SAVE PANDANG RAYA: MENOLAK TERGUSUR DARI TANAH TUHAN,
TANAH
RAKYAT
Soal
agraria adalah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia; tanah adalah
sumber dan asal makanan bagi manusia. Siapa menguasai tanah, ia menguasai
makanan. penjelasan ini menjadi kalimat pembuka buku Mochammad Tauchid berjudul
masalah agraria. Pentingnya tanah bagi manusia seperti sisi mata uang tidak
dapat pisahkan. Tanah menjadi alas dari kebutuhan dasar manusia seperti tempat
tinggal, makanan dan perlindungan. Manusia tidak akan berdaya dengan ketidakhadiran
tanah. Pentingnya
Tanah bagi kehidupan manusia dianologikan sebagai Tuhan sekitar manusia tapi
bukan Tuhan. Tanah adalah milik Tuhan, tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya
selain DIA, Tuhan hanya memberikan ruang untuk mengeksplorasi, mengolah dan
mendayagunakannya untuk kepentingan hambanya. Kesempatan yang diberikan itu
untuk dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. Sebagaimana yang termaktub
dalam undang-undang dasar 1945 pada pasal 33 tentang kesejahteraan sosial poin
c menjelaskan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Penjelasan dalam undang-undang dasar 1945 menjadi dasar yang kuat bahwa
tanah bukan untuk kepemilikan golongan. Tanah untuk rakyat tanah bukan untuk
kaum pemodal. Sangat salah kiranya ketika Negara mengabaikan hak dasar itu.
Seyogyanya Negara memberikan perlindungan kepada warganya ketika mengalami
kesulitan dalam kepemilikannya. Apalagi ketika rakyat kehilangan tempat tinggal.
Kehilangan tempat tinggal bagi rakyat sama halnya mengusir tuan rumah dari
rumahnya sendiri. Pasti, kejadian itu sangat memilukan dan menyakitkan bagi
yang merasakannya. Menanti pertolongan dari sang pemberi otoritas (dalam hal
ini negara) tak jua hadir, jelas sangat menyayak-nyayak luka bagi penghuninya.
Ketakberdayaan itu dirasakan oleh warga Pandang Raya yang terusir dari
tempat tinggalnya, kenyamanannya terusik kehadirannya Gomang menggugat tanah
milik rakyat. Gomang mengklaim bahwa yang ditinggali warga adalah miliknya
beradsarkan akta tanah (Persil No. S2 a. SII Kohir No. 2160. C 1. Lokasi Jalan Hertasning
Kelurahan Panaikang Kecamatan Panakukang) berbeda dengan Lokasi
yang di huni oleh warga yang menjadi tergugat/objek eksekusi (No. Persil S2S1
Kohir 1241C1 Kelurahan
Pandang Kecamatan Panakukang. Dan diperkuat oleh surat
keterangan Kantor kelurahan Pandang yang ditandatangani oleh lurah terkait
(Dakhyal S.Sos) tertanggal 5 Agustus 2009 dengan menyatakan bahwa lokasi yang
dimaksudkan berdasarkan Persil dan kohir penggugat (Goman Wisan) berada
diantara Jln.
Adiyaksa dan Jln. Mirah Seruni Panakukang Square ( http://perangpandang.wordpress.com/). Pengklaiman yang
dilakukan oleh Gomang sejatinya salah sasaran.
Apatah
dikata, keadilan tidak berpihak kepada warga Negara sebagai pembantai yang
terlatih dengan menurunkan militer mengancurkan warganya. Pada dasarnya Negara telah melakukan pengusiran terhadap
warga negaranya. Hakim telah menghianti sumpahnya dengan memenangkan gugatan
Gomang. Hakim telah mengorbangkan kemaslahatan umum. Di manakah Negara ketika
warganya mengalami persoalan yang pelik seperti ini. Mestikah rakyat berteriak
minta tolong ketika rakyat sudah nyata menjerit. Sementara Negara ada
disampingnya. Ataukah Negara seperti perlakuan ceritra ini “dua orang mendaki
gunung sama-sama menapaki jurang, dalam pendakian tersebut salah satu pendaki
telah sampai pada puncaknya. Tiba-tiba pendaki yang satu kehabisan tenaga untuk
sampai di puncak. Pendaki itu masih menyisahkan
beberapa meter. kemudian padaki itu minta tolong kepada sahabatnya untuk dibantu
sampai keatas. Permintaan pertolongan itu, disambut dengan mendorong ke bawah.
akhirnya sahabatnya terjatuh dan berakhir riwayat hidupnya.
Apakah
Negara memperlakukan warga seperti itu sebagaimana yang terjadi di Pandang Raya
pada tanggal 12 September 2014. Eksavator melumat rumah-rumah warga yang
minyisahkan puing-puing penderitaan untuk mereka. Tidak tanggung-tanggung yang
melakukan penggusaran adalah polisi yang dianggap mitra masyarakat. Kehadiran
polisi bukan untuk membantu masyarakat tapi membantai masyarakat. Sulit rasanya
menerima perlakuan tersebut. seharusnya Negara hadir membantu mereka, justru
Negara membiarkan mereka terlantar di bawah tenda-tenda darurat yang dibuat
teriknya matahari. Dimana balas budi Negara terhadap pengabdian wargannya.
Rakyat senantiasa melayani dan menyantuni para pejabat Negara. Pembalasannya
sungguh menyakitkan karena adanya kaum pemodal.
Bukan tanah yang kita warisi ini adalah hasil keringat, air mata dan darah
para pejuang bangsa ini. Pejuang tersebut bukanlah dari orang asing yang datang
ke Indonesia
untuk berjuang. Tapi rakyat yang mempertaruhkan segalanya untuk bebas dari
belenggu asing. Bukankah sejarah telah mencatat bahwa pangeran Dipanegoro
berperang melawang Belanda hanya persoalan tanah yang tidak luas itu. Tapi,
Pangeran Dipanegoro berperang atas nama kehormatan sebagai pemimpin, karena
tanah rakyatnya dirampas oleh Belanda. Apakah pemimpin bangsa dan pemimpin
daerah ini rela turun tangan seperti
pangeran Dipanegoro untuk meneriakkan menolak tergusur bagi warganya dari
tanahnya sendiri. Ataukah pemimpin di negeri ini hanya sebagai penonton,
melihat lakon yang mengasikan kekerasan yang terjadi di stasiun televisi.
Seharunya Negara
menjalankan fungsi dan perannya sebagai mana yang termaktud dalam pasal 33 tentang kesejahteraan sosial. Pesan
disematkan dalam UUD 45 sangat jelas. tamanah ini mesti dijalankan. Tanah bukan sekedar sumber penghidupan tetapi juga persoalan sosial dan
politik sehingga sudah seharusnya Negara hadir mencaplok bahwa itu adalah tanah
Tuhan untuk rakyat. Mari berjuang untuk menolak tergusur.
Oleh “S”
Makassar, 24 September
2014
0 komentar:
Posting Komentar