggoreng ayam yang  ku pesan. Ketika terlihat kebingungan. Ia masuk ke dalam rumah terdengar dialog dua suara perempuan. Akhirnya, kedua perempuan itu keluar. perempuan yang berbaju warna abu-abu yang kira-kira berkepala lima melayani saya dan mempersiapkan pesanan pengunjung yang lain.
Beberapa menit kemudian dia membawakan pesanan saya. Nasi Ayam goreng dada dan air putih. Ibu yang pertama memakai baju merah berkerudung hitam masih terus mengamatiku. Tapi, aku cuek saja. Aku terus memakan timun yang ada pada ayam goreng itu sambil menunggu tempat cuci tangan.
Ibu berbaju abu-abu kembali membawakan saya tempat cuci tangan di dalam terdapat jeruk nipis. Aku sedikit kaget, kok jeruk nipisnya ada di tempat cuci tangan. Biasanya di Makassar jeruk ada tempat khususnya seperti piring kecil, tapi di sini di tempat cuci tangan. Tanpa ragu aku ambil jeruk nipis itu di tempat cuci tangan itu aku peras ke dalam sambal ayam goreng itu. Saya berkata dalam hati “Mungkin Jeruknya kurang berair sehingga dimasukkan ke dalam tempat cuci tangan. Setelah kuperas jeruk itu, ibu tertawa. “iiii jeruk itu untuk cuci tangan bukan di peras ke sambel ayam” semua mata pengunjung menoleh ke aku dan tersenyum simpul. Ibu itu  melapor ke ibu yang pertama entah apa dia katakan dalam bahasa Sunda. 
Aku juga merasa bingung dengan jeruk nipis di dalam tempat cuci tangan itu. Setelah baru aku berpikir sambil makan. Jeruk nipis ini digunakan untuk menghilangkan bau amis pada tangan dan mensterilkan kuman-kuman barangkali. Itu dugaan aku sementara.
Lain tempat, lain juga memperlakukan jeruk nipis.
Di Makassar jeruk nipis digunakan untuk menambah rasa asam pada makanan khususnya yang berkuah seperti bakso, mie ayam, soto ayam, coto, dan pallu basa. Di Pare Kediri Jawa Timur: Makassar sudah diidentikkan dengan jeruk nipis. Jika ada orang minta asam cuka dan jeruk nipis anda di identifikasi sebagai orang Makassar. “Eeeehhh Di Citayam Bogor, Jeruk Nipis tempatkan ke dalam tempat cuci tangan.
Citayam,  24 agustus 2016