Sabtu, 26 September 2015

,

IKHTIAR KATA

IKHTIAR KATA 

Tiada terkira, rasa malu lepas lekas hilang penuh ragu-ragu. Sejumput senyum dan tatapan menghela napas panjang meletakkan Jerigen dan mengantre untuk mengisi bensin. jerigen berjejer rapi serupa serdadu, motor berbaris serupa semut. Ahh........aling-aling hanya berupa tatapan sebongkah beku, ramai namun senyap. Mula kata sulit terucap, apakah ini sebuah nestapa. Selekas itu datang, lalu pergi. Ini bukan nestapa, tapi kikuk yang sedang bersulang dengan kerumunan.
Tak perlu riuh, tak perlu galak tawa. Cukup senyum sendiri. Ahh..... mata cuma melotot, tak perlu paham maksudnya. Debu purba hanya cukup melerai, kapan tangis disembunyikan. Kamu hanya perlu duduk, berdiri dan berdiam diri. Lihatlah, yang lalu lalang, menunggu kapan giliranmu mengangkat jerigen itu.
Pesona tampak merungsing. Tubuh gemulai lembut, berhias tato, rambut berurai panjang dengan rona merah bata. Senyum selalu mekar di bibirmu, merekah merah padam. Beruntung kamu tak menggunakan pagar besi di gigimu, yang congkak itu. Hanya saja, Perutmu bontot seolah ngotot melotot, selalu menenggak bir sebotol. Laku mu seolah muram, Aku miris melihat jenjang tubuhmu. Sesekali kamu palingkan muka ke telepon genggammu, kamu tertawa sendirian. Terkadang kamu mengeram menahan tawa, sekelilingmu tak ada yang kocak. Aku pun tercengang melihatmu. Ternyata, di seberang sana ada kawan kamu rupanya. "Maaf aku salah sangka tentangmu" bergumam dalam hati.
Sejenak kuperhatikan kawanmu, dia seolah gelagapan dengan tingkahmu, tersenyum malu-malu pula. Entah...... Mengapa gelagat kamu, seolah tak bersahabat karib? Namun, terlihat dekat. kalian berdendang seloka Bugis - Makassar. Seloka yang tak pernah disyairkan dengan lembut. Tapi, hanya dengan amarah, cacian, dan kebencian. Kalian mungkin selalu bersama, tapi tak serupa. Tubuh kalian kamu balut penuh intrik. Dan mungkin topengmu adalah pitutur mu. Kalian berdua adalah rahasia penuh bimbang, kalian ceruk di atas tanah lapang.
Kulihat "toto bag" yang kamu kenakan berlarik "telacco #katakan dengan lembut" Woow kamu memang nyentrik kulihat lagakmu agak kasar, tak sedikit pun kesan lembut kamu tampakkan. Namun, pesan yang hendak kamu sampaikan mengubah perangaimu terhadapku. Kesan yang hendak kamu tinggalkan, bisa berupa kedamaian dan kelembutan. Tak sengaja, aku melirik jaket kawan kamu yang terbelah "maaf bukan belahan dada" baju kaos yang berwarna, berlengan abu-abu tertera larik "assu #katakan dalang hati" pesan ironik yang hendak kamu sampaikan dicemari dengan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Kata "dalang" seharusnya menggunakan kata "dalam". Atau. Mungkin, aku yang salah menafsirkan kata "dalang" ini, sepahaman ku kata "dalang" adalah aktor, insiator, otak, pelaku dan lain-lain. "Ini hanya pengaruh salah tulis saja" ketusku dalam hati. "Tak apalah salah ketik atau tidak baku maupun okkots. Sebab, itu ada pesan ikonik. Apatah lagi dengan kekurangan "g" atau kelebihan "g" adalah budaya luhur, yang tak punya perangai serupa di Nusantara. Dari gaya pitutur saja, kita sudah tahu bahwa kita serumpun. Kesan ikonik Bugis-Makassar berbahasa Indonesia, membuat kelipungan suku lain.
Bagaimana tidak, kata "kita" dalam suku Bugis - Makassar adalah panggilan penghormatan kepada lebih tua dari penutur. Sementara, dalam bahasa Indonesia adalah kata ganti yang melibatkan antara penutur dan pendengar." Sekedar ocehan dalam hati, melepas lelah antre di pertamina yang kian memanjang.
**
Senja kala, peristiwa sepuluh tahun silam. Gara-gara kata "telacco" Darah mengucur di pelipis mata dan mulut muntahkan darah. tubuh tertelungkup mengeram kesakitan, air mata sempat menitik dari rona wajah yang membiru. Betapa tidak, pukulan telak berulang kali menghujam tubuhku, tendangan putar sesekali merengsek mengenai ulu hati. Tubuh seolah tak berdaya mendapat guyuran pukulan dari dua orang kakak. Seolah, sulit mengelak dari pukulan-pukulan itu yang terus mengenai tubuhku.
Aku begitu lancung di hadapannya, seuntai kata "telacco" jiwaku hampir merenggang. Muka yang merah padam, sungguh murka terhadapku. Dianggap tak layak mengeluarkan kata-kata kotor itu. Apatah lagi, terhadap orang yang lebih tua. Sungguh kata-kata itu membuatku muak, dan murka. Jika terdengar nyaring di telingaku. Mengembalikan luka di masa silam. Bagaimana pula dengan seloka tadi dari anak-anak intrik, jika kata “telacco” diucapkan dengan lembut, kata “assu” diucapkan dalam hati. Mungkin peristiwa itu tak pernah terjadi. Entahlah !
"Mungkin ini pemberontakan bahasa, ihwal penghancuran terhadap bahasa keseharian" ketusku. Seseorang membalikkan badannya  ke aku. Lalu, dia  menatapku dan tersenyum. Entah apa, yang ia pikirkan. Seorang anak mudah, tampak malu-malu berdiri bersama kerumunan orang tua. Dan apa pula yang dilakukan gadis itu, selalu menatapku, kadang tak berkedip. Perjumpaan di kerumunan, hanya menyisakan serupa cerita. Kenangan yang tak beralur
“mungkinkah, kata “telacco” yang diucapkan dengan lembut mengurangi kesan kasar atau mengurangi ungkapan sarkastis yang dikandungnya, apakah pengucapan dengan lembut  bisa mengurangi ketersinggungan pihak lain!”
Bolehkah, aku bertandang di bibirmu, pendengar peluh kata itu. Mungkin menjadi nyanyian syahdu, yang akan ku dengar. Serupa seloka, yang tak pernah disyairkan dengan lembut. Tapi, amarah....
Kini, kamu berlalu..... seperti hilangnya titik, yang lindap di pelupuk mata. Sekian, karena tak ada lagi yang harus ku ucap, kali ini. Cerita ini sudah kukulum dalam nadiku, bisa saja terangkai pada  peristiwa lain untuk dituturkan.
 OLEH: SAMPEAN
Keterangan :
Assu (bahasa konjo) artinya Anjing
Telacco (bahasa konjo) kelamin laki-laki