Tidak elok rasanya menceritakan keburukan orang lain apalagi menjelek-jelekannya. Seluruh laku dan tindakan seseorang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Lakon yang diperangkan oleh seseorang akan menjadi cerita bagi dirinya sendiri dan untuk orang lain. Posisi saya di sini sebagai orang lain untuk bertutur tentang orang di luar dari diri saya. Suatu peristiwa yang mesti saya ceritakan kepada yang lain tentang pergeseran nilai yang diperankan oleh manusia. Nilai tersebut menyangkut spirit “Mendaki Gunung”. Saya tidak bermaksud untuk menceritakan keburukan, tapi mencoba mengungkap kenyataan yang tersembunyi. Kenyataan itu, berada dibalik lembah Ramma’
Lembah Ramma’ berada di kaki gunung Bawakaraeng di kabupaten Gowa. Lembah
Ramma’ menyimpang pesona alam yang menakjubkan. Lembah yang di kelilingi oleh
pegunungan seolah berada di dasar danau yang luas tanpa air. Pesona keindahan
yang ditampakkan oleh lembah Ramma’ ketika disaksikan dari atas Puncak Talung
menampakkan arsitektur alam yang menakjubkan. Lembah Ramma’ menyatu dengan
danau. di dalamnya teradapat aliran sungai, semuanya menuju danau. Sulit
rasanya menceritakan ketakjuban lembah Ramma’. Namun, untuk menikmati keindahan
Lembah Ramma’ butuh perjuangan karena untuk sampai kesana, kita mesti menempuh
perjalanan selama empat jam dengan jalan kaki. Serta jalan yang kita mesti
tempuh begitu terjal karena harus melewati beberapa gunung untuk sampai kesana.
Segala kepenakan menjadi pupus ketika tiba disana karena disediakan wejangan
pesona alam. Tidak heran ketika banyak yang mengunjunginya. Lembah ini sangat
digandrungi oleh banyak pandaki. Hampir setiap pekan tidak pernah kosong oleh pendaki.
Tapi, entah mengapa beberapa tahun terakhir aktivitas mendaki gunung terus
meningkat dan banyak digandrungi para anak mudah khususnya oleh para pelajar
dan mahasiswa. Pada mulanya aktivitas mendaki gunung gandrungi oleh mahasiswa
yang bernama Soe Hok Gie. Tujuan mandaki Soe Hok Gie untuk lepas dari hiruk
pikuk perkotaan dan kondisi kampus yang jumud. Soe Hok Gie mengaleanasikan diri
dari aktivitas kesehariannya bahkan Sok Hok Gie memaknai pendakiannya sebagai
perjalanan spiritual. Sebagaimana termaktub dalam syairnya “berbagi waktu
dengan alam, untuk tahu siapa diri ini”. Dari syair ini tampak bahwa Soe Hok
Gie dalam perjalanannya ke gunung bukan hanya sekedar rekreasi dan menghabiskan
waktu yang tidak bermanfaat.
Apa yang dilakukan Soe Hok Gie menjadi inspirasi para pendaki-pendaki
selanjutnya. Hingga pada akhirnya jumlah pendaki semakin meningkat dan
menunjukkan degradasi nilai terhadap para pendaki. Banyak pendaki hanya pergi
rekreasi dan bersenang-senang. Di sisi lain, aktivitas mendaki gunung hanya
sebagai gaya hidup. Gunung tercemar dengan bahan-bahan kimia dari berbagai
bekal yang dibawa oleh para pendaki. Pada awalnya masih alami belum tercemar
dengan sampah plastik.
Sebagaimana yang terlihat di lembah Ramma’
setiap pekan Lembah Ramma’ dipenuhi oleh pendaki dan hiruk pikuk keramaian.
Sejatinya di sana menampakkan manusia-manusia tanpa beban. Aktivitas yang dia
tunjukkan di atas gunung tak ubahnya dengan kehidupan kota. Aktivitas di kota
menjadi perulangan di lembah Ramma’. Sampah berserakan di mana-mana, teriak
semaunya, main domino, dan minum-minuman keras. Di atas gunung selayaknya hanya
sebagai tempat hura-hura. Semua tak ada yang berubah. Para pendaki hanya menunjukkan
bagaimana menaklukkan gunung, mereka sudah jauh dari pemeliharaan alam. Andai
saja mereka mencintai alam, seharusnya mereka dan menikmati dan memeliharanya.
Alam tidak untuk ditaklukkan tapi untuk menjadi sahabat. Nyanyian sunyi Lembah
Ramma’ hanya menjadi ratapan keramaian. Penghayatan terhadap alam hanya menjadi penyaksian
bisu. Lesterilah alam ku, maka indahlah selamanya. Semoga alam terpelihara
selamanya.[*]
OLEH "S"