Selasa, 10 Juni 2014

Suara Sang Filsuf



Aku sedikit menepi, bersembunyi di balik jendela kamar, aku merintih menahan perih rasa lapar yang aku rasakan. Seteguk air putih membasuh tenggorokan memberikan kehidupan untuk sejam ke depan.... tapi itu pun tak membuat perut ini berhenti perih. Aku mengintip ke luar jendelah tak ku dapati orang yang ingin membantuku. Mereka hanya orang-orang tak aku kenal, tak menunjukkan rasa bersahabat kepada saya. Mereka hanya memandangku dengan sinis dan perkataan-perkataan yang kurang aku mengerti walau bahasaku serumpung dengan mereka.
Setelah itu, aku duduk bersilah kembali menatap layar kaca laptopku, berdialog dengan dia sampil merenungi nasib yang ku jalani. Secercah kesuraman dan harapan silih berganti dalam pikiranku. Sejenak kebahagiaan masa lalu terasa hilang dengan kondisi ku yang seperti saat ini, pikiranku kian menjelajah di alaun-alun bawah sadar  seperti apa dalam pikiranku.
Aku mulai mencercah diriku, memarahi diriku sendiri. Aku tak memahami apa yang ku rasakan saat ini. Aku seperti paranoia......membumbung ke langit ke tujuh...tanpa ada realitasnya. Sebuah ingatan ilusif bagiku untuk berdialog dengan para filsuf yang aku tak kenal dengan Dia, aku tak pernah membaca buku tentang  Dia, aku tak pernah melihatnya di dalam telivisi, aku tak pernah membaca berita di koran. Pastinya aku buta tentang Dia. Tapi pertemuan tak di pungkiri dalam harmoni kehidupan. Kami duduk bersajak di ruang fantasi di taman bunga.....
Sajak-sajak dialog terlantun dari mulutnya yang bijaksana, wahai anak mudah boleh aku duduk bersamamu bersama pikiran-pikiranmu menjelajah itu. Karena pikiranmu itu membawa hamba sahaya ini kesini. Aku kaget dengan perkataannya yang lembut, dan santun itu. Orang sesusia dia yang udah berkepala lima sangat merendahkan diri dengan orang yang seperti saya. Aku sedikit terdiam kemudian menjawab, silahkan! aku dengan senang hati menyambut anda...yang begitu santun... dari mana anda sebanarnya datang ke tempatku..
Ah..kamu nga usah tau!...yang penting aku disini untuk menemani dan berdiskusi denganmu...soal identitas bagiku tak perlu di pertegas darimana asalku, keturunanku, kerabatku, dan statusku, rasku dan sebagainya. Karena hal itu,  memberikan jarak kepada manusia untuk bersua dalam ruang tertentu. Kata Sang filsuf. Tapi, bukankah hal itu Penting penegasan identitas, karena ada petuah mengatakan bahwa tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak Cinta. “kataku sambil bercanda.... kata sang filsuf, semua itu tidak salah, tidak semua petuah harus di terima begitu saja tanpa mesti di telah dan analisis...karena di dalamnya terkandung makna yang dalam dan segudang pelajaran yang mesti jadikan pengetahuan dan pedoman hidup, Kalau tidak salah kamu juga mengatakan bahwa identitas itu mesti pertegas, justru itu sebuah kekeliruan tapi untuk mengenal nama adalah boleh saja karena nama memberikan kejelasan siapa anda sebenarnya yang membedakan aku dan kamu, dia dan mereka, aku dan mereka. Aku mencoba membantahnya bukankah Tuhan menciptakan kita berbeda-beda supaya saling mengenal dan perbedaan itu indah, tak seru juga kalau hidup sifatnya homogen.
 Betul sekali.....Dik...apa yang anda katakan. Bahwa perbedaan itu Indah tapi ketahui perbedaan itu bisa menjadi boomerang bagi kita sendiri ketika kita menganggap bahwa aku dan siapa mereka. Pernyataan ini mengandung rasa sinis terhadap perbedaan. dengan menguatkan identitas itu dalam diri kita akan membuat seseorang mengambil jarak kepada seseorang untuk bergaul. Aku terdiam sejenak mendengarkan penjelasannya, aku terpanah dengan nada suaranya datar, lembut menjelaskan tentang identitas. Sang filsuf itu melanjutkan penjelasannya dengan menatap tajam ke depan. Bahwa rasa kepemilikan identitas dalam diri individu akan memicu terjadinya rasisme terhadap identitas yang lain sehingga menimbulkan konflik antar kedua kubu tersebut, karena akan memasang pertahanan masing-masing dengan tidak mau mengalah satu sama lain. Selain itu rasa kepemilikan identitas yang berlebihan akan membuat rasa fanatisme terhadap identitas itu. Ada yang menganggap bahwa  konflik yang terjadi yang mengikuti rasa kepemilikan identitas adalah faktor kesejarahan masa lalu yang bertaut dengan fanatisme kultural.
Maaf, sebelumnya aku belum tau siapa nama anda, aku mencoba mengalihkan pembicaraan mencoba lebih dekat dengan Dia,,,,,tapi kayaknya Dia Gamang untuk menjawab siapa namanya....Nantilah kau tahu itu....siapa aku. Hati mu akan menuntun mu menjawab pertanyaan itu, sebab siapa mengenal dirinya maka Dia mengenal Tuhannya dan mengenal Tuhan pastinya akan mengetahui ciptaannya dan memiliharanya.....
Tapi, menurut saya nama bukan persoalan mengenal Tuhan tapi hanya memperjelas siapa sebenarnya anda?......maaf Dik. Apalah Arti sebuah nama bagimu kata Sang filsuf itu...ketika hanya sebuah pelengkap saja...pada dirimu justru saya akan bertanya pada adik siapa sebenarnya anda, karena saya pahami nama yang ada pada diri anda bukan anda yang sebanarnya. Justru saya datang kesini hanya karena pikiran anda, yang tak jelas arah...maka anda mesti tau diri anda.
Aku tambah bingun apa sebenarnya Dia maksud tentang pikiranku, dan hubungannya pikiranku dengan kedatangannya sebuah teka-teki yang kurang jelas? Dan mesti kah di Jawab. Aku ingin bertanya lagi tapi aku takut mendapatkan jawaban yang misterius.
**
Aku terpaku dengan sebuah pertanyaan dan jawaban yang filosofis, apakah ini namanya seorang filsuf yang mampu mengetahui kata  hati orang. Kenapa kamu terdiam! “kata Sang filsuf”. Aku  hanya memikirkan apa yang anda katakan, kataku. Hal itu ndak  mesti anda pikirkan Dik... seiring waktu anda bisa memahaminya, karena aku tahu bahwa anda terus mencari dan merenungi hal seperti itu. Tapi yang membuat aku heran dengan anda “ketakutan” dalam diri anda itulah maksud dengan kedatangan saya kemari.
Sekali lagi aku tercengan dengan Dia, aku belum bercerita tentang aku, Dia sudah tahu apa yang ku rasakan. Mesti aku masih meraba tentang dirinya. Boleh aku tau, apa yang sebenarnya anda ketahui tentang ketakutan itu? Apakah dia luar sana mengalami hal yang sama denganku?..... iyah... lebih dari apa yang anda rasakan saat ini...? kata sang Filsuf. Kenapa? Bukankah mereka orang yang tak punya masalah dan hal apa yang mesti mereka takutkan? Tanyaku ?
Aku tak mesti menjawabnya dengan Vulgar tapi mesti kau ketahui bahwa Thomas Hobbes pernah mengatakan Bahwa manusia lahir dengan membawa ketakutan. Hal yang paling di takuti oleh manusia dari dulu hingga sekarang adalah Ruang dan Waktu yaitu Keabadian dan kematian sekiranya Dik tahu itu...
Tapi, yang ku rasakan saat ini adalah aku takut terhadap ancaman di luar sana, seolah aku dalam bahaya. Iyah Dik apa yang kau rasakan, itulah Aku, karena takutmu aku ada disini bersama dalam dirimu, bersemai dalam bayang-bayang pikiranmu, di hantui oleh rasa was-was. Kau takut karena kamu memikirkannya. Maka takut dalam dirimu itu hidup yang kau tak kenal.
Kamu takut ketika kamu di dominasi oleh di luar dirimu, kamu harus mengontrolnya, hilangkan prasangka dalam dirimu, seperti kamu menghilangkanku dalam pikiranmu. Kali ini prasangka mu membawa pada sebuah kekeliruan

0 komentar: