Rabu, 24 September 2014

,

SAVE PANDANG RAYA: MENOLAK TERGUSUR DARI TANAH TUHAN, TANAH RAKYAT

SAVE PANDANG RAYA:  MENOLAK TERGUSUR DARI TANAH TUHAN, 
TANAH RAKYAT

Soal agraria adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia; tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai makanan. penjelasan ini menjadi kalimat pembuka buku Mochammad Tauchid berjudul masalah agraria. Pentingnya tanah bagi manusia seperti sisi mata uang tidak dapat pisahkan. Tanah menjadi alas dari kebutuhan dasar manusia seperti tempat tinggal, makanan dan perlindungan. Manusia tidak akan berdaya dengan ketidakhadiran tanah. Pentingnya Tanah bagi kehidupan manusia dianologikan sebagai Tuhan sekitar manusia tapi bukan Tuhan. Tanah adalah milik Tuhan, tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya selain DIA, Tuhan hanya memberikan ruang untuk mengeksplorasi, mengolah dan mendayagunakannya untuk kepentingan hambanya. Kesempatan yang diberikan itu untuk dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 33 tentang kesejahteraan sosial poin c menjelaskan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjelasan dalam undang-undang dasar 1945 menjadi dasar yang kuat bahwa tanah bukan untuk kepemilikan golongan. Tanah untuk rakyat tanah bukan untuk kaum pemodal. Sangat salah kiranya ketika Negara mengabaikan hak dasar itu. Seyogyanya Negara memberikan perlindungan kepada warganya ketika mengalami kesulitan dalam kepemilikannya. Apalagi ketika rakyat kehilangan tempat tinggal. Kehilangan tempat tinggal bagi rakyat sama halnya mengusir tuan rumah dari rumahnya sendiri. Pasti, kejadian itu sangat memilukan dan menyakitkan bagi yang merasakannya. Menanti pertolongan dari sang pemberi otoritas (dalam hal ini negara) tak jua hadir, jelas sangat menyayak-nyayak luka bagi penghuninya.
Ketakberdayaan itu dirasakan oleh warga Pandang Raya yang terusir dari tempat tinggalnya, kenyamanannya terusik kehadirannya Gomang menggugat tanah milik rakyat. Gomang mengklaim bahwa yang ditinggali warga adalah miliknya beradsarkan akta tanah (Persil No. S2 a. SII Kohir No. 2160. C 1. Lokasi Jalan Hertasning Kelurahan Panaikang Kecamatan Panakukang) berbeda dengan Lokasi yang di huni oleh warga yang menjadi tergugat/objek eksekusi (No. Persil S2S1 Kohir 1241C1 Kelurahan Pandang Kecamatan Panakukang. Dan diperkuat oleh surat keterangan Kantor kelurahan Pandang yang ditandatangani oleh lurah terkait (Dakhyal S.Sos) tertanggal 5 Agustus 2009 dengan menyatakan bahwa lokasi yang dimaksudkan berdasarkan Persil dan kohir penggugat (Goman Wisan) berada diantara Jln. Adiyaksa dan Jln. Mirah Seruni Panakukang Square ( http://perangpandang.wordpress.com/). Pengklaiman yang dilakukan oleh Gomang sejatinya salah sasaran.
Apatah dikata, keadilan tidak berpihak kepada warga Negara sebagai pembantai yang terlatih dengan menurunkan militer mengancurkan warganya. Pada dasarnya Negara telah melakukan pengusiran terhadap warga negaranya. Hakim telah menghianti sumpahnya dengan memenangkan gugatan Gomang. Hakim telah mengorbangkan kemaslahatan umum. Di manakah Negara ketika warganya mengalami persoalan yang pelik seperti ini. Mestikah rakyat berteriak minta tolong ketika rakyat sudah nyata menjerit. Sementara Negara ada disampingnya. Ataukah Negara seperti perlakuan ceritra ini “dua orang mendaki gunung sama-sama menapaki jurang, dalam pendakian tersebut salah satu pendaki telah sampai pada puncaknya. Tiba-tiba pendaki yang satu kehabisan tenaga untuk sampai di puncak. Pendaki itu  masih menyisahkan beberapa meter. kemudian padaki itu minta tolong kepada sahabatnya untuk dibantu sampai keatas. Permintaan pertolongan itu, disambut dengan mendorong ke bawah. akhirnya sahabatnya terjatuh dan berakhir riwayat hidupnya.
Apakah Negara memperlakukan warga seperti itu sebagaimana yang terjadi di Pandang Raya pada tanggal 12 September 2014. Eksavator melumat rumah-rumah warga yang minyisahkan puing-puing penderitaan untuk mereka. Tidak tanggung-tanggung yang melakukan penggusaran adalah polisi yang dianggap mitra masyarakat. Kehadiran polisi bukan untuk membantu masyarakat tapi membantai masyarakat. Sulit rasanya menerima perlakuan tersebut. seharusnya Negara hadir membantu mereka, justru Negara membiarkan mereka terlantar di bawah tenda-tenda darurat yang dibuat teriknya matahari. Dimana balas budi Negara terhadap pengabdian wargannya. Rakyat senantiasa melayani dan menyantuni para pejabat Negara. Pembalasannya sungguh menyakitkan karena adanya kaum pemodal.
Bukan tanah yang kita warisi ini adalah hasil keringat, air mata dan darah para pejuang bangsa ini. Pejuang tersebut bukanlah dari orang asing yang datang ke Indonesia untuk berjuang. Tapi rakyat yang mempertaruhkan segalanya untuk bebas dari belenggu asing. Bukankah sejarah telah mencatat bahwa pangeran Dipanegoro berperang melawang Belanda hanya persoalan tanah yang tidak luas itu. Tapi, Pangeran Dipanegoro berperang atas nama kehormatan sebagai pemimpin, karena tanah rakyatnya dirampas oleh Belanda. Apakah pemimpin bangsa dan pemimpin daerah  ini rela turun tangan seperti pangeran Dipanegoro untuk meneriakkan menolak tergusur bagi warganya dari tanahnya sendiri. Ataukah pemimpin di negeri ini hanya sebagai penonton, melihat lakon yang mengasikan kekerasan yang terjadi di stasiun televisi.
Seharunya Negara menjalankan fungsi dan perannya sebagai mana yang termaktud dalam pasal 33 tentang kesejahteraan sosial. Pesan disematkan dalam UUD 45 sangat jelas. tamanah ini mesti dijalankan. Tanah bukan sekedar sumber penghidupan tetapi juga persoalan sosial dan politik sehingga sudah seharusnya Negara hadir mencaplok bahwa itu adalah tanah Tuhan untuk rakyat. Mari berjuang untuk menolak tergusur.
Oleh “S”
Makassar, 24 September 2014