Rabu, 05 November 2014

,

LEMBAH RAMMA' DAN MANUSIA TANPA BEBAN


Tidak elok rasanya menceritakan keburukan orang lain apalagi menjelek-jelekannya. Seluruh laku dan tindakan seseorang menjadi tanggung jawabnya sendiri. Lakon yang diperangkan oleh seseorang akan menjadi cerita bagi dirinya sendiri dan untuk orang lain. Posisi saya di sini sebagai orang lain untuk bertutur tentang orang di luar dari diri saya. Suatu peristiwa yang mesti saya ceritakan kepada yang lain tentang pergeseran nilai yang diperankan oleh manusia. Nilai tersebut menyangkut spirit “Mendaki Gunung”. Saya tidak bermaksud untuk menceritakan keburukan, tapi mencoba mengungkap kenyataan yang tersembunyi.  Kenyataan  itu, berada dibalik lembah Ramma’
Lembah Ramma’ berada di kaki gunung Bawakaraeng di kabupaten Gowa. Lembah Ramma’ menyimpang pesona alam yang menakjubkan. Lembah yang di kelilingi oleh pegunungan seolah berada di dasar danau yang luas tanpa air. Pesona keindahan yang ditampakkan oleh lembah Ramma’ ketika disaksikan dari atas Puncak Talung menampakkan arsitektur alam yang menakjubkan. Lembah Ramma’ menyatu dengan danau. di dalamnya teradapat aliran sungai, semuanya menuju danau. Sulit rasanya menceritakan ketakjuban lembah Ramma’. Namun, untuk menikmati keindahan Lembah Ramma’ butuh perjuangan karena untuk sampai kesana, kita mesti menempuh perjalanan selama empat jam dengan jalan kaki. Serta jalan yang kita mesti tempuh begitu terjal karena harus melewati beberapa gunung untuk sampai kesana. Segala kepenakan menjadi pupus ketika tiba disana karena disediakan wejangan pesona alam. Tidak heran ketika banyak yang mengunjunginya. Lembah ini sangat digandrungi oleh banyak pandaki. Hampir  setiap pekan tidak pernah  kosong oleh pendaki.
Tapi, entah mengapa beberapa tahun terakhir aktivitas mendaki gunung terus meningkat dan banyak digandrungi para anak mudah khususnya oleh para pelajar dan mahasiswa. Pada mulanya aktivitas mendaki gunung gandrungi oleh mahasiswa yang bernama Soe Hok Gie. Tujuan mandaki Soe Hok Gie untuk lepas dari hiruk pikuk perkotaan dan kondisi kampus yang jumud. Soe Hok Gie mengaleanasikan diri dari aktivitas kesehariannya bahkan Sok Hok Gie memaknai pendakiannya sebagai perjalanan spiritual. Sebagaimana termaktub dalam syairnya “berbagi waktu dengan alam, untuk tahu siapa diri ini”. Dari syair ini tampak bahwa Soe Hok Gie dalam perjalanannya ke gunung bukan hanya sekedar rekreasi dan menghabiskan waktu yang tidak bermanfaat.
Apa yang dilakukan Soe Hok Gie menjadi inspirasi para pendaki-pendaki selanjutnya. Hingga pada akhirnya jumlah pendaki semakin meningkat dan menunjukkan degradasi nilai terhadap para pendaki. Banyak pendaki hanya pergi rekreasi dan bersenang-senang. Di sisi lain, aktivitas mendaki gunung hanya sebagai gaya hidup. Gunung tercemar dengan bahan-bahan kimia dari berbagai bekal yang dibawa oleh para pendaki. Pada awalnya masih alami belum tercemar dengan sampah plastik.
 Sebagaimana yang terlihat di lembah Ramma’ setiap pekan Lembah Ramma’ dipenuhi oleh pendaki dan hiruk pikuk keramaian. Sejatinya di sana menampakkan manusia-manusia tanpa beban. Aktivitas yang dia tunjukkan di atas gunung tak ubahnya dengan kehidupan kota. Aktivitas di kota menjadi perulangan di lembah Ramma’. Sampah berserakan di mana-mana, teriak semaunya, main domino, dan minum-minuman keras. Di atas gunung selayaknya hanya sebagai tempat hura-hura. Semua tak ada yang berubah. Para pendaki hanya menunjukkan bagaimana menaklukkan gunung, mereka sudah jauh dari pemeliharaan alam. Andai saja mereka mencintai alam, seharusnya mereka dan menikmati dan memeliharanya. Alam tidak untuk ditaklukkan tapi untuk menjadi sahabat. Nyanyian sunyi Lembah Ramma’ hanya menjadi ratapan keramaian. Penghayatan terhadap alam hanya menjadi penyaksian bisu. Lesterilah alam ku, maka indahlah selamanya. Semoga alam terpelihara selamanya.[*]

OLEH "S"