Senin, 25 Juni 2012

Studi Literatur


John G. Stockhouse, JR.
REVIEW BUKU :
 BISAKAH TUHAN DI PERCAYA
BIP (Bhuana Ilmu Populer): kelompok Gramedia, Jakarta, 2010
Hal, 238

Bisakah Tuhan di percaya sebuah judul buku yang genit atau pertanyaan nakal terhadap kaum agamawan. Secara intrinsik judul buku ini menonjolkan sebuah gugatan terhadap eksistensi keberdaan Tuhan. Namun ada hal yang penting lewat pemaparan buku ini menggambarkan bahwa dunia saat ini penuh dengan keraguan dari perkembangan ilmu pengetahuan sebab beberapa hal yang dianggap mistis telah menjadi pengetahuan ilmiah. Indikator dari pengetahuan ilmiah mengantarkan manusia pada lubang hitam yang tak kunjung sampai pada tujuan sebagai proses penyalamatan atas krisis kemanusiaan yang terjadi.
Perkembangan pengetahuan mengantarkan kita pada sebuah kehidupan yang positivis dan rasional. Dan di luar jangkauan itu adalah hanyalah sebagai mitos atau menjadi sebuah cerita rekaan yang di wariskan secara terun-temurun. Lewat pandangan dunia yang seperti ini melahirkan sebuah pandangan  absurditas menjadi landasan utama untuk mempertanyakan eksistensi keberadaan dari  pencipta. Fenomena-fenomena yang terjadi saat ini menjadi gudang tanda tanya untuk melabrak sebuah status qou kehidupan manusia.  
Namun, disisi yang lain kegiatan asketisme dan kezuhutan semakin miningkat di masyarakat modern yang terus mempertahankan konsep-konsep agama dalam kehidupan sehari-hari manusia. Bahkan golongan ini terus berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang genit dari para ateis dengan segala kemampuan yang dimiliki dengan berbagai pendekatan Teologis dan menjawab berdasarkan kitab pegangan yang dimiliki oleh masing-masing agama. dari sudut pandang keyakinan dalam beragama bahwa secara umum ada dua golongan yang sering berdialog yaitu kalangan teistik dan ateistik. Di buku ini menyuguhkan dialog ini dengan pendekatan sosiologis dan pendekatan teologis.
Pendekatan sosiologis menelah realitas yang terjadi dalam ruang sosial dengan berbagai macam patologi sosial yang tidak melapangkan keberadaan Tuhan karena sifat dan eksistensi tidak berwastata dengan fenomena sosial yang terjadi dan menjadi sumber pertanyaan. Sedangkan pendekatan teologis mencoba menelah dan merasionalisasikan pertanyaan ateistik  lewat ajaran agama. kedua pendekatan ini masing-masing meretas problem kemanusiaan dengan metode yang berbeda akan tetapi memiliki kajian yang sangat berbeda pula akan tetapi memiliki sebuah keterkaitan yang tak dapat disangkal.  Hubungan ini bertemu pada titik konvergensi solusi produktif terhadap ketimpangan yang terjadi dan pembacaan terhadap krisis kemanusiaan.
Secara umum buku ini memiliki dua pembahasan pokok yaitu pertama, tentang  masalah, pada bagian ini di awali oleh asumsi oleh seorang filosof  yang bernama David Hume yang menggemakan skeptisme Epicurus dan seorang penyair yang bernamaPemasmur yang meragukan penciptanya. kedua tokoh berangkat dari sebuah setting sosial yang mengalami  patologi sosial. Sebab, dunia saat ini seolah menjadi sumber malapetaka terhadap eksistensi keberadaan manusia. Kejahatan menjadi sebuah konsumsi kehidupan sehari-hari. Kenyataan ini mengantarkan manusia pada sebuah pemahaman akan adanya eksistensi keberadaan Tuhan yang  memiliki sifat yang baik dan cinta akan kedamaian, namun realitas berkata lain di tangan manusia yang memiliki sikap free will atau kehendak bebas dalam merekayasa kehidupan manusia. Selain itu, alam menjadi sumber malapateka bagi manusia dengan berbagai macam bencana alam yang terjadi seperti tsunami, letusan gunung berapi, tanah longsor dan berbagai macam bencana alam. Lewat dari asumsi ini bahwa Tuhan merupakan sumber malapetaka dan kekacauan yang telah menegasikan sikap maha pemurah dan pemaafnya.
Derivasi sifat yang dimiliki oleh Tuhan selalu memiliki dua ketersinggungan atau pertentangan yang dimiliki oleh Tuhan yaitu sifat feminitasnya dan maskulinnya yang mengontrol kehidupan manusia. Dualisme ini memberikan solusi problematik  pada diri manusia yanng menghilangkan kayakinan manusia terhadap sebuah asketisme terhadap Tuhan yang Maha Bijaksana yang memiliki hubungan kontradiktif dengan mahakuasa akan segala sesuatu sebab Tuhan tidak mampu melakukan hal-hal yang kontradiktif pula pada dirinya yang akan menujukkan kemahakuasaannya. Sebab dia tidak mampu menciptakan segitaga empat sisi. Hal ini merupakan sebuah asumsi yang keliru terhadap persepsi kemahakuasaannya Tuhan.
Konsep free will ( kehendak bebas) yang dimiliki manusia menjadi problem utama terhadap tatanam sosial yang terjadi saat ini. Sebab, tatanam sosial yang kacau di kehidupan kontemporer  tidak lepas dari konsep ini yang telah melabrak tatanam moral dan nilai yang menjadi ketetapan Tuhan yang telah di turungkan oleh Tuhan melalui para Nabi dan rasulnya yang berdasarkan pada prinsip Pewahyuan dan Konsep kebenaran yang di tawarkan umat manusia lewat sebuah perenungan.  Konsep menjadi hal yang tabuh dalam kehidupan modern yang harus di hilangkan.
Kedua, Respon, pada bagian merupakan sebuah respon terhadap sebuah permsalahan yang di tawarkan bagian pertama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan masalah sosial yang berkaitan dengan eksistensi keberadaan Tuhan. Di bagian Respon ini telah mempertimbangkan sebuah respon terhadap sebuah kejahatan natural dan kejahatan moral maupun kejahatan supranatural dan bagain respon menjawab tentang persoalan makna dan eksistensi yang di jabarkan dengan berbagai macam perspektif yang di tawarkan dalam buku ini.
Dalam penjabaran buku ini bahwa manusia pada dasarnya tidak memiliki sebuah kehendak bebas sebab manusia telah memiliki hal yang potensial dalam diri manusia bukanlah seperti yang sering di dengunkan oleh Thomas Hobbes bahwa kelahiran manusia adalah dalam keadaan kosong (Tabula rasa). Akan tetapi, manusia telah di bekali oleh sebuah hal yang fitrawi tentang sebuah kebenaran dan kesucian dalam diri manusia bukan kesempurnaan moral terhadap manusia. Selain itu, bahwa kejahatan yang terjadi di dunia saat ini merupakan sebuah mesin equilibrium terhadap sebuah tatanam sosial yang terjadi. Sebab kejahatan bukanlah hal yang selalu menyebabkan hal yang negatif akan tetapi ending dari kejahatan adalah sebuah kebahagiaan dan ketentraman. kejahatan melahirkan sebuah konsesus atas pihak yang bertikai untuk marajuk jalinan persahabatan. Selanjutnya kajahatan alam selalu menawarkan hal baru terhadap kesejahteraan manusia seperti letusan gunung berapi yang menyuguhkan kesuburan Tanah baik untuk bercocok tanam. Kesimpulan bahwa kejahatan bukanlah suatu yang sangat mengerikan akan tetapi kejahatan bagian dari sebuah kebaikan yang senantiasa bertukar sesuai dengan rasa dan kesadaran manusia.
Secara umum dalam buku ini, penulis mencoba merespon ungkapan David Hume terhadap realitas yang terjadi dunia yang menganggap Tuhan adalah Impoten. Dalam buku ini menyuguhkan sebuah tawaran jawaban yang cukup akurat terhadap masalah di lemparkan oleh David Hume.
Dalam buku ini, untuk merospon para kritikus agama penulis coba menkonparasikan beberapa agama seperti agama kristen, Islam dan Yahudi. Namun, paling dominan adalah pendekatan agama Kristen untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan genit itu sementara dalam pendekatan yang lain sangatlah simplistis. Respon yang di berikan dalam problem yang ditawarkan oleh kritikus agama atau para Atheis masih cenderung abstrak. Tetapi dalam penjabarannya mudah untuk di pahami olah para pembaca sebab menyuguhkan bahasa yang sangat sederhana.
Selain itu, buku ini merupakan buku translate jadi memiliki kemungkinan pelesatan makna yang telah diungkapkan oleh penulis aslinya sehingga kemunkinan besar akan terjadi reduksi yang dilakukan oleh para translator. Akan tetapi, buku menjadi sangat menarik bagi orang-orang yang bergelut dalam dunia filsafat dan teologi maupun orang yang belajar agama sebagai studi konparasi dengan berbagai referensi yang lain.***{Sampean}