Aku sedikit menepi,
bersembunyi di balik jendela kamar, aku merintih menahan perih rasa lapar yang
aku rasakan. Seteguk air putih membasuh tenggorokan memberikan kehidupan untuk
sejam ke depan.... tapi itu pun tak membuat perut ini berhenti perih. Aku mengintip
ke luar jendelah tak ku dapati orang yang ingin membantuku. Mereka hanya
orang-orang tak aku kenal, tak menunjukkan rasa bersahabat kepada saya. Mereka
hanya memandangku dengan sinis dan perkataan-perkataan yang kurang aku mengerti
walau bahasaku serumpung dengan mereka.
Setelah itu, aku duduk
bersilah kembali menatap layar kaca laptopku, berdialog dengan dia sampil
merenungi nasib yang ku jalani. Secercah kesuraman dan harapan silih berganti
dalam pikiranku. Sejenak kebahagiaan masa lalu terasa hilang dengan kondisi ku
yang seperti saat ini, pikiranku kian menjelajah di alaun-alun bawah sadar seperti apa dalam pikiranku.
Aku mulai mencercah
diriku, memarahi diriku sendiri. Aku tak memahami apa yang ku rasakan saat ini.
Aku seperti paranoia......membumbung ke langit ke tujuh...tanpa ada
realitasnya. Sebuah ingatan ilusif bagiku untuk berdialog dengan para filsuf
yang aku tak kenal dengan Dia, aku tak pernah membaca buku tentang Dia, aku tak pernah melihatnya di dalam
telivisi, aku tak pernah membaca berita di koran. Pastinya aku buta tentang
Dia. Tapi pertemuan tak di pungkiri dalam harmoni kehidupan. Kami duduk
bersajak di ruang fantasi di taman bunga.....
Sajak-sajak dialog
terlantun dari mulutnya yang bijaksana, wahai
anak mudah boleh aku duduk bersamamu bersama pikiran-pikiranmu menjelajah itu.
Karena pikiranmu itu membawa hamba sahaya ini kesini. Aku kaget dengan
perkataannya yang lembut, dan santun itu. Orang sesusia dia yang udah berkepala
lima sangat merendahkan diri dengan orang yang seperti saya. Aku sedikit
terdiam kemudian menjawab, silahkan! aku dengan senang hati menyambut
anda...yang begitu santun... dari mana anda sebanarnya datang ke tempatku..
Ah..kamu nga usah
tau!...yang penting aku disini untuk menemani dan berdiskusi denganmu...soal
identitas bagiku tak perlu di pertegas darimana asalku, keturunanku, kerabatku,
dan statusku, rasku dan sebagainya. Karena hal itu, memberikan jarak kepada manusia untuk bersua
dalam ruang tertentu. Kata Sang filsuf. Tapi, bukankah hal itu Penting penegasan
identitas, karena ada petuah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang, tak
sayang maka tak Cinta. “kataku sambil bercanda.... kata sang filsuf, semua itu
tidak salah, tidak semua petuah harus di terima begitu saja tanpa mesti di
telah dan analisis...karena di dalamnya terkandung makna yang dalam dan
segudang pelajaran yang mesti jadikan pengetahuan dan pedoman hidup, Kalau
tidak salah kamu juga mengatakan bahwa identitas itu mesti pertegas, justru itu
sebuah kekeliruan tapi untuk mengenal nama adalah boleh saja karena nama
memberikan kejelasan siapa anda sebenarnya yang membedakan aku dan kamu, dia
dan mereka, aku dan mereka. Aku mencoba membantahnya bukankah Tuhan menciptakan
kita berbeda-beda supaya saling mengenal dan perbedaan itu indah, tak seru juga
kalau hidup sifatnya homogen.
Betul sekali.....Dik...apa yang anda katakan. Bahwa
perbedaan itu Indah tapi ketahui perbedaan itu bisa menjadi boomerang bagi kita sendiri ketika kita
menganggap bahwa aku dan siapa mereka.
Pernyataan ini mengandung rasa sinis terhadap perbedaan. dengan menguatkan
identitas itu dalam diri kita akan membuat seseorang mengambil jarak kepada
seseorang untuk bergaul. Aku terdiam sejenak mendengarkan penjelasannya, aku
terpanah dengan nada suaranya datar, lembut menjelaskan tentang identitas. Sang
filsuf itu melanjutkan penjelasannya dengan menatap tajam ke depan. Bahwa rasa
kepemilikan identitas dalam diri individu akan memicu terjadinya rasisme
terhadap identitas yang lain sehingga menimbulkan konflik antar kedua kubu
tersebut, karena akan memasang pertahanan masing-masing dengan tidak mau
mengalah satu sama lain. Selain itu rasa kepemilikan identitas yang berlebihan
akan membuat rasa fanatisme terhadap identitas itu. Ada yang menganggap
bahwa konflik yang terjadi yang
mengikuti rasa kepemilikan identitas adalah faktor kesejarahan masa lalu yang
bertaut dengan fanatisme kultural.
Maaf, sebelumnya aku
belum tau siapa nama anda, aku mencoba mengalihkan pembicaraan mencoba lebih
dekat dengan Dia,,,,,tapi kayaknya Dia Gamang untuk menjawab siapa
namanya....Nantilah kau tahu itu....siapa aku. Hati mu akan menuntun mu
menjawab pertanyaan itu, sebab siapa mengenal dirinya maka Dia mengenal
Tuhannya dan mengenal Tuhan pastinya akan mengetahui ciptaannya dan
memiliharanya.....
Tapi, menurut saya nama
bukan persoalan mengenal Tuhan tapi hanya memperjelas siapa sebenarnya
anda?......maaf Dik. Apalah Arti sebuah nama bagimu kata Sang filsuf
itu...ketika hanya sebuah pelengkap saja...pada dirimu justru saya akan
bertanya pada adik siapa sebenarnya anda, karena saya pahami nama yang ada pada
diri anda bukan anda yang sebanarnya. Justru saya datang kesini hanya karena
pikiran anda, yang tak jelas arah...maka anda mesti tau diri anda.
Aku tambah bingun apa
sebenarnya Dia maksud tentang pikiranku, dan hubungannya pikiranku dengan
kedatangannya sebuah teka-teki yang kurang jelas? Dan mesti kah di Jawab. Aku
ingin bertanya lagi tapi aku takut mendapatkan jawaban yang misterius.
**
Aku terpaku dengan
sebuah pertanyaan dan jawaban yang filosofis, apakah ini namanya seorang filsuf
yang mampu mengetahui kata hati orang.
Kenapa kamu terdiam! “kata Sang filsuf”. Aku
hanya memikirkan apa yang anda katakan, kataku. Hal itu ndak mesti anda pikirkan Dik... seiring waktu anda
bisa memahaminya, karena aku tahu bahwa anda terus mencari dan merenungi hal
seperti itu. Tapi yang membuat aku heran dengan anda “ketakutan” dalam diri
anda itulah maksud dengan kedatangan saya kemari.
Sekali lagi aku
tercengan dengan Dia, aku belum bercerita tentang aku, Dia sudah tahu apa yang
ku rasakan. Mesti aku masih meraba tentang dirinya. Boleh aku tau, apa yang
sebenarnya anda ketahui tentang ketakutan itu? Apakah dia luar sana mengalami
hal yang sama denganku?..... iyah... lebih dari apa yang anda rasakan saat
ini...? kata sang Filsuf. Kenapa? Bukankah mereka orang yang tak punya masalah
dan hal apa yang mesti mereka takutkan? Tanyaku ?
Aku tak mesti
menjawabnya dengan Vulgar tapi mesti kau ketahui bahwa Thomas Hobbes pernah
mengatakan Bahwa manusia lahir dengan membawa ketakutan. Hal yang paling di
takuti oleh manusia dari dulu hingga sekarang adalah Ruang dan Waktu yaitu
Keabadian dan kematian sekiranya Dik tahu itu...
Tapi, yang ku rasakan
saat ini adalah aku takut terhadap ancaman di luar sana, seolah aku dalam
bahaya. Iyah Dik apa yang kau rasakan, itulah Aku, karena takutmu aku ada
disini bersama dalam dirimu, bersemai dalam bayang-bayang pikiranmu, di hantui
oleh rasa was-was. Kau takut karena kamu memikirkannya. Maka takut dalam dirimu
itu hidup yang kau tak kenal.
Kamu takut ketika kamu
di dominasi oleh di luar dirimu, kamu harus mengontrolnya, hilangkan prasangka
dalam dirimu, seperti kamu menghilangkanku dalam pikiranmu. Kali ini prasangka
mu membawa pada sebuah kekeliruan
0 komentar:
Posting Komentar