Aku ingin menyambangi mu untuk menembus
semburat senja, rasa yang terlalu lelah menatap mu di layar datar. Membuat ku
menyisihkan sedikit ruang untuk merindukan mu. Dari simpati ku untuk mu, dirimu
terlalu cuek untuk menyapaku, bahkan kamu tidak pernah berharap untuk
mengenalku apalagi untuk bertemu. Itu wajar ketika kamu tidak mengenal ku dalam
dunia mu. Sejemput keraguan dan ketakutan dalam benak mu, akan hadir ku. Diri
ku bagai kegelepan untuk menerjang mu hingga kau terlelap dan terbangun dari
ketakutan. Ketakutan mu bagai hantu yang merongrong mimpi indah mu di malam
hari. Sejatinya aku tak berharap seperti itu dan kamu tidak merasakan itu.
Ku lerai waktu untuk tetap berjalan,
dimana kehidupan harus tetap dilanjutkan. Ku tutup layar kaca itu menyusuri lorong-lorong
kehidupan yang lain. Suatu ketika di lain waktu, aku akan kembali dalam peluk
asa layar datar (dunia maya) menatap mu kembali. Sebab, senyum mu selalu
terbayang dari diri mu, keramahan yang kau tunjukkan kepada ku sebagai petanda
bahwa diri mu bukanlah orang yang angkuh. Dunia mu telah mengalihkan ku
Rosanaya. Dari hidup ku yang tidak mengenal kasmaran.
Dua bulan yang lalu, aku menatap lukisan
yang teramat indah dalam bingkai warna biru, di sampingnya di penuhi dengan
kata-kata curahan hati, pujian, sanjungan dan kegaguman dari para sahabat dan
orang yang mungkin kamu juga tidak ketahui. Sama halnya dengan diri ku yang sedang menatap lukisan mu. Lukisan
yang tidak di sapu dengan kuas dan bukan di atas kampas, akan tetapi lukisan
berasal dari potret kamera. Diri mu dalam lukisan itu berpakaian hitam
berbintik putih, mata yang sipit kau tutupi dengan kecamata hitam dengan rambut
yang terurai. Senyum mu telah melengkapi panorama keindahan mu. Di saat aku
menatap lukisan itu terlontar, ungkapan yang tidak ku sangka dari seorang
sahabat ku Syha “Sembarang kamu menatap Perempuan, mungkin perempuan itu
jalan”. Sedikit aku terdiam dan berguman memperhatikan baik-baik lukisan itu
dan tentang profil perempuan itu “itu hanya dugaan mu Syha, ku yakin dia orang
baik-baik. Walaupun, dunia mahasiswa itu gelap, ku yakin masih ada perempuan di
luar sana yang terjaga kesuciannya” kata ku. “Harus di akui bahwa di sekeliling kita telah banyak
terjadi perilaku binal. Lingkungan telah memberikan kita peluang untuk
melakukan hal yang serupa, namun diantara kita tidak ada yang melakukan itu,
bukan”. Semua terhenyak diam, aku melanjutkan pembicaraan ku yang sok bijak dan
berlagak seperti filsuf “kesalahan orang
lain terletak di mata kita, sementara kesalahan kita terletak di punggung kita,
Sudahlah kenapa perempuan dalam lukisan ini menjadi topik pendiskusian malam
ini. Tidak terasa jarum jam menunjuk angka tiga subuh. Kami bergegas untuk
pergi tidur. Biarkan bayangan perempuan dalam lukisan itu menjadi pengantar
tidur ku, malam ini. Lukisan perempuan yang terpanpan itu adalah Rosanaya.
*
Dengan bergulirnya waktu, Aku terlanjur
mengaguminya. Komunikasi dengan Rosanaya kian intens, tapi terasa kaku dan
membosangkan, hanya satu arah. Aku seolah melakukan wawancara dengan jawaban
yang seadanya. Hingga pada akhirnya berusaha untuk berlari dan menghindar di
setiap kehandiran ku di kontak obrolannya. Di bergegas untuk off line, seolah aku berlari
mengejarnya. aku tahu bahwa kamu tidak ingin diganggu oleh ku.
Rasanya sulit untuk mendapatkan mu,
bertemu saja kamu enggan. diri mu sudah menganggap bahwa perkenalan dalam dunia
yang datar itu sudah cukup bagi mu. Perkenalan kita tidak lebih dari kahyalan
semata, tidak lebih dari itu. Aku pun sadar di dunia yang datar merajuk cerita
itu indah, tapi penuh dengan fantasi laiknya dengan negeri dongen, aku
merasakan itu, tiap hari menjadi pengantar tidur ku, menemani bercerita di saat
sunyi. Dia tidak bergerak namun selalu tersenyum. Nampang yang indah berwarna
biru, menjadi rumah mu, dia menciptakan jalinan dan ikatan dari jutaan manusia
yang tidak di kenal, mempertemukan wajah-wajah yang riang, berpose yang sempurna menampakkan karakter yang terbaik, terkadang
senyum dipaksakan, kemudian mengggantung
lukisan paling terindah yang di miliki oleh setiap rumah. Manusia-manusia di
dalamnya semuanya ramah, murah senyum, sesekali juga terdapat lukisan binal
bahkan lakon drama binal. Itulah rumah, istanah bagi pemiliknya.
Rumah kita seolah tidak berjarak dalam
dunia yang datar ini, walaupun demikian kita sulit untuk bertemu dan bertatap
muka, kamu datang di saat subuh hari sedangkan aku datang di saat petang dan
atau di saat bulan mekar di atas ubun-ubun. Di saat kehadiran ku di rumah ku.
Aku berusaha melintas di halaman mu, sembari memandangi jejak mu yang kau
tinggalkan mungkin ada bekas tuk melepas larah kegaguman ku terhadap mu. Kamu
memang indah Rosanaya nan liar. Keliaran mu bukan karena kamu tidak mengenal ku
dalam dunia yang nyata, sejatinya kamu takut dengan pasangan mu. Lukisan lelaki
itu di rumah mu membuat kamu liar. Ungkapan mu menyinggung itu “satu tetap
satu, haram jadi dua”. Semoga itu menjadi yang terbaik bagi mu, aku tak akan
menuntut lebih.
Resapan kegaguman tetap mewarnai diri
ku, mengenal mu suatu kesyukuran bagi ku, menjawab pertanyaan ku suatu
kebanggan bagiku, walau kurangnya belum kamu tutupi dengan permintaan ku
terhadap mu tentang diri mu yang utuh dan nyata. Kamu hanya sekedar pelangi yang
hanya bisa di pandang dari kejauhan, tapi sulit bahkan mustahil untuk dimiliki.
Cinta telah merangkul mu menjadi suatu yang utuh bagi mu, sulit terlepas
darinya karena kamu telah memilih untuknya, semoga kamu bisa abadi dengannya di
peluk asa kebaikan. Itu lah dunia mu yang nyata, sakit mu bukan lah sakit ku,
aku hanya sekedar simpati, cinta tidak membutuhkan itu, tapi cinta membutuhkan
kenyataan, pelukan dan kehangatan. Sementara, aku tidak memilikinya, karena aku
hanya sebatas angin menembus kesunyian, melewati lorong-lorong asa, hingga
memasuki dunia mu yang tenteram. Aku mengusik mu bukan karena yang lain, sebab
tujuan ku untuk memberikan kesegeran di gurun pasir, membuat laut menjadi riuh
dengan ombaknya. Menyatu dengan pohon rindang memberikan kesejukan bagi yang
benaung.
Biarkan aku menghempas rumah mu untuk menebar
kehangatan, walau kau tidak terimah Aku akan tetap ada, karena kebiasaan ku menyusuri
lorong yang tidak aku tahu dan hinggap untuk sementara. Rumah mu pernah
mengalami kepiluan. Sementara aku hanya menyimak di dunia yang datar. aktivitas
rutin membuka ruang yang datar, menyisihkan aktivitas nyata, jalinan
silaturahmi kian menunduk, meluruhkan uluran tangan dalam kenyataan. Semua
menjadi tidak pasti namun hanya searah.
Oleh: Mr “S”
4/9/2014
0 komentar:
Posting Komentar