Kamis, 30 Oktober 2014

PENONTON SEPAK BOLA: KERUMUNAN INTEGRASI PREMATUR

Pesona rumput hijau dan si kulit bundar menyedot pehatian para masyarakat dunia itulah sepak Bola yang menjadi Olah Raga yang paling Favorit dunia. Sebab, Sepak bola menyuguhkan sebuah keindahan dan persatuan yang di tampilkan oleh para gladiator lapangan. Para gladiator selalu menampilkan permainan yang apik dengan pertarungan Taktik, strategik, skill individu, dan kekompakan untuk menjadi yang terbaik di lapangan Hijau. Selain itu, penikmat Sepak Bola bukan hanya di kalangan tertentu tapi semua kalangan baik dari anak-anak, orang tua maupun kalangan perempuan dan  Sepak Bola merupakan olahraga yang paling terjangkau, sebab sepak bola bisa menjadi Olahraga yang paling murah sekaligus Olahraga yang paling Elit hingga harus menelan biaya triliunan dolar untuk menyelenggarakan perhelatannya.
Perhelatan sepak bola memiliki tingkatan-tingkatan tertentu dengan berbagai macam Turnamen dan  pertandingan sesuai  dengan peraturan FIFA. Kompitisi sepak bola secara umum memiliki dua bentuk yaitu pertandingan berdasarkan klup dan Negara. Akan tetapi, perhelatan yang paling menyedot  perhatian publik adalah Perhelatan Piala Dunia, EURO, dan Liga Champions dan Pertandingan dalam antar Regional.
Tapi satu hal yang tidak bisa di nafikan dalam sepak bola adalah para penonton sebagai pemain kedua dari sepak Bola. Sebab, Sepak Bola sangat di tentukan oleh Eksistensi dari para penonton dan penggemarnya. Para penonton juga turut menentukan atas suksesnya sebuah pertandingan selain itu penonton menambah spirit para gladiator lapangan semakin bertambah karena para penonton memberikan nilai lebih terhadap pemain. Walaupun demikian, para penonton dengan kata lain para penggemar bola sering terjebak pada sebuah fanatisme terhadap klub atau negara tertentu sehingga bisa menjadi pemantik sebuah konflik sebab sulit menerima kekalahan dan rasis terhadap pemain lawan. Namun satu hal juga tidak bisa di pungkiri adalah Sepak bola menjadi sebuah alat pemersatu dan semangat patriotisme untuk menjalin silaturahmi antar penggemar yang memicu hubungan persahabatan dan kekeluargaan.
Untuk menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola memiliki dua macam tipologi yaitu menonton secara langsung di stadion dan menyaksikan pertandingan lewat siarang langsung di stasiun TV. Di ruang-ruang seperti ini menciptakan ruang relasional yang pasif dan kesemuan identitas. Sebab dalam menyaksikan sebuah perhelatan pertandingan secara langsung kita hanya di arahkan pada suatu tujuan menyaksikan klub idola kita saat bertanding untuk meratapi kebahagiaan dan kesedihan yang terjadi di lapangan.
Ruang relasional itu hanya bersifat temporal. Tapi satu hal yang paling menyedot perhatian. Masyarakat  berlomba-lomba untuk menyaksikan sebuah pertandingan dengan berbagai cara pertama, nonton bareng bersama keluarga, teman dan lain-lain di rumah sendiri, kedua, nonton bareng di tempat-tempat tertentu. Realitas seperti ini mengundang sebuah tanda tanya dari setiap kerumunan nonton bareng sepak bola sebab apakah mereka bagian dari di tim itu atau mereka sesuatu yang berjarak antara tim sepak bola dan penggemarnya yang tidak memiliki keterkaitan apa-apa terhadap tim itu. Selain itu simbolitas identitas sangat mewarnai sebuah perhelatan dengan menyusaikan karakteristik sebuah tim idola. Hal itu bisa kita saksikan pada perhelatan Euro 2012 saat ini dan pertandingan-pertandingan sepak bola yang lain sebuah penciptaan ruang sosial yang unik.
Para pencinta bola bisa di kategorikan dengan berbagai modeling yaitu,  pertama, penikmat bola yang berprofesi sebagai pemain Bola. Sebab olaharaga sepak bola sudah menjadi hobinya. Kedua pemain pasif yang hanya sebagi penonton saja akan tetapi tidak suka dengan permainan bola. Sebagian besar tipologi ini hanya ingin menikmati pemain idolanya, dan sekaligus hanya   melepaskan kejenuhan dalam beraktivitas. Pemain pasif ini bisa di kategorikan menjadi dua yaitu penonton fanatik dan dan penonton pasif.
Penonton fanatik yaitu para penontong sepak bola menjadi penggemar aktif pada suatu tim tertentu yang selalu mengikuti kegiatan-kegiatan timnya baik dalam berlaga di lapangan maupun acara amalan yang dilaksanakan oleh tim, kemana-mana tim dia pasti ada. Atau istilah yang paling sering lengket pada tipologi ini adalah fans. Namun, ada yang perlu di ingat bahwa Fans bukan hanya yang bisa seperti diatas akan tetapi ada fans yang mengorganisasikan dirinya untuk manjadi bagian dari tim itu yang memiliki jarak yang tidak memiliki akses ke Fans induk. Seperti Fans Manchester United  yan ada di Indonesia dan aktivitasnya hampir sama dengan penonton pasif. Penonton pasif seperti yang di jelaskan pada paragraf sebelumnya hanya menyaksikan lewat stasiun TV untuk menyaksikan tim andalannya bertanding atau menyaksikan lewat nonton bareng atau nontong sendiri-sendiri.
Ketiga, penonton sunda gurau atau penonton yang hanya hanya turut meramaikan. Tipologi penonton sebenarnya tidak suka dengan bola akan tetapi melihat teman-temannya seru-seruan untuk menyaksikan pertandingan bola makanya di ikut nangkring disitu.

Ruang Kontekstual
Untuk mengamati ruang-ruang sosial yang terjadi dalam perhelatan sepak bola bisa kita lihat Euforia perhelatan sepak Bola EURO 2012 yang di laksanakan di Ukraina-Polandia yang sangat spektakuler.  Fenomena sosial yang terjadi di ruang sosial tersebut sangat menarik untuk kita amati dalam bingkai sebuah kajian sosiologi. Hal yang paling fenomenal dalam setiap perhelatan sepak bola adalah para penontongnya. Sesuai dengan penjelasan di atas bahwa para penonton memiliki berbagai macam tipologi yang selalu menciptakan bentuk-bentuk kerumunan.
Pesta EURO tahun 2012 di saksikan oleh hampir seluruh belahan dunia dengan barbagai macam cara. Demi menyaksikan piala EURO, masyarakat rela merogoh kucek dalam-dalam untuk menyaksikan tim andalannya untuk bertanding di lapangan. Akan tetapi, masyarakat yang tak mampu menyaksikan secara langsung harus rela menyaksikan tim idolanya bertanding lewat stasiun TV. Terkhusus untuk negeri ini
Indonesia hanya bisa menyaksikan tim kesukaannya hanya lewat stasiun TV. Tapi, semarak untuk menyaksikan piala EURO tidak kalah menariknya nontong langsung di lapangan. Perhelatan EURO membuat masyarakat menjadi deman sepak bola sebab, hampir semua kalangan ikut menyaksikan pertandingan tim idolanya dengan mengorbankan agenda yang lebih penting, misalkan di Jakarta Pelaksanaan  Ujian SNMPTN banyak yang terlambat pergi ujian Sebab nonton piala EURO, di Makassar rela tidak pergi Kuliah demi menyaksikan Piala EURO dan Piala EURO menjadi ajang Kampanye untuk pemilihan Gebernur di Sulawesi Selatan. Tapi, yang lebih menarik adalah ajang EURO menjadi tempat mengadu nasib terhadap tim kesayangannya.
 Perhelatan EURO 2012 menampilkan pemandangan yang khas pada pukul 12.00 WITA sampai Pukul 04.45 WITA di kota Makassar yang tidak seperti Biasanya. Warna malam menjadi Ceria di tempat-tempat Umum dengan Nontong Bareng seperti Kafe, Warkop, Rumah makan, sekretariat Organisasi, di Pinggir Jalan dan Rumah Kost karena menjadi ajang tempat berkumpul dengan tujuan yang sama yaitu nonton Bola. Aktivitas ini memberikan sebuah suntikan akan adanya sebuah persatuan yang belum terurai menjadi kesatuan aktif. 
Kenyataan dalam kerumunan ini memberikan sebuah histeria saat nonton bersama atau istilah lainnya di kenal nonton bareng karena dalam situasi ini kita leluasa untuk berteriak dan memberikan motivasi dan  menyemangati tim yang sedang bertanding walaupun mereka tidak mengetahuinya. Selain itu dalam menyaksikan pertandingan sepak Bola EURO  2012 menjadi ajang refressing dan wisata emosional untuk melepaskan beban kerja dan masalah-masalah pribadi yang lain karena dalam menonton bareng ada sebuah kebebasan untuk melakukan teriakan-teriakan histeria dan terkadang terjadi anarki prilaku dengan mengekspresikan kekalahannya atau kemenangannya yang berlebihan. Situasi ini hanya memiliki masa inkunbasi selama satu bulan. Pemandangan ini akan berlanjut pada pada event yang lain dalam waktu dekat akan berlangsung event sama di Inggris yaitu perhelatan Olimpiade.

Kerumunan (crowd)
Perkembangan masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai bentuk interaksi yang membentuk sebuah tatanam sosial yang memiliki ciri dan pola kehidupan yang berbeda. Kendati demikian bahwa kehadiran kelompok-kelompok sosial tidak bisa di hindari dalam kehidupan bermasyarakat. Kelompok masyarakat bersifat sementara, permanen, terorganisasi sesusai dengan konsensus dan kepentingan yang terajuk pada setiap individu.
Kelompok sosial yang cenderung terkonstruk terhadap minat yang sama untuk membentuk sebuah ikatan yang emosional. Kelompok ini sering disebut sebagai kerumunan (Crowd). Kerumunan sering terjadi pada suatu tempat tertentu yang memiliki pola tertentu dengan manampilkan sebuah ciri khas dan identitas tertentu bersifat kebetulan yang melahirkan sebuah hubungan yang interaksi dengan perasaan emosional yang sama terhadap sebuah identitas.
Karakteristik dari sebuah kerumunan adalah pola kelompok sosial hanya memiliki rentang waktu yang sangat singkat, sebab keberadaan kerumunan di tentukan oleh eksistensi individu yang sedang berkumpul. Selain itu kerumunan tidak memiliki struktur kepemimpinan atau struktur organisasi yang jelas. Kedudukan individu dalam kelompok sosial ini sama sebab dalam tidak ada sistem pelapisan dalam masyarakat.
Hal ini berwastata dengan Mayor Polak adalah karena adanya minat, hasrat, atau kepetingan bersama dan diantara para anggotanya berkembang sebuah pengaruh dan seperti timbal balik yang kadang-kadang kuat tetapi tidak kekal serta tidak rasional.
Berdasarkan pendefinisiannya ini Mayor Polak membagi Dua jenis kerumunan yaitu pertama, kerumunan yang aktif adalah kerumunan yang timbulnya secara spontan, emosional dan impulsif sebab tidak ada aturan yang mengikat maka dalam kerumunan ini cenderung bersifat destruktif sebab individu dalam kerumunan ini memiliki kebebasan melakukan ekspresi baik itu jengkel maupun rasa bahagia.
Kedua, kerumunan ekspresif adalah kerumunan yang tidak mengenal pusat perhatian maupun tujuan yang sama melainkan hanya mengenal emosi saja tanpa tujuan tertentu. Sifat kerumunan ini tidak bersifat merusak akan tetapi hanya melepaskan sebuah ketengangan dan emosi saja. Seperti menangis dan berteriak. Tapi kerumunan ini bisa bisa berubah menjadi kerumunan aktif.
Berangkat dari spektrum realitas sosial saat ini bahwa bentuk kerumunan mulai bergeser pada sebuah bentuk yang bersifat terorganisir menonjolkan sebuah identitas dengan berbagai macam pernak-pernik  kelompoknya. Sebab, kelompok sosial ini menaruh sebuah perhatian khusus pada minat tertentu dengan rasa simpati dan antipati terhadap kelompok lain. Kerisuan dan kebahagiaan mulai di rasakan bersama dengan berbagai macam  ekspresi dan perilaku di perlihatkan oleh kelompok itu.
Sebuah pemandangan yang bisa di lihat pada kerumunan suportor Bola yang mulai mengornisir diri pada suatu minat yang sama menciptakan sikap fanatisme terhadap  sebuah tim tertentu sehingga menciptakan kekacuan yang terorganisir walapaun dalam pemandangan kita bahwa tawuran yang sering kita saksikan itu kekacauan yang sporadis akan sebenarnya kekacauan itu bersifat sistematis dan telah terencanakan sebelumnya. Sebab ada ikatan yang solidaritas yang telah terbangun di kelompok suporter itu.

Integrasi Prematur
Integrasi yang sering kita artikan sebagai sebuah kesatuan yang utuh atas pndangan dunia yang sama. Integrasi terbangun oleh sebuah konsensus dalam menciptakan sebuah kelompok yang di warnai oleh berbagai macam identitas di dalamnya atau sebuah ketunggalan identitas dalam melaksanakan peran-peran sosial. Dalam terjemahan sosial pengunaan kata integrasi selalu bergandengan tangan dengan konflik karena akhir dari sebuah konflik adalah integrasi dengan alasan bahwa orang yang merasa kalah dalam persaingan atau peperangan harus melunturkan identitasnya untuk bergabung ke identitas yang lain di anggap superior. Selain itu, integrasi sosial bisa di artikan sebagai penerimaan anggota lain ke dalam suatu kelompok tertentu.
Di spacial (Ruang) kontestual kita diperkenalkan pada  realitas tentang kumpulan manusia yang terbentuk secara spontan atau suatu bentuk kerumunan dengan pola tertentu yang mencerminkan sebuah identitas.  Di ruang kontekstual itu di cerminkan oleh sebuah suporter, penonton, dan penggemar bola. Dengan kenyataan bahwa sepak bola menciptakan ruang tersendiri di ruang sosial tentang sebuah kerumunan yang terjadi seperti gelembung manusia yang manghadiri stadion untuk menyaksikan sebuah pertandingan sepak bola dan antusias para penontong di luar stadion untuk menyaksikan pertandingan Bola dengan berbagai macam cara dengan mengekspresikan dirinya dengan nontong bareng atau nonton bersama.
Para kelompok penggemar bola ini diarahkan pada satu tujuan yang sama, minat yang sama, identitas yang sama yaitu kelompok suporter bola yang berkumpul di stadion untuk menjalin sebuah hubungan integrasi akan tetapi dalam kelompok  tersebut ada warna yang tergambar dari masing-masing kubu. Mereka masing-masing menyaksikan timnya beradu dalam lapangan untuk mencari sebuah kemangan. Dari pesona itu bahwa bahwa ada kenampakan yang terlihat untuk mengintegrasikan dirinya dengan yang lain dengan orientasi yang sama sebagai penikmat bola. Begitupun yang di luar stadion atau tempat-tempat lain bahwa penggemar bola mengingtegrasikan dirinya untuk nonton bersama untuk menyaksikan pertandingan tim idolanya di lapangan dengan membawa antribut-atributnya timnya.
 Bentuk kerumunan ini memiliki sifat yang pasif karena hanya bersifat sementara dengan aktivitas yang cenderung menolitik. Penggambaran ini mencerminkan sebuah integrasi prematur yang terjadi dalam masyarakat karena pembauran yang terjadi bersifat sementara dan bisa berubah menjadi sebuah kerumunan yang aktif dengan kenampakan-kenampakan anarkistis. Kelompok ini luput dari sebuah perhatian khusus oleh pemerintah bagaimana peran suporter bola dalam mengintegrasikan diri berbagai macam identitas dalam sebuah naungan sepak bola. Sepak Bola memiliki peran yang vital terhadap berbagai macam problem sosial yang terjadi dalam masyarakat yaitu konflik suku, konflik antar beragama dan lain-lain sepak bola bisa mengintegrasikan semua itu mempertemukan sebuah event yang sama yaitu pertandingan sepak bola. Sepak bola pernah menjadi alat pemersatu dunia saat gejolak peran dunia.
Akan tetapi, berbeda dengan Indonesia Sepak Bola menjadi ajang perpecahan di atas kepentingan elit sehingga menjadi dualisme kepentingan yang harus melahirkan konflik-konflik sosial baik baik secara vertikal yaitu kepentingan para pejabat maupun secara horisontal yaitu konflik antar pemain dan konflik para suporter karena menciptakan sebuah dualitas kepentingan. Sehingga kondisi TIM nasional di Negeri ini menjadi salah urus dan mengorbankan emas yang tertanam pada generasi pemuda bangsa ini karena mereka telah terabaikan oleh dualitas kepentingan tersebut.
sehingga apa yang terjadi saudara-saudara sekalian di Indonesia sepak bola merupakan ajang keretakan solidaritas di atas melambungkannya penggemar bola di indonesia yang seharusnya memberikan sebuah spirit untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia akan tetapi yang terjadi adalah malah sebaliknya. Mungkin inilah realitas yang terjadi di negeri ini, bahwa Sepak bola menjadi Mirror kerumunan integrasi prematur.****

sampean
Makassar, 2012

Minggu, 19 Oktober 2014

,

FIKSI

FIKSI

Mungkin kata “Fiksi” bagi kita semua adalah kata yang sederhana. Pemahaman kita akan tertuju pada pendefinisian Bahwa fiksi adalah hasil rekaan atau khayalan yang tidak punya kenyataan (KBBI). Betulkah seperti itu, fiksi tidak punya kenyataan!!. Dari sumber yang berbeda “fiksi” di artikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia (dalam Teori Pengkajian Fiksi Burhan Nurgiyantoro (1995), (Wikipedia.org/wiki/fiksi).
Kedua penjelasan ini, aku berusaha mendeskripsikan tentang fiksi sesuai dengan kapasitas ku, selaku sosiolog. Sebagai seorang sosiolog sudah tentu akan mengalami keterbatasan untuk mengkaji tentang “fiksi” yang notabenenya adalah kajian bahasa. Tulisan ini lahir dari pendiskusian dari teman dunia “maya” yang mencecar beberapa pertanyaan. Maka sepatutnya pula, saya menjawab dari pertanyaan itu dengan berbagai keterbatasan ku sebagai sosiolog. Saya menjelaskan dengan sudut pandang sosiologis sebab, disiplin itu yang melahirkan saya atas legitimasi ijasa. Sepantasnya pula, harus menguasai disiplin ilmu itu walau belum sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya dimiliki oleh pemilik kesempurnaan itu.
Berangkat dari penjelasan di atas tentang fiksi belumlah cukup untuk memenuhi pertanyaan saudara penanya dari dunia maya itu. Secara garis besar pertanyaan itu, menyangkut eksistensi kenyataan dalam fiksi. Penanya menganggap bahwa fiksi pada dasarnya hasil rekaan semata yang tidak punya wujud realitas. Sungguh pernyataan ini sangat mengelitik. Tapi entahlah, apakah asumsi ini hanya menguji pemahaman saya terkait dengan tersebut atau memang dia belum tahu tentang itu. Semoga anggapan ini salah, dari penjelasan disampaikan menunjukkan penanya memiliki wawasan terkait pendiskusian tersebut. walau, penjelasan tentang “fiksi” lebih dipersempit. Bagi saya itu tidak menjadi persoalan., karena dalam dirinya juga terdapat unsur kebenaran.
Dari dua sumber yang berbeda tentang penjelasan “fiksi” perlu digaris bawahi yaitu khayalan, imajiner dan kenyataan. Ketiga terma tersebut menjadi unsur pembangun dalam menyusun struktur  bahasa dalam mendefinisikan “fiksi”. Namun, terlepas dari ketiga kata tersebut tentunya kita tidak boleh melupakan kata “fantasi”. Menurut Budiono Kusumohamidjojo ketiga istilah tersebut tidak terlalu dibedakan dalam KBBI, bahkan memiliki keserupaan. Sementara, Budiono Kusumohamidjojo menjelaskan dalam buku filsafat kebudayaan proses realisasi manusia bahwa fantasi dan imajinasi cukup berbeda, Fantasi adalah sebagai daya manusia untuk membayangkan dan memikirkan sesuatu tanpa bertolak dari pengalaman (memikirkan yang tidak terpikirkan). Sedangkan imajinasi merupakan daya manusia untuk membayangkan memikirkan sesuatu dengan bertolak dari pengetahuan (memikirkan yang belum dipikirkan). Penjelasan ini kurang bermanfaat dalam penjelasan fiksi. Tapi cukup untuk memberikan pemahaman kejelasan kekeliruan dalam fiksi tersebut. kedua unsur tersebut sudah jelas ada dalam fiksi. Fiksi pada dasarnya sulit lepas di arena bahasa. Kedua hal tersebut dihadirkan pada ruang struktur bahasa. Sedangkan di arena bahasa dan alam fiksi, realitas yang yang tidak punya wujud kenyataan material dan tidak terfantasikan dan imajinasikan, kondisi yang seperti itu hadir hanya bahasa, seperti segita lima sisi, gunung yang menangis, bulan yang tertawa, lingkarang yang berujung. Konsep-konsep ini hanya hadir lewat bahasa, dan digunakan dalam bahasa fiksi. Pengungkapan ini dikenal sebagai gaya bahasa konotasi. Bahkan sulit di imajinasikan dan difantasikan. Tapi, makna sejatinya hadir lewat bayang-bayang kenyataan. Bahkan sulit menemukan kenyataan. Tapi, setidaknya memberikan sebuah kenyataan bahwa ada yang hadir lewat bahasa tapi tidak punya kenyataan material, namun ada.  Itu nyata, lewat fiksi
Fiksi tidak boleh dilepaskan dari yang mengadakannya yaitu hasil narasi pikiran manusia. Fiksi sebagai narasi manusia, tentunya hasil pemainan pikiran manusia yang seusai penjelasan sebelumnya yaitu fantasi, imajinasi  dan arena bahasa.
Bahasa, Narasi dan Kenyataan
Perwujudan suatu fiksi adalah narasi. Narasi tersebut dituturkan oleh manusia melalui teks. Pesan teks akan tersampaikan melalui bahasa. keindahan yang disampaikan oleh karya fiksi bergantung dari permainan bahasa. Permainan bahasa sesuai selera penggunanya.  Dalam ruang fiksi dan bahasa akan mengandung metafora, pengandaian, anekdot, adagium, majas dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah permainan bahasa untuk menggambarkan realitas yang sulit terbahasakan. Bahkan bahasa mampu mengkerdilkan dan memperluas kenyataan melalui bahasa. bahkan fiksi tidak punya latar belakang histori, ataupun realitas. Tapi fiksi menceritakan sebuah kenyataan. Entah kenyataan itu hadir setelah kehadiran narasi atau kenyataan yang melatarbelakanginya. Inilah realitas fiksi.
Fiksi pada dasarnya menyampaikan pesan kepada interpreter (pembaca) tentang makna. Fiksi kurang memedulikan realitas sesungguhnya bahkan cenderung melebih-lebihkan (hipebola) tentang realitas. Fiksi akan menyampaikan realitas kesempurnaan yang berbeda dengan sesungguhnya. Fiksi akan berbeda dengan bahasa pers atau jurnalistik yang menggambarkan atau mendeskripsikan realitas/kenyaataan yang sesungguhnya. Bahasa pers diangkat melalu fakta dan harus sesuai dengan fakta tersebut. sementara, fiksi tidak. Bahasa punya ruang tersendiri dimana sang penutur punya otoritas menggambarkan realitas fiksi tersebut. maka ada yang beranggapan bahwa bahasa fiksi mengandung kebohongan. Anggapan tentunya mengandung kebenaran. Sebagaimana yang dituturkan oleh Muhiddin M. Dahlan bahwa penulis fiksi adalah pembohong yang baik.
Fiksi akan melukiskan tentang keindahan. Karya fiksi merupakan ungkapan imajinatif, fantasi dan khayalan melalui narasi. Maka fiksi bisa menghadirkan melo drama dalam sebua drama narasi. Fiksi mampu menghadirkan aktor-aktor narasi yang sempurna bahkan paling jahat sekalipun. Sebagaimana dilukiskan oleh film mahabrata yaitu sikap Krisna atau nama lainnya Basu Dewa atau Govinda, sikap dan tutur katanya begitu lembut, tindakannya penuh dengan sikap kebajikan. Sikap merepresentasikan sebagai seorang dewa bahkan Dia anggap sebagai dewa. Gambaran cerita ini saya sesuai dengan kebutuhan saya, sebagaimana pendiskusuan saya dengan teman dunia maya.  Kembali lagi dengan pertanyaan teman saya “apakah tokoh seperti krisna itu pernah ada?”
Pertanyaan ini agak  menyulitkan bagi saya untuk menjawab pertanyaan ini. Sebab, saya tidak pernah hidup di mana tokoh itu hadir. Cerita ini tersampaikan lewat narasi teks dan narasi dari tutur manusia. Cerita ini dikonversi melalui visual untuk disampaikan kepada khalayak. Film itu tidak mempersoalkan apakah kenyataannya ada atau tidak itu urusan khalayak. Maka saya berpendapat bahwa bisa saja tokoh itu pernah ada. Sikap kesempurnaan yang dimiliki oleh sikap Krisna untuk merepresentasikan bagi malaikat, ataupun dewa. Tapi, dalam dunia yang nyata menunjukkan lakon yang berbeda sepertinya halnya dengan sikap nabi dan rasul. Ketika kita penganut agama setidaknya kita percaya tentang kenabian. Sikap kenabian dan kerasulan akan menggambarkan sebuah sikap dan tindakan kesempurnaan manusia. Seperti ungkapan Istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah. ra ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an. Al Quran di sini melambangkan kesempurnaan, sulit manafikan tersebut. Tapi bagaimana dengan Krisna??. Krisna bisa merepresentasikan sikap nabi tersebut walaupun disampaikan melalui lakon yang berbeda sebagaimana dengan dunia fiksi.
Sampai disini saya tetap meyakini bahwa ada manusia yang memiliki sikap mirip dengan Krisna. Sebab, sikap kesempurnaan merupakan potensi dalam diri yang senantiasa terus menjadi. Hanya proses sampai kesana tidak berjalan sebagaimana seharusnya karena melakukan penyimpangan-penyimpangan. Ketika ada usaha akan meniru dengan sikap tersebut tidak akan menjadi sebagaimana Krisna dan sikap nabi tersebut. sikap kesempurnaan ini dibantah oleh erik Fromm bahwa pada dasarnya sikap otentik manusia adalah agrasif selalu berbuat kegaduhan. Dalam sebuah karya fiksi lakon jahat dan kebaikan akan tetap ada.
Disinilah keindahan fiksi dimana dunia diracik sesuai dengan selera, menggugah imajinasi dan menciptakan epos yang sulit dengan akal rasional manusia. bahkan, tipuan sekalipun bisa diyakini bahwa keberadaannya itu ada. Itulah kekuatan fiksi. Fiksi dan fiktif itu nyata.

Bulukumba, 19 September 2014
Oleh “S”