Kamis, 09 Agustus 2012

MORAL MASYARAKAT ELIT VERSUS MASYARAKAT MASSA


MORAL MASYARAKAT ELIT  VERSUS MORAL MASYARAKAT MASSA
oleh : sampean
Moral Masyarakat elit versus moral masyarakat massa merupakan judul yang sangat mudah  di telah sebab terma-terma ini membandingkan sebuah status sosial di ruang sosial. Judul ini menggambarkan sebuah bentuk stratifikasi sosial atas maraknya penyimpangan yang terjadi di tatanan sosial. Moral masyarakat elit dan moral masyarakat massa seolah memiliki jarak yang signifikan kedua status sosial tersebut. Dari term ini muncul  sebuah pertanyaan kesenjangan apa yang terjadi!  Jawabannya, simpel bahwa kesenjangan itu adalah perbedaan peran dan fungsi tetapi kenapa mesti ada sebuah penyimpangan! Penyimpangan inilah yang harus kita telah, untuk meretas sekat-sekat  yang terjadi.
Kedua term ini menjadi adu kompotisi moral siapa yang terbaik dalam mengembang amanah dan menjalani sebuah kehidupan sosial. Karena kedua elemen masyarakat ini menjadi warna yang sering di pertentankan untuk menerapkan nilai-nilai moral dalam sistem sosial yang ada saat ini. Moral  masyarakat massa sering menjadi bahan perdebatan dan diskusi yang menjadi karakter bangsa akan tetapi selalu di perhadapkan sebuah model tatanam sosial yang lain dengan konsep modernitas yang melahirkan spesialisasi-spesialisasi keilmuan maupun spesialisasi kemampuan.
Sebelum di tarik ke dalam permasalahan yang sebenarnya  yang harus kita ketahui adalah apa itu masyarakat elit! dan apa itu masyarakat massa! Masyarakat elit adalah masyarakat yang memiliki peran dan status yang terpandang karena tingkat pengetahuan pendidikan, kekayaan dan tingkatan prestise yang di miliki. Masyarakat elit merupakan bagian dari struktur sosial yang berkecimpung dalam dunia lembaga-lembaga sosial. Masyarakat ini sering di sandingkan dengan para birokrat-birokrat pemerintahan dan lembaga-lembaga swasta yang lain maupun individu-individu yang bergelut dalam dunia organisasi. Seperti yang di ungkapakan oleh Harold D. Laswell bahwa Elite adalah individu-individu yang berhasil memiliki bagian terbanyak dari nilai-nilai (values) dikarenakan kecakapannya,  serta sifat-sfat kepribadian mereka dan karena kelebihan tersebut maka mereka terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini diperjelas oleh ungkapkan  Mills Bahwa elit adalah mereka yang menduduki posisi komando pada pranata-pranata utama dalam masyarakat. Dengan kedudukan tersebut para elit mengambil keputusan-keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Sedangkan masyarakat massa adalah  masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain masyarakat massa adalah masyarakat yang tidak terlibat dalam struktur pemerintahan. Masyarakat massa ini sangat dominan dengan masyarakat desa, nelayan, kaum miskin kota dan berbagai macam kerumunan. Masyarakat massa masih cenderung memelihara sifat-sifat mistis. Jumlah masyarakat ini dalam struktur sosial memiliki jumlah yang mayoritas.
Masyarakat massa yang memiliki porsi mayoritas dalam sistem sosial sebagai penentu equilibrium (keseimbangan) dalam sistem sosial. Masyarakat massa menjadi sasaran empuk atau korban kebijakan pemerintah untuk mengusung sebuah program-program pemerintahan. Sementara Masyarakat Massa merupakan sebuah hal yang sangat vital  dalam sebuah bangsa sebab Masyarakat massa merupakan sebuah simbol atas tegaknya sebuah bangsa. Masyarakat menjadi penentu dalam gerak bangsa itu.
Masyarakat elit dan masyarakat massa merupakan sebuah sratifikasi sosial di tingkatan sebuah negara atau bangsa atau menurut Marx bahwa dalam tatanam sosial merupakan perjuangan kelas yaitu kelas Borjuasi atau kelas ploretar. Masyarakat penguasa dan di kuasai. Dalam perspektif ini telah tergambar bahwa ada perbedaan fungsi dan peran yang cukup signifikan dalam tatanan sosial. Eksistensi kedua kelas merupakan sebuah perwujudan dari simbolitas keadaan sosial saat ini dan merupakan sebuah bentuk hukum keniscayaan.
Dalam dinamika kebangsaan problem sosial sangat di tentukan oleh lapisan-lapisan masyarakat terutama kedua yang kelas tersebut yaitu kelas penentu kebijakan dan kelas sasaran kebijakan. Untuk konteks Indonesia merupakan sebuah bangsa  yang memiliki segudang permasalahan yang tidak memiliki ujung pangkal hampir setiap sudut-sudut di negeri ini telah mengalami kerusakan. Bangsa ini telah di landa oleh sebuah penyakit megalomania yaitu sebuah penyakit atau kelainan jiwa yang ditandai oleh khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri. Selain itu bangsa ini telah terjadi pergeseran moral dari nilai keadaban menuju masyarakat yang biadab dengan sistem etika pragmatisme dan utilitarianisme.
Dari berbagai macam persoalan yang telah melanda negeri ini harus di telisik dengan berbagai macam sudut pandang. Sebab dari semua problem itu tidak bisa di lihat dalam satu dimensi yang utuh dan akibat yang di timbulkan. Akan tetapi, harus di telisik lebih jauh sebab permasalahan bangsa ini yang saling terkait. Dari berbagai macam persoalan di hadapi oleh bangsa ini merupakan sebuah tanda tanya besar bagi kita semua yang menjunjung nilai-nilai ke-Tuhanan, kemanusiaan dan keadilan sosial dari berbagai macam kemajemukan bangsa ini. sebagaimana yang telah tertuang dalam asas bangsa ini yaitu pancasila.
Ungkapan yang tercecer yang telah di pungut dalam diskusi amatiran bahwa problem  yang di hadapi oleh bangsa ini adalah karakter bangsa yang tidak tertanam dalam individu dan kelompok masyarakat. Hal ini terlihat praktek-praktek korupsi dari berbagai macam institusi. Korupsi menjadi musuh bersama dalam setiap elemen masyarakat termasuk yang melakukannya.
Korupsi yang melanda negeri ini sangat berkaitan erat dengan perilaku dan tingka laku para pengemban amanah kebangsaan atau masyarakat elit. Sebab para koruptor merupakan orang yang paling sadar tentang kebangsaan dan permasalahan bangsa, sekaligus orang yang paling tahu tentang hukum dan pengatahuan akan tetapi masyarakat elit ini telah melakukan sebuah penyimpangan sosial. Sementara mereka telah di prospek untuk menjadi orang terbaik oleh institusi yang memproduksinya.  Akan tetapi korupsi menjadi semarak setiap sudut telah terjangkiti oleh perilaku ini sebab bangsa terjangkiti oleh penyakit megalomania plus pragmatis.
Sehingga korupsi menjadi sarapan setiap saat di berbagai media cetak maupun media elektronik yang memberitakan setiap saat. Kasus korupsi kian menjadi semarak sebab setiap birokrasi yang  kelas teri hingga kelas kakap telah menjadi penampung uang negara dengan kata lain para birokrat telah melakukan korupsi.
Sehingga tidak heran apabila masyarakat elit dengan masyarakat massa di pertentangkan mengenai perilaku dan tingka laku sebagai aktor kebangsaan. Dengan kondisi masyarakat massa lebih menjunjung nilai-nilai moral yaitu kejujuran dan keadilan dalam menjalankan kehidupan sosial dan kebangsaan. Seperti ungkapan sebuah analogi yang sering di ungkapkan beberapa teman atau beberapa masyarakat bahwa hari ini mereka lebih mempercayai tukang bejak daripada orang-orang yang berdasi dan yang berpakaian rapi.
Hari ini telah terjadi krisis kepercayaan yang sangat luar biasa terhadap orang-orang yang berpendidikan dan orang-orang yang telah menjabat posisi penting dalam pemerintahan atau masyarakat elit terhadap khalayak (masyarakat Massa). Namun mereka selalu memkambing hitamkan institusi pendidikan yang telah gagal membentuk karekter mereka sehingga institusi pendidikan saat ini tidak ada henti-hentinya meneriakkan slogan kearifan lokal. Kegiatan Seminar dan loka-karya di lakukan dimana-mana namun tidak kunjung memperlihatkan hasil dan titik terang dalam penerapannya.
Kearifan lokal terus di sanjung yang notabene para penganutnya adalah masyarakat massa. Nilai-nilai moril dan pesan-pesan nenek moyang terus di jaga oleh masyarakat massa. untuk konteks Indonesia kita tahu bahwa masyarakat massa di Indonesia tingkat pendidikan masih sangat rendah akan tetapi sosialisasi budaya luhur masih dia tetap terjaga dan mengaplikasikannya dengan tiap hari. Sementara orang-orang yang telah  mengadopsi kehidupan modern mereka telah menganggap bahwa itu sebuah tahakyul, cerita dongen dan pesan yang tak berguna karena tidak membawa sebuah kemaslahatan diri untuk menjadi raja kekayaan.
Sebab dunia pendidikan memiliki pandangan dunia yang empirisme. Sehingga produk dari pendidikan ini adalah manusia-manusia super untuk menjadi penghisap bagi rakyat banyak dan pengumpul kekayaan untuk kemaslahatan pribadi dengan menempuh berbagai macam cara untuk meraihnya tanpa memandang halal dan haram semuanya menjadi satu. Hasilnya kita lihat bersama saat ini bahwa masyarakat elit telah menjadi kontestan di berbagai media cetak dan elektronik sebagai koruptor mereka bergantian tampil menjadi terdepan untuk mengelak atau tidak mengakui dirinya sebagai koruptor. Akan tetapi, mereka selalu bangga meneriakkan demi kemaslahatan rakyat banyak dan demi pembangunan bangsa hal ini itu adalah Cuma bualan yang selalu di lontarkan untuk masyarakat massa. Masyarakat massa menjadi korban pembohongan sebab elit di negeri ini hidup pada landasan yang sangat rapuh dan penuh dengan kebohongan.
Namun disisi yang terbalik posisi masyarakat tetap mempertahankan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan religiutas  yang masih tercermin dalam kehidupan masyarakat massa. Sementara sebagian besar dari mereka belum tersentuh oleh pendidikan institusional dan sementara masyarakat elit tahu segalanya namun mereka melakukan penyimpangan dari keilmuannya. Munkin inilah pengetahuan yang tidak memiliki posisi netral sebab pengetahuan bisa di arahkan kepada yang baik maupun  buruk.