Minggu, 19 Oktober 2014

,

FIKSI

FIKSI

Mungkin kata “Fiksi” bagi kita semua adalah kata yang sederhana. Pemahaman kita akan tertuju pada pendefinisian Bahwa fiksi adalah hasil rekaan atau khayalan yang tidak punya kenyataan (KBBI). Betulkah seperti itu, fiksi tidak punya kenyataan!!. Dari sumber yang berbeda “fiksi” di artikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia (dalam Teori Pengkajian Fiksi Burhan Nurgiyantoro (1995), (Wikipedia.org/wiki/fiksi).
Kedua penjelasan ini, aku berusaha mendeskripsikan tentang fiksi sesuai dengan kapasitas ku, selaku sosiolog. Sebagai seorang sosiolog sudah tentu akan mengalami keterbatasan untuk mengkaji tentang “fiksi” yang notabenenya adalah kajian bahasa. Tulisan ini lahir dari pendiskusian dari teman dunia “maya” yang mencecar beberapa pertanyaan. Maka sepatutnya pula, saya menjawab dari pertanyaan itu dengan berbagai keterbatasan ku sebagai sosiolog. Saya menjelaskan dengan sudut pandang sosiologis sebab, disiplin itu yang melahirkan saya atas legitimasi ijasa. Sepantasnya pula, harus menguasai disiplin ilmu itu walau belum sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya dimiliki oleh pemilik kesempurnaan itu.
Berangkat dari penjelasan di atas tentang fiksi belumlah cukup untuk memenuhi pertanyaan saudara penanya dari dunia maya itu. Secara garis besar pertanyaan itu, menyangkut eksistensi kenyataan dalam fiksi. Penanya menganggap bahwa fiksi pada dasarnya hasil rekaan semata yang tidak punya wujud realitas. Sungguh pernyataan ini sangat mengelitik. Tapi entahlah, apakah asumsi ini hanya menguji pemahaman saya terkait dengan tersebut atau memang dia belum tahu tentang itu. Semoga anggapan ini salah, dari penjelasan disampaikan menunjukkan penanya memiliki wawasan terkait pendiskusian tersebut. walau, penjelasan tentang “fiksi” lebih dipersempit. Bagi saya itu tidak menjadi persoalan., karena dalam dirinya juga terdapat unsur kebenaran.
Dari dua sumber yang berbeda tentang penjelasan “fiksi” perlu digaris bawahi yaitu khayalan, imajiner dan kenyataan. Ketiga terma tersebut menjadi unsur pembangun dalam menyusun struktur  bahasa dalam mendefinisikan “fiksi”. Namun, terlepas dari ketiga kata tersebut tentunya kita tidak boleh melupakan kata “fantasi”. Menurut Budiono Kusumohamidjojo ketiga istilah tersebut tidak terlalu dibedakan dalam KBBI, bahkan memiliki keserupaan. Sementara, Budiono Kusumohamidjojo menjelaskan dalam buku filsafat kebudayaan proses realisasi manusia bahwa fantasi dan imajinasi cukup berbeda, Fantasi adalah sebagai daya manusia untuk membayangkan dan memikirkan sesuatu tanpa bertolak dari pengalaman (memikirkan yang tidak terpikirkan). Sedangkan imajinasi merupakan daya manusia untuk membayangkan memikirkan sesuatu dengan bertolak dari pengetahuan (memikirkan yang belum dipikirkan). Penjelasan ini kurang bermanfaat dalam penjelasan fiksi. Tapi cukup untuk memberikan pemahaman kejelasan kekeliruan dalam fiksi tersebut. kedua unsur tersebut sudah jelas ada dalam fiksi. Fiksi pada dasarnya sulit lepas di arena bahasa. Kedua hal tersebut dihadirkan pada ruang struktur bahasa. Sedangkan di arena bahasa dan alam fiksi, realitas yang yang tidak punya wujud kenyataan material dan tidak terfantasikan dan imajinasikan, kondisi yang seperti itu hadir hanya bahasa, seperti segita lima sisi, gunung yang menangis, bulan yang tertawa, lingkarang yang berujung. Konsep-konsep ini hanya hadir lewat bahasa, dan digunakan dalam bahasa fiksi. Pengungkapan ini dikenal sebagai gaya bahasa konotasi. Bahkan sulit di imajinasikan dan difantasikan. Tapi, makna sejatinya hadir lewat bayang-bayang kenyataan. Bahkan sulit menemukan kenyataan. Tapi, setidaknya memberikan sebuah kenyataan bahwa ada yang hadir lewat bahasa tapi tidak punya kenyataan material, namun ada.  Itu nyata, lewat fiksi
Fiksi tidak boleh dilepaskan dari yang mengadakannya yaitu hasil narasi pikiran manusia. Fiksi sebagai narasi manusia, tentunya hasil pemainan pikiran manusia yang seusai penjelasan sebelumnya yaitu fantasi, imajinasi  dan arena bahasa.
Bahasa, Narasi dan Kenyataan
Perwujudan suatu fiksi adalah narasi. Narasi tersebut dituturkan oleh manusia melalui teks. Pesan teks akan tersampaikan melalui bahasa. keindahan yang disampaikan oleh karya fiksi bergantung dari permainan bahasa. Permainan bahasa sesuai selera penggunanya.  Dalam ruang fiksi dan bahasa akan mengandung metafora, pengandaian, anekdot, adagium, majas dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah permainan bahasa untuk menggambarkan realitas yang sulit terbahasakan. Bahkan bahasa mampu mengkerdilkan dan memperluas kenyataan melalui bahasa. bahkan fiksi tidak punya latar belakang histori, ataupun realitas. Tapi fiksi menceritakan sebuah kenyataan. Entah kenyataan itu hadir setelah kehadiran narasi atau kenyataan yang melatarbelakanginya. Inilah realitas fiksi.
Fiksi pada dasarnya menyampaikan pesan kepada interpreter (pembaca) tentang makna. Fiksi kurang memedulikan realitas sesungguhnya bahkan cenderung melebih-lebihkan (hipebola) tentang realitas. Fiksi akan menyampaikan realitas kesempurnaan yang berbeda dengan sesungguhnya. Fiksi akan berbeda dengan bahasa pers atau jurnalistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan realitas/kenyaataan yang sesungguhnya. Bahasa pers diangkat melalu fakta dan harus sesuai dengan fakta tersebut. sementara, fiksi tidak. Bahasa punya ruang tersendiri dimana sang penutur punya otoritas menggambarkan realitas fiksi tersebut. maka ada yang beranggapan bahwa bahasa fiksi mengandung kebohongan. Anggapan tentunya mengandung kebenaran. Sebagaimana yang dituturkan oleh Muhiddin M. Dahlan bahwa penulis fiksi adalah pembohong yang baik.
Fiksi akan melukiskan tentang keindahan. Karya fiksi merupakan ungkapan imajinatif, fantasi dan khayalan melalui narasi. Maka fiksi bisa menghadirkan melo drama dalam sebua drama narasi. Fiksi mampu menghadirkan aktor-aktor narasi yang sempurna bahkan paling jahat sekalipun. Sebagaimana dilukiskan oleh film mahabrata yaitu sikap Krisna atau nama lainnya Basu Dewa atau Govinda, sikap dan tutur katanya begitu lembut, tindakannya penuh dengan sikap kebajikan. Sikap merepresentasikan sebagai seorang dewa bahkan Dia anggap sebagai dewa. Gambaran cerita ini saya sesuai dengan kebutuhan saya, sebagaimana pendiskusuan saya dengan teman dunia maya.  Kembali lagi dengan pertanyaan teman saya “apakah tokoh seperti krisna itu pernah ada?”
Pertanyaan ini agak  menyulitkan bagi saya untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, saya tidak pernah hidup di mana tokoh itu hadir. Cerita ini tersampaikan lewat narasi teks dan narasi dari tutur manusia. Cerita ini dikonversi melalui visual untuk disampaikan kepada khalayak. Film itu tidak mempersoalkan apakah kenyataannya ada atau tidak itu urusan khalayak. Maka saya berpendapat bahwa bisa saja tokoh itu pernah ada. Sikap kesempurnaan yang dimiliki oleh sikap Krisna untuk merepresentasikan bagi malaikat, ataupun dewa. Tapi, dalam dunia yang nyata menunjukkan lakon yang berbeda sepertinya halnya dengan sikap nabi dan rasul. Ketika kita penganut agama setidaknya kita percaya tentang kenabian. Sikap kenabian dan kerasulan akan menggambarkan sebuah sikap dan tindakan kesempurnaan manusia. Seperti ungkapan Istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah. ra ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an. Al Quran di sini melambangkan kesempurnaan, sulit manafikan tersebut. Tapi bagaimana dengan Krisna??. Krisna bisa merepresentasikan sikap nabi tersebut walaupun disampaikan melalui lakon yang berbeda sebagaimana dengan dunia fiksi.
Sampai disini saya tetap meyakini bahwa ada manusia yang memiliki sikap mirip dengan Krisna. Sebab, sikap kesempurnaan merupakan potensi dalam diri yang senantiasa terus menjadi. Hanya proses sampai kesana tidak berjalan sebagaimana seharusnya karena melakukan penyimpangan-penyimpangan. Ketika ada usaha akan meniru dengan sikap tersebut tidak akan menjadi sebagaimana Krisna dan sikap nabi tersebut. sikap kesempurnaan ini dibantah oleh erik Fromm bahwa pada dasarnya sikap otentik manusia adalah agrasif selalu berbuat kegaduhan. Dalam sebuah karya fiksi lakon jahat dan kebaikan akan tetap ada.
Disinilah keindahan fiksi dimana dunia diracik sesuai dengan selera, menggugah imajinasi dan menciptakan epos yang sulit dengan akal rasional manusia. bahkan, tipuan sekalipun bisa diyakini bahwa keberadaannya itu ada. Itulah kekuatan fiksi. Fiksi dan fiktif itu nyata.

Bulukumba, 19 September 2014
Oleh “S”