Jumat, 05 September 2014

ROSANAYA

Aku ingin menyambangi mu untuk menembus semburat senja, rasa yang terlalu lelah menatap mu di layar datar. Membuat ku menyisihkan sedikit ruang untuk merindukan mu. Dari simpati ku untuk mu, dirimu terlalu cuek untuk menyapaku, bahkan kamu tidak pernah berharap untuk mengenalku apalagi untuk bertemu. Itu wajar ketika kamu tidak mengenal ku dalam dunia mu. Sejemput keraguan dan ketakutan dalam benak mu, akan hadir ku. Diri ku bagai kegelepan untuk menerjang mu hingga kau terlelap dan terbangun dari ketakutan. Ketakutan mu bagai hantu yang merongrong mimpi indah mu di malam hari. Sejatinya aku tak berharap seperti itu dan kamu tidak merasakan itu.
Ku lerai waktu untuk tetap berjalan, dimana kehidupan harus tetap dilanjutkan. Ku tutup layar kaca itu menyusuri lorong-lorong kehidupan yang lain. Suatu ketika di lain waktu, aku akan kembali dalam peluk asa layar datar (dunia maya) menatap mu kembali. Sebab, senyum mu selalu terbayang dari diri mu, keramahan yang kau tunjukkan kepada ku sebagai petanda bahwa diri mu bukanlah orang yang angkuh. Dunia mu telah mengalihkan ku Rosanaya. Dari hidup ku yang tidak mengenal kasmaran.
Dua bulan yang lalu, aku menatap lukisan yang teramat indah dalam bingkai warna biru, di sampingnya di penuhi dengan kata-kata curahan hati, pujian, sanjungan dan kegaguman dari para sahabat dan orang yang mungkin kamu juga tidak ketahui. Sama halnya dengan diri  ku yang sedang menatap lukisan mu. Lukisan yang tidak di sapu dengan kuas dan bukan di atas kampas, akan tetapi lukisan berasal dari potret kamera. Diri mu dalam lukisan itu berpakaian hitam berbintik putih, mata yang sipit kau tutupi dengan kecamata hitam dengan rambut yang terurai. Senyum mu telah melengkapi panorama keindahan mu. Di saat aku menatap lukisan itu terlontar, ungkapan yang tidak ku sangka dari seorang sahabat ku Syha “Sembarang kamu menatap Perempuan, mungkin perempuan itu jalan”. Sedikit aku terdiam dan berguman memperhatikan baik-baik lukisan itu dan tentang profil perempuan itu “itu hanya dugaan mu Syha, ku yakin dia orang baik-baik. Walaupun, dunia mahasiswa itu gelap, ku yakin masih ada perempuan di luar sana yang terjaga kesuciannya” kata ku. “Harus  di akui bahwa di sekeliling kita telah banyak terjadi perilaku binal. Lingkungan telah memberikan kita peluang untuk melakukan hal yang serupa, namun diantara kita tidak ada yang melakukan itu, bukan”. Semua terhenyak diam, aku melanjutkan pembicaraan ku yang sok bijak dan berlagak seperti filsuf  “kesalahan orang lain terletak di mata kita, sementara kesalahan kita terletak di punggung kita, Sudahlah kenapa perempuan dalam lukisan ini menjadi topik pendiskusian malam ini. Tidak terasa jarum jam menunjuk angka tiga subuh. Kami bergegas untuk pergi tidur. Biarkan bayangan perempuan dalam lukisan itu menjadi pengantar tidur ku, malam ini. Lukisan perempuan yang terpanpan itu adalah Rosanaya.
*
Dengan bergulirnya waktu, Aku terlanjur mengaguminya. Komunikasi dengan Rosanaya kian intens, tapi terasa kaku dan membosangkan, hanya satu arah. Aku seolah melakukan wawancara dengan jawaban yang seadanya. Hingga pada akhirnya berusaha untuk berlari dan menghindar di setiap kehandiran ku di kontak obrolannya. Di bergegas untuk off line, seolah aku berlari mengejarnya. aku tahu bahwa kamu tidak ingin diganggu oleh ku.
Rasanya sulit untuk mendapatkan mu, bertemu saja kamu enggan. diri mu sudah menganggap bahwa perkenalan dalam dunia yang datar itu sudah cukup bagi mu. Perkenalan kita tidak lebih dari kahyalan semata, tidak lebih dari itu. Aku pun sadar di dunia yang datar merajuk cerita itu indah, tapi penuh dengan fantasi laiknya dengan negeri dongen, aku merasakan itu, tiap hari menjadi pengantar tidur ku, menemani bercerita di saat sunyi. Dia tidak bergerak namun selalu tersenyum. Nampang yang indah berwarna biru, menjadi rumah mu, dia menciptakan jalinan dan ikatan dari jutaan manusia yang tidak di kenal, mempertemukan wajah-wajah yang riang, berpose yang sempurna menampakkan karakter yang terbaik, terkadang senyum dipaksakan,  kemudian mengggantung lukisan paling terindah yang di miliki oleh setiap rumah. Manusia-manusia di dalamnya semuanya ramah, murah senyum, sesekali juga terdapat lukisan binal bahkan lakon drama binal. Itulah rumah, istanah bagi pemiliknya.
Rumah kita seolah tidak berjarak dalam dunia yang datar ini, walaupun demikian kita sulit untuk bertemu dan bertatap muka, kamu datang di saat subuh hari sedangkan aku datang di saat petang dan atau di saat bulan mekar di atas ubun-ubun. Di saat kehadiran ku di rumah ku. Aku berusaha melintas di halaman mu, sembari memandangi jejak mu yang kau tinggalkan mungkin ada bekas tuk melepas larah kegaguman ku terhadap mu. Kamu memang indah Rosanaya nan liar. Keliaran mu bukan karena kamu tidak mengenal ku dalam dunia yang nyata, sejatinya kamu takut dengan pasangan mu. Lukisan lelaki itu di rumah mu membuat kamu liar. Ungkapan mu menyinggung itu “satu tetap satu, haram jadi dua”. Semoga itu menjadi yang terbaik bagi mu, aku tak akan menuntut lebih.
Resapan kegaguman tetap mewarnai diri ku, mengenal mu suatu kesyukuran bagi ku, menjawab pertanyaan ku suatu kebanggan bagiku, walau kurangnya belum kamu tutupi dengan permintaan ku terhadap mu tentang diri mu yang utuh dan nyata. Kamu hanya sekedar pelangi yang hanya bisa di pandang dari kejauhan, tapi sulit bahkan mustahil untuk dimiliki. Cinta telah merangkul mu menjadi suatu yang utuh bagi mu, sulit terlepas darinya karena kamu telah memilih untuknya, semoga kamu bisa abadi dengannya di peluk asa kebaikan. Itu lah dunia mu yang nyata, sakit mu bukan lah sakit ku, aku hanya sekedar simpati, cinta tidak membutuhkan itu, tapi cinta membutuhkan kenyataan, pelukan dan kehangatan. Sementara, aku tidak memilikinya, karena aku hanya sebatas angin menembus kesunyian, melewati lorong-lorong asa, hingga memasuki dunia mu yang tenteram. Aku mengusik mu bukan karena yang lain, sebab tujuan ku untuk memberikan kesegeran di gurun pasir, membuat laut menjadi riuh dengan ombaknya. Menyatu dengan pohon rindang memberikan kesejukan bagi yang benaung.
Biarkan aku menghempas rumah mu untuk menebar kehangatan, walau kau tidak terimah Aku akan tetap ada, karena kebiasaan ku menyusuri lorong yang tidak aku tahu dan hinggap untuk sementara. Rumah mu pernah mengalami kepiluan. Sementara aku hanya menyimak di dunia yang datar. aktivitas rutin membuka ruang yang datar, menyisihkan aktivitas nyata, jalinan silaturahmi kian menunduk, meluruhkan uluran tangan dalam kenyataan. Semua menjadi tidak pasti namun hanya searah.

Oleh: Mr “S”
4/9/2014