Rabu, 11 Januari 2012

Fenomenologi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Fenomenologi
fenomenologi kali pertama diperkenalkan pada abad 18 sebagai teori, namun penggunaannya masih mengundang berbagai pertanyaan di kalangan ilmuwan. Kata fenomenologi bersifat filosofis. ketidakjelasan dalam pendefinisian fenomenologi selalu menhadirkan pertanyaan apa itu fenomenologi! namun secara leksikal atau etimologi Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani phainomai  berarti “menampak”. Phainomenon merujuk pada “yang menampak”. Fenomena tiada lain adalah fakta yang disadari, dan masuk ke dalam pemahaman manusia. Jadi suatu objek itu ada dalam relasi kesadaran. Fenomena bukanlah dirinya sendiri seperti yang tampak secara kasat mata, melainkan justru ada di depan kesadaran dan disajikan dengan kesadaran pula. Berkaitan dengan hal ini, maka fenomenologi merefleksikan pengalaman langsung manusia, sejauh pengalaman itu secara intensif berhubungan dengan suatu objek.
Menurut Oxford English Dictionary, yang dimaksud dengan Fenomenologi adalah
a. The science of phenomena as distinct from being (ontologi).
b. Division of any science which discribes and classifies its fenomena.
Jadi, fenomenologi adalah ilmu yang mengenai fenomena yang dibedakan dari sesuatu yang yang sudah menjadi, atau disiplin ilmu yang menjelaskan dan mengklasifikasikan fenomena, atau studi tentang fenomena. Dengan kata lain, fenomenologi mempelajari fenomena yang nampak di depan kata dan bagaimana penampakannya.
Dalam Filsafat, term fenomenologi digunakan dalam pengertian yang utama, yakni di antara teori dan metodologi. Sedangkan dalam filsafat ilmu fenomenologi tidak mengunakan pengertian yang utama sehingga pada abad 20 di abaikan sehingga sedikit sekali ilmuwan yang memahami tentang fenomenologi. namun saat ini, fenomenologi digunakan sebagai metode berpikir untuk menganalisis sebuah realitas namun di satu sisi fenomenologi sebagai disiplin ilmu dalam filsafat yang mempelajari fenomena manusia (human phenomena). Tanpa mempertanyakan penyebab dari fenomena itu, realitas objektifnya, dan penempakannya. fenomenologi tidak beranjak dari kebenaran fenomena yang tampak itu, adalah objek yang penuh dengan makna transendental. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hakikat dengan kebenaran, maka harus menerobos melampaui fenomena yang tampak itu.
Tujuan utama fenomenologi adalah mempelajari bagaimana fenomena dialami kesadaran, pikiran, dan dalam tindakan, seperti sebagaimana fenomena tersebut bernilai atau diterima secara estetis. Fenomenologi mencoba mencari pemahaman bagaimana manusia mengkonstruksi makna dan konsep-konsep penting, dalam kerangka intersubjektif. Intersubjektif karena pemahaman kita mengenai dunia dibentuk oleh hubungan kita dengan orang lain. Walaupun makna yang kita ciptakan dapat ditelusuri dalam tindakan, karya, dan aktivitas yang kita lakukan, tetap saja ada peran orang lain di dalamnya.

B. Perkembangan Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Ilmu fenomenologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini.Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Johann Heinrich Lambert (1728 - 1777), seorang filsuf Jerman. Dalam bukunya Neues Organon (1764). ditulisnya tentang ilmu yang tak nyata. Dalam pendekatan sastra, fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. G.W.F. Hegel dan Edmund Husserl adalah dua tokoh penting dalam pengembangan pendekatan filosofis ini. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak (phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri.
“Fenomen” merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita, realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Pandangan Husserl tentang “Reduksi Fenomenologis”. Kita pada dasarnya cenderung untuk bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada “Sikap fenomenologis”.
Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat “apodiktis” (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil – profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan “reduksi transendental”.
Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu rigorous.
Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan- akan dunia sama sekalai tidak berkaitan dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen. Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan apodiktis dan absolut tentangnya. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan dunia, sebaliknya realitas material ditemui dalam suatu prespektif baru, yaitu korelat bagi kesadaran. Menurut Husserl yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam sikap natural, melainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau “ego transendental”.
Metode Fenomenologi sejauh ini metode ini yang paling baik digunakan untuk menerengkan sesuatu. Dengan metode fenomenologi kita akan mendapatkan gambaran umum dan mendalam dari objek yang ingin kita teliti atau ketahui berdasarkan penampakkan-penampakkan pada diri objek. Dan penampakkan- penampakkan yang dimaksudkan dalam metode fenomenologi merupakan penampakkan yang sama sekali baru. Dalam arti tidak ada tirai yang menghalangi suatu realitas itu untuk menampakkan diri. Dan karena realitas yang muncul itulah maka kita berkesadaran. Jadi menurut saya metode ini merupakan metode yang paling signifikan untuk meneliti objek yang akan dikaji.




BAB II
PEMBAHASAN
A. Edmun Husserl
1. Biografi Singkat
Edmun Husserl dilahirkan di Prosstejov Prossnitz, Moravia wilayah kekaisaran Austria – Hongari pada 8 April 1859, Husserl merupakan anak kedua dari empat bersaudara, orang tuanya bernama Adolf Abraham Husserl dan Julia Husserl nee Selinger, berasal dari keluarga kelas menengah yang tidak tertarik dengan proses keagamaan, walaupun keluarga itu telah berbaur dengan Yahudi selama berabad-abad. Nama Husserl disinyalir berasal dari “Iserle” yang berarti Israel. Hasserl mengawali pendidikan formalnya di sebuah sekolah lokal kelahirannya, kemudian pada usia 9 tahun ia mendaftarkan diri dari Realgymnasiun Di Veina. Pada Tahun 1869, ia dipindahkan ke Staatgymnasiun di Olmutz.
Menurut Malvine, Istri Husserl tidak tertarik dengan pelajaran sering tidur di kelas hingga nilanya jelek. Namun, Husserl menunjukkan sebuah bakat yang kuat di bidang matematika. Ia mempelajari hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran di bangku sekolah.
Pada Tahun 1876, Husserl menjadi mahasiswa universitas Laiden untuk mendalami bidang astronomi selama tiga semester. Di samping itu dia mengikuti kuliah bidang Matematika dan beberapa kuliah Filasafat dari Wilhem Wundt. Pada masa ini dia bersahabat dengan Thomas Masayryk, mahasiswa filsafat pengikut Frans Brentano di kemudian hari, Franz Brentano menjadi gurunya yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan intelektualitas, selanjutnya, pada awal musim panas 1879, dia pindah ke Universitas Berlin untuk bidang Matematika dan Filasafat, di sana menjadi peserta kuliah dari dua Matematikawan besar, Karl Weiestrass dan Leopol knonnecker yang menimbulkan ketertarikan Husserl pada analisis aritmetika dalam perkembangannya Husserl melakukan hal yang pada bidang Filsafat.
Pada tahun 1881, dia pindah ke universitas Viena dengan bidang yang sama yaitu matematika, dan meraih gelar doktornya dengan disertasi berjudul contribution to the theory of calculation of variotions.

2. Konsep Pemikiran Husserl tentang fenomenologis
Fenomenologi Sebagai Metode untuk Membangun Disiplin dasar
Pendiri fenomenologi sebagai sebuah gerakan filosofis, Edmund Husserl (1859-1938) memiliki tujuan fundamental, yang diperlukan untuk memiliki jelas dalam pikiran dalam menilai pekerjaannya dan relevansinya bagi psikologi. Tujuan ini adalah untuk memberikan dasar yang pasti untuk disiplin ilmiah yang berbeda dengan membentuk makna konsep-konsep mereka yang paling dasar. Hal ini harus dilakukan oleh klarifikasi struktur-struktur esensial penting dari pengalaman yang membedakan satu disiplin dari yang lain dan mengatur sifat dari masing-masing konsep disiplin itu.
Seorang ahli matematika dengan pelatihan, kita bisa melihat dalam sesuatu karya Husserl pendekatan untuk pengetahuan tentang geometri Euclidean, peletakan keluar dari aksioma, atas dasar hal-hal yang pada kenyataannya dapat dianggap melalui secara sehat. Dimana ini istirahat analog bawah adalah dalam sifat dari aksioma dasar, yang bukan untuk Husserl, produk dari alasan sederhana tetapi temuan pengawasan dari sifat abstrak dari pengalaman tersebut dan dari mana konsep seperti itu berasal, sehingga mendasar untuk cabang beasiswa.
Yang penting, maka Husserl memiliki kekhawatiran bahwa ilmu yang berbeda dan disiplin ilmiah tidak memiliki metodologi untuk membangun konsep-konsep dasar mereka. Banyak psikolog dengan selera untuk kekakuan konseptual juga memiliki kepedulian picik bahwa konsep-konsep dasar yang kurang kuat dan jika ada pretensi dari yayasan tersebut, mereka tampaknya tetap akan digunakan secara longgar tanpa mata untuk setiap arti mendasar. Husserl memandang hal ini sebagai khas dari semua alam pemikiran ilmiah. Tujuan filsafat aslinya sebagai ilmu yang ketat (yang metodologis ketat dan hasilnya pasti memproduksi) dan itu akan memberikan landasan untuk konsep dari setiap disiplin ilmiah. Jadi akan ada (misalnya) menjadi geografi fenomenologis, efektif menciptakan apa disiplin adalah dengan memperbaiki konsep-konsep utama.
Husserl (1913/1983) berpendapat bahwa, untuk setiap ilmu pengetahuan empiris akan ada disiplin eidetic (Historisisme) , tubuh dasar penelitian fenomenologis yang tidak akan sendiri secara langsung berkaitan dengan dunia nyata tetapi akan memberikan set mapan konsep-konsep yang akan memungkinkan peneliti untuk mempelajari dunia nyata. “ Eidetic “ mengacu pada gagasan bahwa akan konsep-konsep dari “ esensi “ tersebut, murni ide dasar memberikan struktur rasional untuk berpikir tentang realitas. Sama seperti logika tidak secara khusus tentang realitas, namun menyediakan sistem konseptual yang memungkinkan berpikir tentang aspek-aspek realitas untuk melanjutkan, dan hanya sebagai geometri disiplin eidetik memungkinkan teknologi seperti survei tanah untuk mengambil tempat, sehingga akan ada disiplin eidetik untuk wilayah masing-masing usaha manusia.
... Positing dari ... esensi menyiratkan tidak positing sedikit dari setiap keberadaan individu faktual, kebenaran eidetik murni mengandung tidak sedikit pernyataan tentang hal-hal fakta. (Husserl, 1913/1983, 4 hal.11)
Jadi, sama seperti geometri bisa menempatkan “ garis lurus “ sebagai item dalam gudang senjata yang eidetik kebenaran meskipun adalah pertanyaan yang sama sekali apakah hal seperti itu mempunyai manifestasi empiris sehingga esensi disiplin murni lainnya harus dibangun tanpa perhatian yang dibayar untuk masalah ini eksistensi nyata.
Di antara disiplin fenomenologis akan ada psikologi fenomenologis. Bahkan Husserl ditangani secara khusus dengan topik ini dalam ceramah di 1925 (Husserl, 1925/1977). Tapi account dari psikologi fenomenologis akan tidak seperti buku psikologi empiris seperti biasanya dipahami, memberikan hasil penelitian ilmiah. Melainkan akan memeriksa dan fundamental psikologi menemukan nyenyak sehingga bekerja empiris bisa pergi ke depan aman.


Hal Sendiri intensionalitas dan Para Fenomena
Bagaimana pengalaman dari sesuatu untuk diinterogasi ketat? Ini melibatkan mengalihkan perhatian secara eksklusif untuk pengalaman. Kemungkinan mengalihkan perhatian untuk mengalami dan apa yang diberikan dalam pengalaman tergantung pada pemahaman bahwa kesadaran semua adalah kesadaran dari sesuatu. Ini aksioma, yang Husserl dengar dari Brentano (1874/1955), memerlukan karakterisasi umum kesadaran menyadari sesuatu. (Sebuah arti yang berbeda dari intensionalitas dengan yang biasa yang mengacu pada tujuan atau tujuan dari suatu tindakan). Prinsip pertama dari fenomenologi adalah bahwa kesadaran adalah disengaja. Namun Husserl (1913/1983) terdengar peringatan terhadap ini yang risalah pahami sebagai hanya mengulangi dunia “ batin “ dan dikotomi dunia “ luar “. Sebaliknya, perlu dipahami adalah bahwa kedua “ modus kesadaran “ dan “ obyek kesadaran ini “ adalah “ milikku “, mereka berdua di dalam pengalaman pribadi atau kesadaran:
... Kita semua memahami kesadaran ekspresi dari sesuatu ... Ini jauh lebih sulit untuk murni dan benar merebut atas ... keanehan yang sesuai untuk itu ... Tidak ada yang dilakukan dengan mengatakan bahwa objektivitas dan cerdas setiap berhubungan dengan sesuatu objektivikasi, bahwa setiap menilai sesuatu yang berhubungan dengan dinilai, dll .. Karena tanpa memiliki disita pada sendiri aneh sikap transendental dan memiliki benar-benar disesuaikan dasar phenomenlogical murni, seseorang mungkin saja menggunakan kata, fenomenologi tapi tidak memiliki materi itu sendiri ... (Husserl, 1913/1983, 87 p 0,211).
Jadi, “ fenomena ini “ apa yang muncul (objek sengaja) seperti yang dijelaskan dengan caranya muncul, dengan memperhatikan mode sadar (persepsi, misalnya) yang muncul. Kami akan mempertimbangkan kemudian dua “ aspek” dari fenomena seperti yang dijelaskan oleh Husserl (1913/1983), yang noema, obyek kesadaran, dan cara di mana seseorang menyadari itu, noesis.
Kunci pendekatan fenomenologis adalah untuk fokus pada “ penampilan yang muncul “. Dalam menekankan ini, Husserl sedang Kant sadar anti diri. Untuk memperhatikan benda di dalam yang muncul adalah untuk menolak gagasan bahwa ada noumenon tersembunyi berbaring di balik fenomena yang berpengalaman. Tidak, tugas ini adalah untuk menggambarkan apa yang muncul, fenomena yang murni dan sederhana. Sebagai Husserl memberitahu kita:
... Apa yang menentukan terdiri dari deskripsi benar-benar setia dari apa yang sebenarnya hadir dalam kemurnian fenomenologis dan dalam menjaga di kejauhan semua melampaui interpretasi diberikan. (Husserl, 1913/1983, 90 hal 218).
Sekarang, deskripsi kesadaran seseorang tentang fenomena ini dianggap oleh Husserl sebagai pasti. Jadi, misalnya, keyakinan keagamaan meskipun pasti masalah sengketa besar untuk hubungannya dengan realitas dan nilai di dalam masyarakat saat ini, adalah tetap describable dalam muncul nya. Itu harus mungkin karena itu, menurut Husserl bagi siapa saja untuk datang ke sebuah pernyataan tentang apa iman.
Tidak ada teori dibayangkan bisa membuat kita keliru sehubungan dengan prinsip semua prinsip bahwa setiap intuisi asal presentive merupakan sumber legitimasi dari cogniton, bahwa segala sesuatu awalnya (sehingga untuk berbicara, di personal yang sebenarnya) ditawarkan kepada kita dalam intuisi yang akan diterima hanya seperti apa yang disajikan kepada kita sebagai mahluk, tapi juga hanya dalam batas-batas dari apa yang disajikan di sana. (Husserl, 1913/1983, 24 hal 44).
Keutamaan Nyata Dan Epoche
Ini bukanlah tugas yang berarti untuk melakukan deskripsi fenomenologis tentang apa yang muncul hanya dalam munculnya. Kita telah secara implisit menerima bahwa “ fenomena ini ” bukan masalah realitas. Dalam mengalihkan perhatian ke kesadaran yang disengaja, kita telah menyisihkan perhatian dengan apakah objek kesadaran adalah bagian dari beberapa “realitas luar”. Husserl mencatat bahwa ini berbatasan dengan kehidupan biasa, di mana kita mengambil begitu saja bahwa kegiatan kami dan kehidupan sosial yang terikat dengan mereka mengacu pada dunia nyata. Tetapi dalam pekerjaan fenomenologis ini asumsi (“sikap alami” ) harus disisihkan. Karena Epoche merupakan kumpulan keyakinan dari beberapa objek pengalaman yang bersikap netral.
Para positing terlibat dalam sikap alami mengalami modifikasi: sementara itu sendiri tetap apa itu, kita begitu untuk berbicara, menempatkan itu dari tindakan yang kita exluce, kita mengurungkan itu. Hal ini masih ada, seperti kurung dalam kurung ... (Husserl, 1913/1983, 31 hal 59).
Langkah metodologis yang sedang dijelaskan oleh Husserl di sini adalah “ menghentikan halaman “ atau “ bracketing “ epoche yang tidak menyangkal atau menegaskan realitas phenomenom, tetapi menempatkan itu dari bermain untuk tujuan deskriptif (Ashworth, 1996). Tentu saja, ini juga diperhatikan bahwa mungkin bagian penting dari makna yang sangat dari sebuah fenomena tertentu untuk itu harus dipahami untuk berhubungan dengan realitas (persepsi dan benda-benda yang seperti ini), dalam kasus seperti hubungan dengan realitas adalah bagian dari deskripsi muncul, itu bukan pengandaian pra tetapi ditemukan dalam fenomena itu sendiri.
Jika asumsi realitas harus diberi tanda kurung, teori tentang fenomena harus juga dikenakan epoche tersebut.
Seluruh dunia menemukan pra mengemukakan dalam sikap alami, benar-benar ditemukan dalam pengalaman dan diambil dengan kebebasan yang sempurna dari teori-teori seperti itu sebenarnya dialami, karena jelas menunjukkan dirinya dalam concatenations pengalaman, sekarang tanpa validitas bagi kita, tanpa diuji dan juga tanpa diperebutkan, itu akan kurung. Dengan cara seperti semua teori dan ilmu yang berhubungan dengan dunia ini, tidak peduli seberapa baik mereka dapat didasarkan positiviscally atau sebaliknya, harus memenuhi nasib yang sama. (Husserl, 1913/1983, 32 hal 62).
Para epoche adalah konsep metodologis pusat fenomenologi Husserl, lalu. Satu-satunya tujuan adalah untuk membawa perhatian kami sepenuhnya untuk bermain pada hal itu sendiri seperti yang diberikan dalam kesadaran, dicukur setiap pengandaian pra “ surplus “. Hal ini menuntut suatu menyisihkan isu-isu seperti:
Pertanyaan apakah hal yang dialami itu nyata atau tidak. (Hal ini tidak dianggap tidak nyata, atau nyata tapi masalah ini disisihkan dalam rangka untuk menghadiri dengan pengalaman itu sendiri). Apapun sebelumnya opini atau teori ilmiah mengharapkan. (Jadi pendekatan hypotheticodeductive tidak digunakan, bukan upaya dibuat untuk eksplorasi seakan ab initio).
Pribadi asumsi tentang pengalaman (misalnya, moralitas rasionalitasnya, koherensinya, kategorisasi akal nya). Perhatian ditujukan pengalaman bagi yang mengalaminya sebagai cara objektif mungkin.
Husserl membuat klaim yang sangat kuat untuk epoche, yang seperti akan kita lihat kritik eksistensialis rekannya menemukan sulit menerima:
Kita bisa ... yakin akan legitimasi norma yang kita sebagai fenomenologis, berniat untuk mengikuti: Untuk memanfaatkan diri dari apa-apa kecuali apa yang kita bisa membuat dasarnya terlihat dengan mengamati kesadaran itu sendiri, dalam imanensi murni. (Husserl, 1913/1983, 59 hal 136).
Berpikir Fenomenologis
Temuan eksistensial tentang proses mental, sehingga tidak perlu membuat 'pengalaman "dan pengamatan" . . . akal di mana ilmu hal-hal fakta harus mendukung dirinya sendiri oleh mereka, itu tetap membuat temuan eidetik ... [Yang] berutang .. . untuk refleksi, lebih tepatnya intuisi reflectional dari esensi. Akibatnya keraguan skeptis sehubungan dengan pengamatan-diri juga datang ke dalam tampilan untuk fenomenologi, yang datang ke dalam tampilan untuk fenomenologi, lebih khusus, sejauh meragukan hal ini memungkinkan menjadi diperpanjang ... dari refleksi tentang sesuatu yang imanen untuk refleksi diambil universal. (Husserl, 1913/1983, § 79 hal 184)
Para Noesis Dan Noema - sebuah model kesadaran dan objek yang dimaksud
Telah dicatat sebelumnya bahwa Husserl berada di sakit untuk menekankan intensionalitas yang tidak berarti, baginya, bahwa kesadaran (sebagai kekuatan "batin") itu selalu terkait kesadaran ke "luar", benda nyata. Sebaliknya, intensionalitas kesadaran terkait dengan objek "imanen", sebuah objek kesadaran, yang mungkin atau tidak mungkin memiliki beberapa jenis realitas di luar mental "kehadiran", dalam ide-ide saya dan ide II, pendiri fenomenologi dibuat khusus memastikan bahwa interpretasi dalam/luar akan dikesampingkan pengadilan dengan menamai tindakan mental yang merupakan fenomena noesis, dan obyek yang disengaja noema tersebut.
Kami telah menganugerahkan hati-hati seperti bekerja keluar universal perbedaan antara noesis Dan noema karena pada merebut dan menguasai itu adalah pentingnya terbesar bagi fenomenologi, dan memang menentukan untuk landasan yang sah fenomenologi. Sepintas tampaknya akan menjadi sesuatu yang jelas: Setiap kesadaran adalah kesadaran tentang sesuatu, dan mode kesadaran yang sangat beragam. Pada mendekati lebih dekat, bagaimanapun, kita menjadi masuk akal dari kesulitan besar yang terlibat. Mereka keprihatinan pemahaman kita tentang cara berada dari noema, cara di mana ia "implisit" dalam proses mental, di mana ia "dimaksudkan untuk" dalam proses mental. Cukup terutama mereka keprihatinan pemisahan bersih dari hal-hal yang, sebagai komponen yang benar-benar melekat, termasuk proses mental itu sendiri dan orang-orang yang termasuk ke noema tersebut. (Husserl, 1913/1983, hlm 96 233, 234)
Kita melihat dalam paragraf ini, juga, dilema yang mulai dari permukaan. Sedangkan "tindakan" (memahami, menilai, dan sebagainya) bisa dianggap sebagai pasti penting untuk fenomena "melekat" untuk muncul dalam kesadaran, noema itu lebih problematis. Karena noema tersebut tidak melekat, mandiri, memeiliki karakteristik tersendiri dari eidos mereka tidak sebagai bagian seperti esensi dari fenomena tersebut. Tapi catatan kaki menunjukkan bahwa Husserl tidak yakin tentang karakterisasi noema sebagai dikecualikan dari fenomena tersebut.
Para Eidos titik noema ke Eidos kesadaran rohani, keduanya saling eidetically. Para intentive sebagai intentive adalah sebagai intentiveness yang milik terstruktur sehingga kesadaran dan begitu, kesadaran yang adalah kesadaran dari itu.
Meskipun demikian kecukupan non-diri noema memungkinkan karena dianggap dengan sendirinya, dibandingkan dengan noemas lain, menjelajahi sehubungan dengan transformasi yang mungkin, dll (Husserl, 19 13 / 1983, § 98, hal 241)
Ada "masalah" dari noema multiplisitas dan kesulitan mengatasi dengan spesifikasi eidetik. Husserl menganggap tindakan mental yang noesis merupakan fenomena sebagai lebih menarik dan lebih produktif untuk tujuan filosofisnya. Menilai, maka, lebih fokus baginya daripada yang terbatas set penilaian.
. . . Deskripsi eidetic kesadaran mengarah kembali ke apa yang dimaksudkan untuk di dalamnya, bahwa berkorelasi kesadaran tidak terlepas dari kesadaran, namun tidak benar-benar melekat di dalamnya. Noematic menjadi dibedakan sebagai milik objektivitas kesadaran dan belum spesifik aneh. (Husserl, saya 913/1983, 128, hal 307)
Dalam fenomenologi akhirnya harus menggambarkan kedua "kutub" dari korelasi disengaja antara noema dan noesis:
. . . Sebuah fenomenologi sistematis tidak diperbolehkan untuk mengarahkan tujuannya secara sepihak pada apa yang sebenarnya melekat dalam proses mental dan khusus dari proses mental intentive. (Husserl, 19 13 / 1983, 128 hal 308.)

B. Alfred Schutz
1. Sekilas tentang Alfred Schutz
Alfred Schutz lahir di Wina pada tahun 1899 dan meninggal di New York pada tahun 1959. Ia menyukai musik, pernah bekerja di bank mulai berkenalan dengan ilmu hukum dan sosial. Ia mengikuti pendidikan akademik di Universitas Vienna, Austria dengan mengambil bidang ilmu-ilmu hukum dan sosial. Gurunya yang sangat terkenal adalah Hans Kelsen (ahli hukum), Ludwig Von Mises (ekonom), dan Friedrich Von Wieser dan Othmar Spann (keduanya ahli sosiologi).
Pendidikan formal ini dijalankan Schutz setelah ia mengikuti Perang Dunia I. Selama kuliah ia menjadi sangat tertarik pada karya-karya Max Weber dan Edmund Husserl. Setelah lulus ilmu hukum, dia malah bekerja di bidang perbankan untuk jangka waktu yang sangat lama. Meskipun penghasilannya sangat besar tetapi dia merasa perbankan bukanlah tempat yang cocok baginya untuk mengaktualisasikan diri.
Schutz akhirnya banting setir yang mulai mempelajari sosiologi khususnya fenomenologi yang dianggap memberi makna dalam pekerjaan dan hidup. Di tahun 1920-an meskipun bukan seorang Dosen, tetapi hampir seluruh temannya adalah dosen perguruan tinggi sehingga dia mulai terjun ke dunia akademik. Dia mulai mengajar dengan bantuan temannya dan bahkan memberikan kuliah di Perguruan Tinggi serta dapat berpartisipasi dalam diskusi dan seminar ilmiah. Setelah menerbitkan Der Sinnhafte Aufbau der sozialen welt, Schutz akhirnya berkenalan secara pribadi dengan Edmund Husserl yang menawarinya menjadi asisten tetapi Schutz menolaknya.
Dalam teori Schutz sangat kental pengaruh Weberian-nya khususnya karya-karya mengenai tindakan (action) dan tipe ideal (ideal type). Meskipun Schutz terkagum-kagum pada Weber tetapi ia beusaha mengatasi kelemahan yang ada di dalam karya Weber dengan menyatukan ide filsuf besar Edmund Husserl dan Henri Bergson.
Schutz sangat ingin mendirikan Sekolah Tinggi Ekonomi Austria dengan menggunakan paradigma theory of action yang bersifat subyektif tapi ilmiah. Keinginannya ini mempengaruhi dirinya menerbitkan buku yang sangat berharga di bidang sosiologi yang berjudul The Phenomenology of the social world yang diterbitkan tahun 1932 dalam bahasa Jerman. Buku ini baru diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris tahun 1967, sehingga karya Schutz baru mendapat perhatian serius dan penghargaan dari Amerika Serikat tiga puluh tahun sejak diterbitkan.
Dalam karir akademiknya tercatat di tahun 1943, Schutz mengajar di The New York School of Research yang sebelumnya bernama Alvin Johnson’s University. Meski siang hari dia menjadi bankir namun di malam hari dirinya mengabdikan diri untuk dunia pendidikan. Tapi tidak sampai tahun 1956 dia berhenti menjadi konsultan perbankan dan berkonsentrasi menjadi dosen di News School for Research.
Selain mengajar Schutz juga aktif menerbitkan tulisan-tulisan di jurnal penelitian Philosophy and Phenomenological Research. Schutz menjadi staf redaksi jurnal itu di tahun 1941. Di tahun 1952, Dia dinobatkan sebagai Guru Besar di News York School for Research dan mengajar di sana sampai dia meninggal di tahun 1959.
Meski Schutz telah tiada tetapi koleksi karya-karyanya diterbitkan dalam tiga jilid di tahun 1962, 1964 dan 1966. Bahkan Thomas Luckman seorang guru besar di Universitas Frankfurt mengumpulkan catatan dan tulisan Schutz dan membuatnya menjadi buku Die Strukturen der Lebenswelt yang dialibahasakan ke dalam bahasa Inggris di tahun 1970 dengan judul Reflection on the problem of relevance.

2. Kerangka Pemikiran Alfred Schultz
Pemikiran Alfred Schutz tentang fenomenonologi dipengaruhi oleh dua tokoh yaitu Edmun Husserl dan max weber dengan tindakan sosial, pemikiran dua tokoh ini sangat kental dalam teori Alfred Schutz tentang pengetahuan dan pengalaman intersubjektif dalam kehidupan sehari-hari yang melacak karakteristik kesadaran manusia yang sangat fundamental, dengan memperlihatkan korelasi antara fenomenologi Transendental (Edmund Husserl) dan verstehende soziologia (Max Weber). Karena Schutz memandang bahwa keseharian sosial sebagai sesuatu yang intersubjektif.
Bertolak pada pemikiran Max Weber tentang tindakan sosial bahwa tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakannya itu dan manusia lain memahami pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti. Pemahaman secara subjektif terhadap suatu tindakan sangat menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial. Baik bagi aktor yang memberikan arti terhadap tindakannya sendiri maupun bagi pihak lain yang akan menerjemahkan dan memahaminya serta yang akan bereaksi atau bertindak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh aktor.
Selanjutnya Schutz mengkhususkan perhatiannya kepada bentuk subjektivitas yang disebut intersubjektivitas. Konsep ini menunjukkan kepada dimensi kesadaran umum dan kesadaran khusus kelompok sosial yang sedang saling berintegrasi. Intersubjektivitas yang memungkinkan pergaulan sosial itu terjadi, tergantung kepada pengetahuan tentang peranan masing-masing yang diperoleh melalui pengalaman yang bersifat pribadi. Konsep intersubjektivitas ini mengacu kepada suatu kenyataan bahwa kelompok-kelompok sosial saling menginterprestasikan tindakannya masing-masing dan pengalaman mereka juga diperoleh melalui cara yang sama seperti yang dialami dalam interaksi secara individual. Faktor saling memahami satu sama lain baik antar individu maupun antar kelompok ini diperlukan untuk terciptanya kerja sama di hampir semua organisasi sosial.
Dalam teori fenomenologi Alfred Schutz ada dua yang hal yang perlu diperhatikan yaitu :
a. Aspek Pengetahuan dan Tindakan
Esensi dari pengetahuan dalam kehidupan sosial menurut Alfred Schutz adalah Akal untuk menjadi sebuah alat kontrol dari kesadaran manusia dalam kehidupan kesehariannya. Karena akal merupakan sesuatu sensorik yang murni dengan melibatkan imajinasi dan konsep-konsep . penglihatan, pendengaran, perabaan dan sejenisnya yang selalu dijembatani dan disertai dengan pemikiran dan aktivitas kesadaran. Demikian pula akal sehat dalam keseharian dan ilmu. Sehingga Alfred Schutz menganggap bahwa apa yang kita lihat adalah bukanlah sesuatu yang sangat konkret dan aktual karena akal selalu melibatkan abstraksi yang sangat kompleks karena yang tampak itu hanyalah bagian luarnya. Sehingga semua pengetahuan itu harus dijembatani dengan oleh konstruksi intelektual yang melibatkan generalisasi, idealisasi, dan abstraksi.
Jadi, fakta yang selama ini yang kita gambarkan merupakan sesuatu yang mampu berbicara untuk dirinya sendiri. Hal tidak akan pernah terjadi karena fakta tersebut merupakan sebuah hasil dari seleksi dan penafsiran. Fakta tersebut selalu membawa makna, dengan demikian jelas bahwa-bahwa fakta itu selalu membawa makna dengan demikian jelas bahwa fakta-fakta itu merupakan sesuatu yang dipilih, ditafsirkan, dan diabstraksikan pengetahuan kita sangat bersifat perspektif oleh karenanya kita hanya menangkap aspek-aspek realitas tertentu saja bukan seluruh realita yang konkret. Epistemologi semacam ini berlaku untuk semua pengetahuan manusia.
Unsur-unsur pengetahuan yang terkandung dalam fenomenologi Alfred Schutz adalah dunia keseharian, sosialitas dan makna. Dunia keseharian adalah merupakan hal yang paling fondasional dalam kehidupan manusia karena harilah yang mengukir setiap kehidupan manusia. Konsep tentang sebuah tatanan adalah merupakan sebuah orde yang paling pertama dan orde ini sangat berperan penting dalam membentuk orde-orde selanjutnya. Kehidupan sehari-hari menampilkan diri sebagi kenyataan yang ditafsirkan oleh manusia dan mempunyai makna subjektif bagi mereka sebagai satu dunia yang koheren (Berger&Luckamn, 1990: 28).
Sosialitas mengacu pada teori Max Weber mengenai tindakan sosial (social action, soziales handeln). Tindakan sosial yang terjadi setiap hari adalah proses dimana terbentuk berbagai makna (Cambell, 1990 : 89). Ada dua fase pembentukan tindakan sosial. Pertama kali tindakan yang diorientasikan pada benda fisik sehingga belum menjadi tindakan sosial (because Motive), Because motive (motif sebab) merujuk pada masa yang lalu (past World) dengan kata lain rentetan pengalaman dimasa lalu akan menjadi sebuah motivasi untuk tindakan-tindakannya, motif sebab setelah tindakan itu mengorientasikan pada orang dan mendapatkan makna subjektif pada saat itulah terbentuk tindakan social (in order to motive). In order to motif (tujuan yang ingin dicapai) merujuk pada sebuah keadaan pada masa yang akan datang di mana aktor berkeinginan untuk mencapai tindakannyya melalui beberapa tindakannya.
Makna dan pembentukan makna merupakan sumbangan Schutz yang penting dan orisinal kepada gagasan fenomenologi tentang makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial. Kalau orde dasar bagi masyarakat adalah dunia sehari-hari maka makna dasar bagi pengertian manusia adalah common sense, yang terbentuk dalam bahasa percakapan sehari-hari. Common sense didefinisikan sebagai pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan ini sebagian besar tidak berasal dari penemuan sendiri, tetapi diturunkan secara sosial dari orang-orang sebelumnya. Bahasa ibu misalnya adalah sebuah khasanah pengetahuan pertama bagi setiap orang yang telah dipelajari dan diterimanya begitu saja, tanpa orang mengetes kebenarannya secara sadar.
Common sense terbentuk melalui tipifikasi yaitu penyusunan dan pembentukan tipe-tipe pengertian dan tingkah laku untuk memudahkan pengertian dan tindakan. Tipifikasi ini tidak hanya menyangkut pandangan dan tingkah laku, tetapi menyangkut juga pembentukan makna. Dalam tipikasi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan intersubjektivitas Alfred Schutz yaitu :
o Tipifikasi pengelaman (semua bentuk yang dapat dikenali dan diidentifikasi, bahkan berbagai obyek yang ada di luar dunia nyata, keberadaannya didasarkan pada pengetahuan yang bersifat umum).
o Tipifikasi benda-benda (merupakan sesuatu yang kita tangkap sebagai ‘sesuatu yang mewakili sesuatu’.
o Tipifikasi dalam kehidupan sosial (yang dimaksudkan sosiolog sebagai System, role status, role expectation, dan institutionalization itu dialami atau melekat pada diri individu dalam kehidupan sosial).
Hal ini terjadi karena orang-orang yang terlibat dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun semacam sistem relevansi bersama, dengan melepaskan dari tiap individu atau tiap peristiwa hal-hal yang bersifat individual untuk merujuk satu atau beberapa ciri yang sama yang dianggap relevan. Penggolongan makna ke dalam berbagai tipe kemudian menghasilkan apa yang oleh Schutz dinamakan daerah makna yang terbatas (the finite province of meaning).
Suatu daerah makna berbeda dengan daerah makna yang lain karena masing-masing memiliki gaya kognitif (cognitive style) yang berbeda dengan memberi tekanan yang berbeda kepada kenyataan (the accent of reality). Tekanan khusus kepada realitas yang terjadi dalam tiap daerah makna hanya dapat terjadi kalau di sana juga terjadi ephoce, yaitu menghilangkan keragu-raguan mengenai segi-segi tertentu dari kenyataan itu, sekurang-kurangnya buat sementara waktu.
b. Realitas Ganda
Dalam hal ini Alfred Schultz memodifikasi dasar-dasar pengertian Williams James “tentang bagian alam semesta” James menyatakan bahwa sesuatu yang mendorong atau merangsang ketertarikan kita akan memberikan sebuah kesan sebagai sesuatu yang nyata, dan kesan kita selalu berada bersama kita selama hal tersebut tidak bertentangan. Kita mengalami berbagai jenis realita atau bagian alam semesta dari dunia fisik yang paling penting, dunia ilmu, hubungan ideal, dunia keyakinan suat suku, dunia supra natural, dunia opini individu, sampai pada dunia kegilaan dan dunia khayalan.
Ketertarikan manusia dalam dunia kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang sangat praktis sifatnya dan tidak bersifat teoritis. Dalam “Sikap Alami Mereka”, diatur oleh motif pragmatis yakni mereka berupaya mengontrol, menguasai atau mengubah dunia dalam rangka menerapkan proyek-proyek dan tujuan-tujuan mereka. Schultz menyebut kehidupan sehari-hari yang praktis sebagai “dunia kerja” realitas puncak. Kehidupan sehari-hari manusia merupakan sebuah lahan yang harus digarap setiap hari untuk mencapai sebuah tujuan hidup untuk mencapai tujuan ini aktor harus mampu mengolah segala hambatan dari luar maupun dari dalam sesuai dengan rencana sang aktor.
Dalam realitas puncak terdapat harapan-harapan, ketakutan, dan keinginan-keinginan kita mendesak untuk bertindak, merencanakan, mengatasi hambatan-hambatan dan mewujudkan proyek-proyek kita. Tapi yang paling mendasar dalam kehidupan manusia adalah pengetahuan dan ketakutan kita akan Kematian. Ketakutan manusia terhadap Kematian adalah manusia selalu cemas terhadap harapan-harapan yang dia belum capai sebelum meninggal menurut Schultz adalah hal merupakan kecemasan yang fundamental. Kecemasan merupakan elemen yang asasi yang berasal dari pengalaman sosial di dalam dunia kerja atau realitas puncak.
Realitas puncak ini merupakan dunia puncak dari suatu makna, tetapi masih banyak area “makna khusus lainnya. Kalimat, area makna khusus merupakan suat cara untuk menerangkan arus kehidupan sehari-hari manusia dalam berbagai ragam pengalaman yang bermakna dan merupakan arus komunikasi kesadarannya. Dengan realitas puncak masih dapat mengubaah dunia khayalannya, manusia meninggalkan kehendaknya untuk menguasai dunia dan motif-motif pragmatisnya. Dia menjadi pribadi yang penghayal yang bermain dalam berbagai perandan proyek dirinya ke dalam dunia yang dipilihnya sendiri. Kata Schultz, dia memilih kebebasan yang tak bertanggung jawab, yakni kebebasan khusus yang tidak ada dalam realitas puncak dan merupakan dunia yang impian.
Sehingga ada sebuah dunia teori ilmiah, di mana Schultz secara mendefinisikan sebagai sebuah aktivitas bertujuan untuk menaklukkannya. Motivasi praktis demi penaklukan, jelas bukan merupakan elemen proses teoritisasi ilmiah itu sendiri. Kita telah mengetahui bahawa area makna secara khusus bukanlah sebagai suatu hal yang terpisah dengan pembatasan-pembatasan yang ada. Area makna secara khusus itu hanya itu hanya sekedar nama yang dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan yang disadari maupun tidak. Pada puncak seluruh pengalaman tersebut dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk bahasa dan tindakan.
c. Perspektif Timbal balik
Ketika Schultz membahas tentang dunia mikro dari suat interaksi tatap muka, Maka dia juga menggunakan suat istilah seperti “dunia yang ada dalam jangkauan aktual saya” dan “dunia dalam area manipulasi saya”. Dunia mikro yaitu suat area yang ada dalam jangkauan saya sehingga di sini milik saya tidaklah sama dengan dunia yang hadir ke dalam jangkauan saya; sehingga di sini milik anda dan di sana adalah milik saya. Dunia kita adalah dunia yang saing tumpang-tindih sehingga beberapa hal dan beberapa kejadian dapat berada dalam area yang memanipulasi kita. Beberapa objek dan kejadian tampak berbeda dengan tergantung atas titik hubungan kita terhadap tujuan mereka, jarak perspektif, pemahaman ide dan lain sebagainya. Akal sehat, yakni suatu sikap yang kita bagi secara tukar menukar tempat dan jika kita telah mampu melakukan semacam itu masing-masing kita akan melihat dunia yang akan berbeda dengan yang sebelumnya.

C. Peter L Berger
1. Biografi singkat berger
Peter.L.Berger dilahirkan di Vienna, Austria pada tahun 1929. Berger terlahir sebagai anak seorang pebisnis. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya sampai tingkat menengah, Berger bermigrasi ke Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, Berger kemudian melanjutkan pendidikannya di Wagner memorial Lutheran College, dengan spesialisasi pada studi filsafat. Setelah lulus dari Lutheran College, Berger melanjutkan studinya di The New School for Social Research dimana dia banyak belajar pada pemikir besar seperti: Alfred Schutz, Carl Mayer dan juga A. Solomon. Di The New School for Social Research ini pula Berger bertemu dengan temannya yaitu Thomas Luckman, dimana nantinya mereka menulis bersama sebuah buku berjudul “The Social Construction of Reality” yang terbit pada tahun 1966. Berger mendapatkan gelar Phd-nya pada tahun 1954 dengan disertasi “A Sociology of The Bahai Movement”. Setelah menyelesaikan disertasinya, Berger sempat bekerja untuk militer Amerika Serikat sebagai penerjemah dan pekerja sosial di klinik psikiatri selama dua (2) tahun dan juga selama satu (1) tahun di The Evangelical Academy di Bad Boll, Jerman. Setelah menjadi pekerja sosial, Berger sempat bekerja di The University of Georgia dan juga The Women’s College of The University of North Carolina hingga akhirnya pindah ke The Hartford Seminary Foundation sebagai Profesor di bidang etika sosial pada tahun 1958 hingga tahun 1963. Di Hartford, Berger mulai mempublikasikan karyanya diantaranya: The Precarius Vision (1961) dan The Noise of Solemn Assemblies (1961)
Dalam perjalanan karirnya, Berger kemudian berpindah lagi ke The New School of Social Research pada tahun 1963 sampai tahun 1970. Di New school ini Berger menulis buku yang membuatnya mendapat reputasi secara internasional. Pada tahun 1963, buku Berger yang berjudul “Invitation to Sociology” diterbitkan, buku tersebut membahas tentang masalah intrinsik dalam sosiologi dan juga sekaligus undangan untuk menggeluti ilmu bernama sosiologi tersebut. Salah satu chapter di buku tersebut yaitu man in society dan society in man kemudian dikembangkan menjadi sebuah buku yang ditulisnya bersama Thomas Luckman berjudul “The Social Construction of Reality: A Treatise in Sociology of Knowledge” diterbitkan pada tahun 1966. Buku ini merupakan rekonstruksi terhadap bidang studi sosiologi ilmu pengetahuan dari studi mengenai kaum intelektual (Sebagaimana dicetuskan oleh Karl Manheim) menjadi studi mengenai konstruksi sosial atas kenyataan,.buku ini sekaligus membuat nama Berger mendapat reputasi secara internasional. Konsep mengenai konstruksi sosial atas kenyataan ini kemudian diterapkan Berger dalam bidang agama sehingga menghasilkan buku berjudul “The Sacred Canopy” pada tahun 1967. Pada tahun 1970, Berger bekerjasama dengan R.J. Neuhaus dan menerbitkan buku berjudul “Movement and Revolution” dimana di buku ini Berger mengungkapkan orientasi politiknya sebagai humanis konservatif.
Hingga akhir tahun 1960-an, Berger belum menunjukkan minatnya di bidang politik dan pembangunan di dunia ketiga, namun pengalamannya sebagai konsultan pada panitia pengarah dalam organisasi “Clergy and Laymen Concerned about Vietnam” membuatnya mulai tertarik pada bidang politik dan pembangunan di dunia ketiga. Untuk mengikuti minat barunya tersebut Berger banyak melakukan perjalanan ke daerah Karibia, Venezuela dan Meksiko pada tahun 1969. Pada tahun yang sama, Ivan Illich mengundang Berger untuk mengajar pada Centro Intercultural de Doccumentacion di Cuernavaca. Pengalamannya di think tank Ivan illich membuatnya menyadari adanya pertalian antara minat barunya mengenai politik dengan kegiatan ilmiah dia sebelumnya yaitu sosiologi ilmu pengetahuan. Sejak saat itu masalah-masalah politik dan pembangunan dunia ketiga menjadi minatnya sebagai ahli sosiologi. Di saat yang bersamaan, Berger meninggalkan New School dan berpindah ke Rutgers University. Perubahan minatnya membuat Berger menulis buku “ The Homeless Mind” yang terbit tahun 1973 mengenai kesadaran modern, di buku ini Berger menggunakan alat analisa dari sosiologi ilmu pengetahuan serta pada tahun 1974 juga diterbitkan buku berjudul “Pyramids of Sacrifice” mengenai perlunya memasukkan kriteria moral yaitu biaya-biaya manusiawi dalam kebijakan pembangunan. Di tahun 1972 bersama Briggite Berger, menulis buku “ Sociology A Biographical Approach” yang menjadi text book acuan untuk mahasiswa sosiologi tingkat awal.
Pada tahun 1979, Berger meninggalkan Rutgers University dan berpindah ke University of Boston sebagai professor. Di Boston, Berger mengembangkan minat yang baru serta tetap menulis buku berdasarkan minatnya yang lama. Diantara buku yang dihasilkannya adalah: “The Heretical Imperative” (1979), “To Empower People. The Role of Mediating Structures in Public Policy” (1977) bersama R.J.Neuhaus dan juga bersama Hanfried Kellner menulis buku mengenai metode sosiologi berjudul “ Sociology Reintepreted” (1981) Pada pertengahan tahun 1970-an, Berger untuk pertama kalinya mengunjungi Asia dari Jepang sampai semenanjung Malaya. Kunjungannya ke Asia, khususnya Asia timur ini merupakan titik balik dari pendirian Berger mengenai model-model pembangunan di dunia ketiga. Sebelumnya Berger tidak memihak antara model sosialis maupun kapitalis, namun kunjungan ke Asia Timur membuat Berger berubah pendiriannya menjadi ke kanan, dalam arti menjadi pro terhadap kapitalis dengan alasan secara moral, kapitalis merupakan taruhan yang lebih aman. Perubahan pendiriannya ini dituliskannya dalam bukunya yang berjudul “ The Capitalist Revolution” yang terbit pada tahun 1986 serta mengedit buku yang berjudul “Capitalism and Equality in the Third World” yang terbit pada tahun 1987.
Di University of Boston, Berger menjadi ketua di Institute for the Study of Economic Culture. Dimana institut tersebut mengkhususkan minatnya pada kaitan antara kebudayaan dengan ekonomi. Hingga sekarang Berger masih aktif menulis dan mengedit buku diantaranya adalah “ The Desecularization of the World. Resurgent Religion and World Politics” (1999), “Redeeming laughter” (2002) keduanya mengenai agama, serta mengedit buku mengenai globalisasi berjudul “ Many Globalizations.Cultural Diversity in the Contemporary World” yang terbit pada tahun 2002.

2. Kerangka Pemikiran Berger
Berger dan Luckman mengatakan institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara obyektif, namun pada kenyataan semuanya dibangun dalam definisi subjektif melalui proses interaksi. Objektivitas baru bisa terjadi melalui penegasan berulang-ulang yang diberikan oleh orang lain yang memiliki definisi subyektif yang sama. Pada tingkat generalitas yang paling tinggi, manusia menciptakan dunia dalam makna simbolis yang universal, yaitu pandangan hidupnya yang menyeluruh, yang memberi legitimasi dan mengatur bentuk-bentuk sosial serta memberi makna pada berbagai bidang kehidupannya.
Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori Berger & Luckman berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yang menjadi entry concept, yakni subjective reality, symbolic reality dan objective reality. Selain itu juga berlangsung dalam suatu proses dengan tiga momen simultan, eksternalisasi, objektivikasi dan internalisasi.
a. Objective reality, merupakan suatu kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan ) serta rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu secara umum sebagai fakta.
b. Symblolic reality, merupakan semua ekspresi simbolik dari apa yang dihayati sebagai “objective reality” misalnya teks produk industri media, seperti berita di media cetak atau elektronika, begitu pun yang ada di film-film.
c. Subjective reality, merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Realitas subjektif yang dimiliki masing-masing individu merupakan basis untuk melibatkan diri dalam proses eksternalisasi, atau proses interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial. Melalui proses eksternalisasi itulah individu secara kolektif berpotensi melakukan objectivikasi, memunculkan sebuah konstruksi objektive reality yang baru.
Melalui sentuhan Hegel yakni tesis-antitesis-sintesis, Berger menemukan konsep untuk menghubungkan antara yang subjektif dan objektif melalui konsep dialektika, yang dikenal dengan eksternalisasi-objektivasi-internalisasi.
1. Eksternalisasi ialah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. “Society is a human product”.
2. Objektivasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami institusionalisasi. “Society is an objective reality”.
3. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. “Man is a social product” .
Jika teori-teori sosial tidak menganggap penting atau tidak memperhatikan hubungan timbal balik (interplay) atau dialektika antara ketiga momen ini menyebabkan adanya kemandegan teoritis. Dialektika berjalan simultan, artinya ada proses menarik keluar (eksternalisasi) sehingga seakan-akan hal itu berada di luar (objektif) dan kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi) sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan berada dalam diri atau kenyataan subyektif.
Konstruksi sosialnya mengandung dimensi objektif dan subyektif. Ada dua hal yang menonjol melihat realitas peran media dalam dimensi objektif yakni pelembagaan dan legitimasi.
a. Pelembagaan dalam perspektif Berger terjadi mulanya ketika semua kegiatan manusia mengalami proses pembiasaan (habitualisasi). Artinya tiap tindakan yang sering diulangi pada akhirnya akan menjadi suatu pola yang kemudian bisa direproduksi, dan dipahami oleh pelakunya sebagai pola yang dimaksudkan itu. Pelembagaan terjadi apabila suatu tipikasi yang timbal-balik dari tindakan-tindakan yang sudah terbiasa bagi berbagai tipe pelaku. Dengan kata lain, tiap tipikasi seperti itu merupakan suatu lembaga.
b. Sementara legitimasi menghasilkan makna-makna baru yang berfungsi untuk mengintegrasikan makna-makna yang sudah diberikan kepada proses-proses kelembagaan yang berlainan. Fungsi legitimasi adalah untuk membuat obyektivasi yang sudah dilembagakan menjadi tersedia secara obyektif dan masuk akal secara subyektif. Hal ini mengacu kepada dua tingkat, pertama keseluruhan tatanan kelembagaan harus bisa dimengerti secara bersamaan oleh para pesertanya dalam proses-proses kelembagaan yang berbeda. Kedua keseluruhan individu (termasuk di dalam media ), yang secara berturut-turut melalui berbagai tatanan dalam tatanan kelembagaan harus diberi makna subyektif. Masalah legitimasi tidak perlu dalam tahap pelembagaan yang pertama, dimana lembaga itu sekedar fakta yang tidak memerlukan dukungan lebih lanjut . Tapi menjadi tak terelakan apabila berbagai obyektivasi tatanan kelembagaan akan dialihkan kepada generasi baru. Di sini legitimasi tidak hanya sekedar soal “nilai-nilai” ia juga selalu mengimplikasikan “pengetahuan”
Kalau pelembagaan dan legitimasi merupakan dimensi obyektif dari realitas, maka internalisasi merupakan dimensi subyektinya. Analisis Berger menyatakan, bahwa individu dilahirkan dengan suatu pradisposisi ke arah sosialitas dan ia menjadi anggota masyarakat. Titik awal dari proses ini adalah internalisasi, yaitu suatu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari peristiwa objektif sebagai suatu pengungkapan makna. Kesadaran diri individu selama internalisasi menandai berlangsungnya proses sosialisasi.
Gagasan konstuksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, (1978) yang terkenal dengan gagasan-gagasan deconstruction. Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara kepentingan (interest) dan metode penafsiran ( interpretation) atas realitas sosial. Dalam dekonstruksi, kepentingan tertentu selalu mengarahkan kepada pemilihan metode penafsiran.Derrida (1978) kemudian menjelaskan,bahwa interpretasi yang digunakan individu terhadap analisis sosial yang bersifat sewenang-wenang..
Gagasan-gagasan Derrida itu sejalan dengan gagasan Habermas (1972) bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia (baik empirik-analiti, historis hermeneutik, maupun kritis) dengan kepentingan (tekhnis,praktis, atau yang bersifat emansifatoris) walautidak dapat disangkal bahwa yang terjadi juga bisa sebaliknya bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.
Menurut Berger dan Luckmann pengetahuan yang dimaksud adalah realitas sosial masyarakat,seperti konsep,kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial, realitas sosial dikonstruksi melalui proses eksternalisasi, objectivasi, dan internalisasi. Menurut Berger dan Luckmann, konstruksi sosial tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.
Jika konstruksi sosial adalah konsep, kesadaran umum dan wacana publik, maka menurut Gramsci, negara melalui alat pemaksa, seperti birokrasi, administrasi, maupun militer ataupun melalui supremasi terhadap masyarakat dengan mendominasi kepemimpinan moral dan intelektual secara kontektual. Kondisi dominasi ini kemudian berkembang menjadi hegemoni kesadaran individu pada setiap warga masyarakat sehingga wacana yang diciptakan oleh negara dapat diterima oleh masyarakat sebagai akibat dari hegemoni itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Nugroho bahwa menurut Marcuse (1964), realitas penerimaaan wacana yang diciptakan oleh negara itu disebut ”Desublimasi represif”. Orang merasa puas dengan wacana yang diciptakan oleh negara walaupun implikasinya dari wacana itu menindas intelektual dan kultural masyarakat.
Gejala seperti di atas tidak lain sebagai produk dari keberadaan rezim pemaknaan (regime of significance) yang cenderung melakukan dominasi dan hegemoni makna atas berbagai peristiwa, pengetahuan, kesadaran, dan wacana.rezim dimaksud adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan formal sebagai representasi dari penguasa negara. Gagasan-gagasan Berger dan Luckman tentang konstruksi sosial, bersebrangan dengan gagasan Derrida ataupun Habermas dan Gramsci. Dengan demikian, gagasan-gagasan membentuk dua kutup dalam satu garis linier atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dilihat dengan cara pandang Derrida dan Habermas, yaitu dekonstruksi sosial atau Berger dan Luckmann, yaitu menekankan pada konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstruksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bagian analisisnya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian, maka dekonstruksi dan konstrukksi sosial merupakan dua konsep gagasan yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.
Tahap objektivasi produk sosial terjadi dalam dunia intersubyektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckman mengatakan, memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka dimana merka dapat dipahami secara langsung.
Dengan demikian individu melakukan objektivitas terhadap produk sosial, baik penciptanya maupun individu lain. Kondisi ini kondisi ini berlangsung tanpa harus mereka saling bertemu. Artinya, objectivasi itu bisa terjadi tanpa melalui penyebaran opini sebuah produk sosial yang bekembang di masyarkat melalui diskursus opini masyarakat tentang produk sosial, tanpa harus terjadi tatap muka antara individ dan pencipta produk sosial itu.
Hal terpenting dalam objectivasi adalah pembuatan signifikansi, yakni pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Berger dan luckmann mengatakan bahwa, sebuah tanda (sign) dapat dibedakan dari objectivasi-objectivasi lainnya, karena tujuannnya yang ekplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indek bagi pemaknaan subjectif,maka objectivasi juga dapat digunakan sebagai tanda, meskipun semula tidak dibuat untuk maksud itu.
Sebuah wilayah penandaan (signifikasi) menjembatani wilayah-wilayah kenyataan, dapat didefinisikan sebagai sebuah simbol dan modus linguistik, dengan apa trensedensi seperti itu dicapai,dapat juga dinamakan bahasa simbol. Kemudian pada tingkat simbolisme, signifikasi linguistik, terlepas secara maksimal dari ”disini dan sekarang” dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, bahasa memegang peranan penting dalam objectivasi terhadap tanda-tanda,dan bahkan tidak saja dapat memasuki wilayah de facto, melainkan juga a priory yang berdasarkan kenyataan lain,tidak dapat dimasuki dalam pengalaman sehari-hari,bagaikan kehadiran kawanan raksasa dari dunia lain. Agama, Filsafat, Kesenian, dan ilmu pengetahuan, secara historis merupakan sistem-sistem simbol paling penting semacam ini.
Bahasa merupakan alat simbolis untuk melakukan signifikasi, yang mana logika ditambahkan secara mendasar kepada dunia sosial yang di objectivasi. Bangunan legitimasi disusun diatas bahasa dan menggunakan bahasa sebagai instrumen utama. ”Logika” yang dengan cara itu, diberikan kepada tatanan kelembagaan ,merupakan bagian dari cadangan pengetahuan masyarakat( Social stock of knowledge) dan diterima sebagai sudah sewajarnya
Bahasa oleh Berger dan Luckmann menjadi tempat penyimpanan kumpulan besar endapan-endapan kolektif,yang bisa diperoleh secara monotetik, artinya, sebagai keseluruhan yang kohesif dan tanpa merekonstruksikan lagi proses pembentukannya semula. Bahasa digunakan untuk memberi signifikasi pada makna-makna yang dipahami sebagai pengetahuan yang relevan dengan masyarakatnya, pengetahuan itu dianggap relevan bagi semua orang dan sebagian lagi hanya relevan bagi tipe-tipe orang tertentu saja. Dalam kehidupan sehari-hari pengetahuan seseorang menuntun tindakan yang spesifik menjadi tipikasi dari beberapa anggota masyarakat.Tipikasi itu kemudian menjadi dasar membedakan orang di dalam masyaraktnya. Agar bentuk-bentuk tindakan dapat ditipikasi, maka bentuk-bentuk tindakan itu harus memiliki arti yang objektif yang pada gilirannya memerlukan suatu objectivasi linguistik. Objectivasi linguistik yang dimaksud, harus ada kosakata yang mengacu kepada bentuk-bentuk tindakan itu. Objectivasi linguistik terjadi dalam dua hal, yaitu dimulai dari pemberian tanda verbal yang sederhana sampai pada pemasukannya ke dalam simbol-simbol yang kompleks. Dalam konteks ini selalu hadir dalam pengalaman dan pada suatu saat akan sampai kepada sebuah representasi yang oleh Berger dan Luckmann dikatakan sebagai par exellence.











BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fenomenologi diperkenalkan oleh J.H Lambert tahun 1764. untuk merujuk pada teori penampakan. Teori ini bersama teori kebenaran, logika dan semiotika, merupakan empat disiplin filosofisnya. Semenjak Lambert istilah ini telah dipakai dalam beraneka kaitan. Hegel dalam Phenomenology of The Spirit merinci tahap – tahap memungkinkan manusia Barat naik kepada tingkat akal budi yang universal. Fenomenologi adalah gerakan filsafat yang dipelopori oleh Edmund Husserl (1859 – 1838).
Fenomenologi mencoba menepis semua asumsi yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal. Fenomenologi menekankan upaya menggapai “Hal itu sendiri” lepas dari segala presuposisi. Langkah pertamanya adalah menghindari
semu konstruksi, asumsi yang dipasang sebelum dan sekaligus mengarahkan pengalaman. Tak peduli apakah konstruksi filsafat, sains, agama, dan kebudayaan, semuanya harus dihindari sebisa mungkin. Semua penjelasan tidak boleh dipaksakan sebelum pengalaman menjelaskannya sendiri dari dan dalam pengalaman itu sendiri.
B. Saran
Dalam keterbatasan referensi yang kami miliki saat ini dalam menyusun makalah ini maka kami sebagai penulis berharap kepada penulis selanjutnya untuk mendapatkan referensi yang banyak dan penulis juga berharap kepada dosen yang bertanggung jawab dalam mata kuliah ini untuk memberikan saran referensi yang lebih banyak dan saran buku yang harus di baca.








DAFTAR BACAAN

Al Barry, M. Dahlan, Pius, A Partanto. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann.1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, ter. Hasan Basari. Jakarta: LP3ES.
_______ 1991. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial, ter. Hartono. Jakarta: LP3ES.
Gahral, Adian Donny. 2010. Pengantar Fenomenologi. Jakarta: koeskoesan.
2001. Matinya Metafisika Barat. Jakarta: Komunitas Bambu
M. Zeitlin, Irving. 1998. Cet II. Memahami Kembali Sosiologi Kritik Terhadap Teori Sosiologi Kontemporer, ter Drs. Anshori dan Drs. Juhanda. Yogyakarta: UGM Press.
Prof. Dr. Kuswarno, Engkus. 2010. Fenomenologi Metodologi penelitian komunikasi. Bandung: Widya Padjajaran.
Riyanto, Geger. 2009. Peter L Berger Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta : LP3ES
Ritzer,George. 2011. Cet VII. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana

Internet :

PLB.html