Selasa, 10 Juni 2014

PARADIGMA CHAOS MAHASISWA MAKASSAR


 Oleh : sampean
Penggunaan istilah paradigma pertama kali di perkenalkan oleh Thomas Kuhn sebagai landasan teoritis untuk menjelaskan sebuah realitas yang terjadi. Akan tetapi, dalam menjelasakan tentang paradigma kurang konsisten dalam memberikan penjabaran  pengertian paradigma. Tetapi, dalam penjabarannya menjelaskan bahwa paradigma merupakan revolusi pemikiran terhadap realitas terus yang terjadi dan ketika mengalami kemandekan melahirkan paradigma yang baru. Dari segi ini terlihat bahwa paradigma memiliki relasi dengan kesadaran manusia. sehingga penjelasan ini mengantarkan kita bahwa sebuah kerangka berpikir yang berfungsi untuk memahami realitas, menjelaskan atau menafsirkan realitas terhadap masalah sosial yang terjadi. Dengan konsep ini Paradigma merupakan landasan praksis terhadap sebuah tindakan yang dilakukan oleh manusia.
Dari kerangka ini paradigma di gunakan untuk memahami dan menjelaskan realitas yang terjadi. Dengan pendekatan ini bisa digunakan untuk menjelaskan konflik yang terjadi di kalangan mahasiswa di makassar. Sebab tiga tahun terakhir menurut hemat penulis intesitas konflik mahasiswa cenderung meningkat dengan berbagai jenis konflik yang terejadi seperti konflik Mahasiswa dengan Warga, Mahasiswa dengan mahasiswa sesama Internal perguruan Tinggi, konflik antar Perguruan Tinggi, Konflik antar daerah. Konflik bersifat destruktif terhadap situasi sosial yang memicu ketidaknyamanan mahasiswa dalam beraktivitas yang di bayang-bayangi dengan sebuah risiko. Konflik yang terjadai di kalangan mahasiswa bukan Atas nama Individu akan tetapi indentitas kolektif dengan melekatkan term-term fanatisme indentitas. Sehingga dalam realitasnya konflik sifatnya sporadis tidak memandang siapa yang bersalah, akan tetapi siapun yang dekat dengan identitas itu yang menjadi lawan walaupun secara harfiah dia tidak terlibat dalam masalah tersebut. cenderung memaksakan korban Sehingga memicu terjadi konflik baru.
Konflik yang terjadi merupakan sebuah bentuk kerangka pemikiran mahasiswa yang cenderung menyederhanakan realitas. Perkembangan konflik mahasiswa menggunakan over-generalisation terhadap kejadian yang dia alami oleh setiap mahasiswa terhadap mahasiswa yang lain. Karena konflik yang terjadi antara individu cenderung bergeser dengan membawa nama atas  kelompok ketika tak mampu vis a vis dengan lawannya. Penyelesaian konflik bukan berdasarkan prinsip dengan perdamaian akan tetapi nyawa harus di balas dengan nyawa, tumbal dengan tumbal. Akibatnya konflik ini terus merebak di kalangan mahasiswa dengan menggunakan konsep demografis pendekatan ruang atau dengan menggunakan pendekatan kedaerahan.
Peta pemikiran yang di gunakan oleh kalangan mahasiswa cenderung bersifat simplistis tanpa memprtautkan dengan masalah internal individu  sendiri. Tetapi, langsung mengkonfigurasikan dengan kelompok tertentu yang menjadi lawannya. Sehingga menjadi korban adalah orang yang tidak tahu menahu masalah yang di hadapi oleh orang memiliki kesamaan identitas dengannya. Seperti konflik kedaerahan antara orang palopo dengan bantaeng, orang bulukumba dengan Palopo, Bone dengan Palopo, Jeneponto dengan  Wajo, Bone dengan Jeneponto. Korban yang jatuh adalah orang  yang tidak tahu masalah apa-apa. Dengan kondisi ini memperpanjang dan menanmbah intensitas konflik yang terjadi karena melibatkan orang yang tak semestinya terlibat harus di libatkan dengan masalah ini.
Selain itu, penyelesaian konflik yang terjadi di kalangan mahasiswa tidak bersifat membangun. Sebab, paradigma yang terbangun di kalangan mahasiswa saat ini khususnya daerah makassar adalah paradigma chaos. Penyelesaian masalah tidak dengan cara kekeluargaan akan tetapi dengan menggunakan tindakan kekerasan fisik. Perilaku hal yang seperti ini tidak mencerminkan sebagai mahasiswa yang melekat pada dirinya sebagai kaum intelektual. Sebab paradigma chaos merupakan paradigma kaum barbar.

0 komentar: