Selasa, 04 November 2014

,

HARAPAN AUGUSTE COMTE : SOSIOLOGI SEBAGAI AGAMA PEMBEBASAN

 SOSIOLOGI,  AGAMA PEMBEBASAN
Oleh : Sampean

Suatu perjalanan panjang bagi sosiologi untuk lahir sebagai ilmu. Kajian tentang sosiologi hanya sebagai serpihan-serpihan gagasan yang tersebar di setiap ilmuwan sosial dan sains. Serpihan gagasan tersebut melintasi berbagai zaman hingga menemukan tuannya bernama Auguste Comte. Auguste Comte kemudian meracik ilmu tentang kemasyarakatan yang melahirkan sosiologi. Ilmu sosiologi pada dasarnya merupakan respons terhadap kondisi kemasyarakatan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu. Auguste Comte menganggap bahwa untuk menyelesaikan persoalan dalam masyarakat di butuhkan suatu disiplin keilmuan. Sebagai upaya untuk melakukan konstruksi dan rekayasa sosial dalam masyarakat. Walaupun pada saat itu, kajian tentang masyarakat mulai berkembang dengan berbagai macam peristilahan seperti statika sosial yang dikembangkan oleh Quetelet, kemudian fisika Sosial yang di kembangkan oleh Saint Simon, kemudian Auguste Comte mengembangkan istilah Sosiologi. Pada akhirnya memicu terjadinya sengketa dalam peristilahan dan  dimenangkan oleh Auguste Comte. Bagi Comte hal ini merupakan suatu prestasi melahirkan disiplin ilmu yang mengkaji secara murni tentang masyarakat. Comte mampu melepaskan ilmu kemasyarakatan dalam hal ini Sosiologi dari Filsafat.  Pencapaian ini mempengaruhi perkembangan kajian ilmu sosial selanjutnya. Sehingga Comte menaruh harapan besar bagi sosiologi untuk menjadi agama bagi umat manusia yang sifatnya universal dan empiris.
Gagasan Comte tentang sosiologi tidak lepas dari kondisi sosial di Prancis pada saat itu. Prancis pada saat mengalami sebuah guncangan besar dalam perkembangan politik dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam pergolakan ilmu pengetahuan  dalam fase akhir abad ke-18 dan awal fase ke-19 merupakan transisi perkembangan pemikiran dari rasionalisme menuju pemikiran empiris, era ilmu pengetahuan alam menciptakan teknologi. Gagasan tentang rasionalisme Descartesian mulai di tinggalkan sementara perkembangan sains sangat pesat, mulai ditemukan berbagai macam teknologi yang membantu kerja manusia. kemudian kajian ilmu sosial kemudian terseret ke ranah itu, sebagaimana Auguste Comte terpengaruh terhadap kedirian sosiologi yang sifatnya positivistik. Istilah positivitik merupakan istilah dalam filsafat yang melihat masyarakat sebagai kenyataan dengan menggunakan metode ilmu pengetahuan (Veeger, 1993:17). Dari gagasan Comte terlihat pola perubahan masyarakat dengan mengamati pola perkembangan akal budi manusia dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Dengan relasi ini Comte menyusun kerangka sosiologi untuk menjadi pengetahuan yang sifatnya empiris dengan menautkan kenyataan sosial dalam masyarakat. sebab, kenyataan sosial merupakan sesuatu yang bisa diamati dan di verifikasi. Sehingga mampu dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Secara lahiria sosiologi dihubungkan dengan proses perkembangan filsafat positivisme dengan perkembangan kesadaran dalam masyarakat Prancis.
Sosiologi : Positivisme Persilangan akal Budi Dan Kenyataan
Istilah positivisme dalam karya Auguste Comte cukup mendominasi, dalam hal ini Comte sangat terobsesi terhadap sistem masyarakat yang sifatnya harmonis. Masyarakat yang harmonis menurut Comte ketika ada hukum yang sifatnya universal untuk mengatur masyarakat. hukum tersebut bersifat positivistik dengan kata lain bahwa kenyataan sosial yang meliputi, gejala sosial, proses sosial, interaksi sosial dan komunikasi hal itu bisa di ukur dengan mengaitkan pendekatan ilmu alam. Pertautan ini yang dianggap mampu menjawab persoalan masyarakat sebab kemampuan akal budi untuk mencandra realitas di butuhkan alat yang lain. Sehingga Comte berusaha mengombinasikan  kemampuan indra dalam memverifikasi kenyataan. Kenyataan dalam pendekatan positivisme bahwa kenyataan yang dikonsepsikan harus sesuai dengan objeknya. Dengan kata lain,  kenyataan merupakan keterjalinan proses sosial dalam tatanan sosial yang melibatkan unsur aktor, ruang, waktu dan gerak.
Sehingga Hukum positivisme mampu mengukur kenyataan sosial dengan cara menguji dan meninjau masyarakat dengan pendekatan ilmu pengetahuan (Veeger, 1993:17). Sehingga gejala sosial yang sifatnya empiris harus diterima sebagai kenyataan dengan hukum yang mengaturnya  untuk meramalkan situasi sosial (Veeger, 1993:18). Dalam bingkai positivisme masyarakat  dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya alamiah sehingga bisa di ukur dengan pendekatan ilmu alam. Dengan menggunakan determinisme alam bahwa kenyataan sosial merupakan sesuatu yang berjarak dari pengamatnya. Dalam posisi ini kenyataan hanya sebagai objek yang sifatnya netral. Kenyataan yang Sifatnya netral menjaga kediriannya dari asumsi dan prasangka sekaligus mendorong manipulasi terhadapnya. Manipulasi tersebut tidak terlepas dari kerangkeng hukum keniscayaan yaitu hukum sebab akibat (kausalitas) dengan berbagai macam landasan instrumental. Sebagai mana yang di jelaskan oleh Francis Budi Hardiman (2014:23 ) bahwa :
Ilmu-ilmu sosial dihasilkan diyakini sebagai potret tentang fakta sosial bisa dikenal dengan bebas nilai (Value free) yaitu tidak mengandung interpretasi subjektif dari penelitinya. Siapa pun dia asalkan memenuhi prosedur-prosedur penelitian tidak mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkannya. Sehingga  pengetahuan yang dihasilkannya dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, sebab bersifat instrumental dan universal.
Prosedur penelitian yang dimaksud oleh F.B. Hardiman di sini sesuai dengan kaidah hukum positivisme yaitu distansi penuh (penjarakan), netralitas, manipulasi, hukum-hukum, bebas kepentingan,universal dan instrumental. Pendekatan ini dilakukan Comte dalam melihat masyarakat untuk mendirikan sosiologi sebagai disiplin keilmuan sekaligus agama yang sifatnya humanis. Keberadaan agama yang humanis yang sifatnya universal untuk memproyeksikan masyarakat yang harmonis tidak lepas tingkat atau perkembangan kesadaran manusia. kesadaran manusia atau pencapaian akal budi manusia akan mengantarkan manusia pada titik keteraturan sosial yaitu masyarakat positivistik. Hal ini dapat dilihat dalam tatanan sosial dan perkembangan akal budi dalam konsepsi Comte. Ramalan atau proyeksi Comte tantang masyarakat harus melalui tahapan perkembangan kesadaran atau akal budi.
Evolusi : statika dan dinamika sosial
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangat ditentukan oleh perkembangan akal budi. Akan tetapi, Comte juga tidak menafikan tentang sesuatu yang tetap dalam masyarakat yaitu keteraturan. Gagasan tentang keteraturan hadir dalam prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan itu dilandasi atas akal budi dan indra. Akal budi dan indra sifatnya universal dimiliki oleh setiap manusia. unsur dasaria ini akan menghasilkan persepsi, asumsi dan kesimpulan yang sama. Oleh kesamaan ini menurut Comte akan melahirkan hukum yang sama di seluruh dunia dan memiliki tahap perkembangan yang sama. Sebab, masyarakat menurut Comte bersifat “holistik” yaitu masyarakat dilihat sebagai suatu kesatuan, arah dan bentuk perkembangan masyarakat tidak bergantung pada inisiatif anggotanya, tetapi proses spontan – otomatis perkembangan akal budi manusia (Veeger, 1993:20). Manusia menurut Comte tidak punya otoritas untuk menentukan sejarahnya akan tetapi manusia bergantung pada hukum deterministik alam, sehingga manusia harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dasar ini menjadi pijakan hukum evolusi yang di gagas oleh Comte.
Pijakan tersebut menginspirasi Comte bahwa dalam masyarakat terdapat yang tetap dan teratur. Walaupun dasar pemikiran ini sangat dipengaruhi oleh gagasan pendahulunya yaitu Plato tentang orde  yang di latar belakangi oleh kenyataan, dalam diri manusia terdapat unsur salin membutuhkan dan saling melengkapi satu sama lain (Veeger, 1993:21), selain itu, gagasan tentang tahapan perkembangan akal budi dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh gurunya yaitu Saint Simon sebagai seorang sosialisme industrialis mengedepankan kebersamaan dan persaudaraan (Giddens, 2009:6). Selain itu, beberapa Orang di sekitarnya Comte turut memberikan kontribusi terhadap pemikirannya termasuk Quetelet yang mengembankan fisika sosial yang di dasari atas filsafat probabilistik Concordet (Riyanto, 2008:2). Pengaruh kedua tersebut menimbulkan kegeraman bagi Comte karena masyarakat dijadikan sabagai kuantifikasi matematika yang mereduksi manusia dan masyarakat. sebab Comte menganggap bahwa masyarakat mempunyai hukum sendiri yaitu Positivisme.
Dari berbagi corak pemikiran yang mempengaruhinya Comte menyusun kerangka teoritisnya dalam dua bangunan yang besar yaitu hukum statika sosial dan dinamika Sosial. Statika sosial yaitu semua unsur struktural yang menunjang kestabilan yang sifatnya tetap. Di antaranya struktur sosial harus ditunjang oleh hukum, kewajiban, hak, sistem nilai dan sistem norma yang mampu mewujudkan kehidupan yang sama. Hal ini di dasari atas kemauan umum menurut Comte. Tapi, dalam perkembangan pemikiran Comte, unsur perasaan turut mewarnai pemikirannya menjadi cerminan agama humanis.
Tapi yang paling ditekankan dalam pemikiran Auguste Comte adalah dinamika sosial. Dinamika sosial adalah proses pergolakan menuju perubahan sosial. Dinamika sosial merupakan daya gerak sejarah, pada setia tahap evolusi untuk mencapai tahap keseimbangan. Dalam proses evolusi yang terjadi dalam masyarakat menurut Comte merumuskan hukum tiga perkembangan masyarakat sebagai berikut :
Tahap Pertama, tahap agama atau tahapan mistis. Pada tahapan ini perkembangan masyarakat dilihat dari perkembangan akal budi dengan melihat kenyataan di masyarakat. akal ditautkan (dikaitkan) dengan berbagai kejadian atau peristiwa terjadi di sekitar kita. Di sisi ini, manusia belum mampu mengindentifikasi dirinya sebagai Mahluk yang punya kuasa atas yang lain, sehingga melahirkan sebuah dunia yang di hayati dengan cara mengagumkan sekaligus menakutkan. Sehingga pada tahap ini manusia melakukan personifikasi (memberikan kekuatan terhadap benda mati) terhadap alam. Dengan kata lain, tahap mistis merupakan  masa kanak-kanak manusia untuk mencari segala penyebab fenomena, baik dengan cara mengaitkan dengan benda-benda di sekitarnya. Pada tahan manusia mengalami proses perkembangan evolusi mistis juga yaitu tahap animisme, dinamisme, politeisme dan monoteisme. Perkembangan evolusi mistis mewarnai perkembangan keagamaan di beberapa wilayah di dunia.
Tahap Kedua, tahap metafisika. Pada tahap ini pada dasarnya merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Tetapi kenyataan tidak lagi ditaukan dengan hal bersifat mistik. Namun, akal budi mencari sebuah formulasi baru dengan cara melakukan abstraksi terhadap kenyataan. Proses abstraksi tersebut masih bersifat filosofis dan universal. Pada tahap ini manusia belum bisa berpikir ilmiah sehingga membutuhkan lompatan selanjutnya.
Tahap Ketiga, tahap positivisme yaitu tahap yang meluruhkan tahap mistis dan agama karena kemampuan akal budi sudah mampu berpikir ilmiah dan mendalam. Pada keadaan ini kemampuan intelegensi manusia pada tahap kesempurnaan, pada tahap ini manusia melarikan diri dari tindakan yang sifatnya abstrak menuju tahap eksperimentasi. Manusia menemukan hukum positivisme yang mampu menyusun keteraturan dalam masyarakat, manusia telah mampu mengetahui untuk meramalkan hukum-hukum yang efektif berupa hubungan suksesi dan kesamaan yang tidak berubah.
Dari tahapan yang di gagas oleh Comte sosiologi menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang positif. Sebagaimana di jelaskan Anthony Giddens (2009:10) Bahwa :
Fisika sosial yang dibaptis kembali menjadi sosiologi pada gilirannya harus menjadi sebuah ilmu pengetahuan positif. Ilmu ini memungkinkan kita mengetahui hukum-hukum organisasi masyarakat (Statika sosial) sekaligus hukum evolusinya (dinamika Sosial). A. Comte berusaha mencari mencari penyelesaian atas berbagai persoalan dalam masyarakat. tujuannya adalah untuk memecahkan persoalan sosial agar mampu mengambil tindakan pencegahan (meramalkan) agar kita mampu menguasai.
Prinsip ini membawa Comte untuk menggagas sebuah agama yang humanis untuk mananggalkan agama-agama yang berkutat dalam gereja serta prinsip filsafat dalam kehidupan manusia. sehingga Comte berharap Sosiologi akan menjadi tonggak agama yang humanis dan mampu menjawab persoalan dalam masyarakat. Gagasan ini tidak lepas dari perkembangan Prancis pada abad ke 18 menuju abad 19, masyarakat Prancis mengalami transisi dari paham rasionalistis dan dominasi gereja menuju masyarakat industri. Agama yang humanistik tidak lepas juga dari pengaruh pergolakan batin Auguste Comte dengan hubungannya dengan Clotilde De Veux.
Walaupun gesitnya Comte memperjuangkan agama Humanis untuk melepaskan dari filsafat dan agama. Tapi, Comte terjebak dengan penjabaran teorinya yang sangat filosofis dan kental nuansa spiritualitas. Pemaparan berhubungan dengan sosiologis ternyata sangat filosofis walaupun melakukan pendekatan yang positivisme.
Sosiologi Sebagai Agama Pembebasan
Dalam arus pemikiran Comte secara garis besar terbagi dua yakni pada tahap pertama Comte, sebagai pengagung akal budi atau kekuatan intelegensi sedangkan pada tahap kedua, Comte melibatkan unsur perasaan, cinta dan kasih sayang dalam proses pembentukan karakter masyarakat. kedua fase perkembangan gagasan Comte tersebut terjadi polemik yaitu penghujatan dan pengultusan terhadap dirinya. Di posisi penghujat Comte dianggap tidak konsisten dalam mengembangkan gagasannya. Comte mengurangi peran akal budi dalam proses tatanan masyarakat. sedangkan di posisi pengultusan Comte menganggap bahwa Comte hendak menyempurnakan gagasannya, menurut para pengikutnya ketika masyarakat diserahkan pada kekuatan intelektual semata justru masyarakat akan mengalami kembali ketimpangan. Kehawatiran tersebut tanpa di dasari alasan, akan tetapi, pada saat itu Prancis terlalu mengedepankan pengetahuan sebagaimana pengultusan terhadap agama. Hal seperti ini diantisipasi Oleh Auguste Comte kemudian mendeklarasikan sebuah agama Humanis yaitu Sosiologi.
Agama ini menurut Comte menjadi akan perekat dalam masyarakat yang mengedepankan tentang Cinta, Perasaan dan kasih sayang. Menurut Comte unsur ini merupakan unsur yang universal yang lain, dari akal budi dalam diri manusia. unsur universal ini dikembangkan Comte untuk menciptakan masyarakat berdiri di atas keadilan, keselarasan, persaudaraan dan kebersamaan. Asas moral ini menjadi dasar pendirian agama Humanis Comte yang kita kenal sekarang sebagai Sosiologi. Tapi yang menarik dalam diri Comte adalah dia tidak mengultuskan model masyarakat yang berkembang saat ini yaitu kapitalisme, sosialisme, maupun komunisme. Comte hanya mengharapkan masyarakat yang harmonis dan keteraturan. Comte tidak terjebak pada narasi yang besar yang berkembang dalam masyarakat. Justru Comte meruntuhkan itu untuk menciptakan narasi-narasi kecil tentang nilai-nilai universal dalam diri manusia. 
Dengan dasar ini, Comte Merumuskan “agama Humanis” untuk menjawab persoalan manusia yang mengalami anomali pasca peran dunia kedua, berbagai guncangan sosial di masyarakat Prancis pada khususnya. Dengan persoalan tersebut “agama humanis” menjadi yang terdepan dalam merekayasa masyarakat. sebab. Agama Humanis ini mampu meramalkan kondisi suatu masyarakat. sehingga tugas utama “Agama Humanis” yang di kembangkan oleh Comte pada dasarnya mengandung prinsip pembebasan manusia dari keterpurukan, penindasan, dan kezaliman. Prinsip ini sosiologi seharusnya mampu menjawab persoalan masalah kekinian, bahkan masa depan manusia.
        Mungkin tidak salah ketika sosiologi nantinya, dijadikan sebagai ilmu konsultan persoalan bangsa. Ilmu sosiologi dijadikan sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan dalam hal pertimbangan penerapan hukum dalam masyarakat. Sesuai dengan napasnya Sosiologi sebagai spirit agama pembebasan yang humanis. Tapi, di sisi yang lain, sosiologi yang di gagas oleh Comte tidak luput dari kekurangan sehingga butuh penyempurnaan dari pengikut-pengikutnya dan tidak terjebak oleh dogma Comte. Sebab, masyarakat senantiasa terus berkembang maka ilmu sosiologi juga harus terus berkembang dengan spirit awalnya yaitu pembebasan berdasar pada akal budi dan cinta. Sebab, kekuasaan tanpa di dasari dengan prinsip ini adalah tirani. Pada dasarnya kedua unsur ini terdapat pada agama Ibrahimia. Pada dasarnya setiap Agama lahir untuk menjawab persoalan kaumnya, hanya saja tiraniawan saja yang menyulap agama menjadi keji. Sebagaimana halnya dengan sosiologi. Sosiologi harus tampil melawan tirani tersebut dan memperjuangkan risalah kenabian (profetik).
Daftar Bacaan

Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern jilid I, di Indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang. Jakarta. Gramedia

Phillippe Cabin & Jean Francois Dortier (ed). 2009. Sosiologi Sejarah dan Berbagai pemikirannya. Djogjakarta. Kreasi wacana.
K.J Veeger. 1993. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam cakrawala Sejarah sosiologi. Jakarta. Gramedia
Geger Riyanto. 2009. Peter L Berger Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta. LP3ES.
F.Budi Hardiman. 2014. Melampaui Positivisme dan Modernitas ; Diskursus Filosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta. Kanisius.
C.A Van Peursen. Susunan Ilmu Pengetahuan sebagai pengantar Filsafat ilmu, diterjemahkan J. Drost. Jakarta. Gramedia.
Jujun Sumardaminta. Filsafat Ilmu 
Loren Bagus, Kamus Filsafat