MAKNA
NILAI KEMANUSIAAN
DALAM
MASYARAKAT
Dalam pengertian harfiahnya, siri’ adalah sama
dengan rasa malu. Dan, kata siri’ ini akan berarti harkat (value),
martabat (dignity), kehormatan (honour), dan harga diri (high
respect) apabila dilihat dari makna kulturalnya. Jadi, perlu dibedakan
pengertian harfiahnya dengan pengertian kulturalnya. Bagi orang Bugis-Makassar,
pengertian kulturalnya itulah yang lebih menonjol dalam kehidupan sehari-hari
apabila dia menyebut perkataan siri’ karena siri’ adalah dirinya
sendiri. Siri’ ialah soal malu yang erat hubungannya dengan harkat,
martabat, kehormatan, dan harga diri sebagai seorang manusia.
Siri’ lebih sebagai
sesuatu yang dirasakan bersama dan merupakan bentuk solidaritas. Hal ini dapat
menjadi motif penggerak penting kehidupan sosial dan pendorong tercapainya
suatu prestasi sosial masyarakat Bugis-Makassar. Itulah sebabnya mengapa banyak
intelektual Bugis cenderung memuji siri’ sebagai suatu kebajikan. Mereka
hanya mencela apa yang mereka katakan sebagai bentuk penerapan siri’
yang salah sasaran. Menurut mereka, siri’ seharusnya – dan biasanya,
memang – seiring sejalan dengan pacce’(Makassar) / pesse(Bugis).
Berdasarkan
penjelasan ini dalam masyarakat Bulukmba Ada 3 istilah Siri yang dikenal oleh
orang Bugis khususnya pada masyarakat Bulukumba :
·
Siri =
harkat, martabat, dan harga diri manusia
·
SiriMasiri = perasaan aib, hina, sebagai akibat keadaan buruk
menimpa, miskin, dungu, atau kelemahan karena perbuatan sendiri.
·
Siri Ripakasiri = perasan malu dan merasa bukan manusia lagi karena terhina.
Misalnya ditempeleng atau dimaki-maki didepan umum, diludahi mukanya, dituduh
mencuri padahal ia tidak melakukannya, atau isteri dan keluarga perempuannya
dilarikan orang.
Pengertian pacce’
Pacce’ dalam
pengertian harfiahnya berarti “ pedih “, dalam makna kulturalnya pacce
berarti juga belas kasih, perikemanusiaan, rasa turut prihatin, berhasrat
membantu, humanisme universal. Jadi, pacce’ adalah perasaan (pernyataan)
solidaritas yang terbit dari dalam kalbu yang dapat merangsang kepada suatu tindakan. Ini merupakan
etos (sikap hidup) orang Bugis-Makassar sebagai pernyataan moralnya. Pacce’
diarahkan keluar dari dirinya, sedangkan siri’ diarahkan kedalam
dirinya. Siri’ dan pacce’ inilah yang mengarahkan tingkah laku
masyarakatnya dalam pergaulan sehari-hari sebagai “ motor “ penggerak dalam
memanifestasikan pola-pola kebudayaan dan sistem sosialnya.
Melalui latar belakang pokok hidup siri’ na pacce’
inilah yang menjadi pola-pola tingkah lakunya dalam berpikir, merasa,
bertindak, dan melaksanakan aktivitas dalam membangun dirinya menjadi seorang
manusia. Juga dalam hubungan sesama manusia dalam masyarakat. Antara siri’ dan
pacce’ saling terjalin dalam hubungan kehidupannya, saling mengisi, dan
tidak dapat dipisahkan yang satu dari lainnya.
Dengan memahami makna dari siri’ dan pacce’,
ada hal positif yang dapat diambil sebagai konsep pembentukan hukum nasional,
di mana dalam falsafah ini betapa dijunjungnya nilai-nilai kemanusiaan –
berlaku adil pada diri sendiri dan terhadap sesama – bagaimana hidup dengan
tetap memperhatikan kepentingan orang lain.
Makna
siri’ na pacce’ di Kabupaten Bulukumba
Dalam
masyarakat Bulukumba yang notabenenya merupakan daearah pertemuan dua unsur
kebudayaan yaitu suku bugis dan makassar sehingga untuk melacak budaya asli
daerah tersebut sangat sulit daerah ini merupakan daerah pertemuan Kerajaan
Bone dan Kerajaan Gowa. sehingga corak
kebudayaan bisa di lihat dalam kebudayaan tersebut yang memilki dua bahasa yang dominan Bugis dan Makassar
begitupun dengan sistem budayanya.
Sehingga
akar dalam budaya tersebut sulit untuk memetakan budaya asli daerah tersebut.
sebab nilai filosofis yang ada pada masyarakat bugis dan sangat kental di sana.
Sehingga pergeseran makna bisa saja terjadi ataupun sebaliknya. Dengan kata
lain bahwa nilai siri’ na pacce pemaknaanya mengalami sebuah perubahan atau
justru sebaliknya pemaknaan siri na pacce pemaknaannya tetap sama di setiap
daerah. Sehingga pemaknaa siri’ na pacc sebagai mana yang telah di jelaskan di
atas.
Dalam
sebuah tulisannya Maula Nusantara mengatakan bahwa : “Falsafah keberanian orang
bugis-makassar bukan seperti, “Ini dadaku, mana dadamu!” tidak sesombong dan
searogan itu, falsafah keberanian orang bugis-makassar itu bijak, seperti
pelaut yang berkata “kualleangngangi tallangan na toalia” artinya, aku memilih
tenggelam dari pada kapal kembali surut ke pantai.
Jangan
langsung ditafsirkan aku memilih mati daripada mundur. Bukan seperti itu.
Ketika seorang pelaut mengucapkan itu sebelum berlayar, dia berangkat dengan
niat dan tujuan yang jelas, benar dan terang. Watak yang keras tidak harus
menjadikan diri kasar dan semaunya dalam bertindak. Kita berani karena kita
berada dalam posisi yang benar, dan memang harus diperjuangkan.
Dalam
kehidupan bermasyarakat misalkan, jika ada penghinaan terhadap keluarga maka
otomatis kita harus bertindak, tidak boleh diam hanya karena ada rasa takut.
Dalam bertindak pun tidak mesti diselesaikan dengan ujung badik karena kita
berada dalam ruang Bulukumba. Ada hukum yang mengatur dan norma norma yang berlaku.
Begitupun dalam konteks pengembangan diri, posisi sebagai Mahasiswa misalkan,
Siri’ bisa dijadikan cambuk untuk diri sendiri.
Nilai
Kemanusiaan terhadap perasaan Hormat
Rasa hormat adalah suatu sikap saling meghormati
satu sama lain yang muda, hormat kepada yang tua yang tua, menyayangi yang
muda. Rasa hormat tidak akan lepas dari rasa menyayangi satu sama lain karena
tanpa adanya rasa hormat, takkan tumbuh rasa saling menyayangi yang ada
hanyalah selalu menganggap kecil atau remeh orang lain. Tetapi untuk saat ini
untuk kalangan masyarakat Bulukumba dua hal tersebut sudah langka terjadi
karena tidak ada kesadaran di diri masing – masing untuk saling hormat antara
sesama. Contoh dari rasa hormat itu sendiri adalah saling menghargai satu sama
lain pada saat kita dimasyarakat kita harus mengayomi yang tua lindungi yang
muda, yang muda melindungi yang kecil dan seterusnya.
Salasatu bentuk penghormatan pada masyarakat Bulukumba
adalah pemberian gelar kebangsawan pada keturunana raja yaitu daeng, puang,
karaeng. Berdasarkan latar ini pemberian nama daeng itu terkadang di bisa di
pertukarkan dalam masyarakat sebab hal bisa ini di gunakan secara bergantiang
sebagai panggilan terhadap orang yang lebih dianggap tua dari kita. Begitupun
dengan gelar kebangsawanan yang lain. Sebab hampir setiap kecamatan di
kabupaten Bulukumba memiliki gelar kebangsawanan yang berbeda dan penggilan kehormatan
kepada yang lain. Seperti di di Kecamatan Bonto Tiro biasa menggunakan kata
sapaan Puang sebagai bentuk penghargaan kepada yang di anggap lebih tua dari
kita atau orang belum akrap dengan kita, kemudia daeng di gunakan di kecamatan
Bulukumpa, Kindang dan karaeng di kecamatan Gantarang.
Selai itu masih banyak bentuk-bentuk penghormatan
dalam masyarakat bugis-makassar yaitu penyebutan kata Iye, kata ini menandakan
sebuah penghargaan terhadap apa yang di ucapakan kepada orang, dan Tabe dan
menunduk saat lewat di depan orang.
OLeh "S"
Maaf tulisan ini di copy dari berbagai blog terkait tema "siri' na pacce/passe" jika terjadi kesamaan mohon maaf. ini saya lakukan demi pengembangan wawasan dan keilmuan. Sekali lagi mohon maaf.