Selasa, 10 Juni 2014

Ibnu Khaldhun : Akar teori Konflik

Ibnu Khaldun merupakan tokoh yang fenomenal dalam pergulatan ilmu sosial. beliau di gelari sebagai bapak dari berbagai disiplin ilmu sosial karena meletakkan fondasi beberapa teori sosial termasuk dalam ilmu sejarah, sosiologi, ekonomi, psikologi, antropologi bahkan dalam administrasi kerajaan. Sehingga, tidak salah apabila Ilmuwan sosial Barat memuji beliau sebagai pemikir tanpa tandingan, salah satu diantaranya adalah Lewis Coser mengatakan bahwa sulit menemukan orang seperti Ibnu Khaldun yang khasanah pengetahuan yang luas. Akan tetapi, sungguh di sayangkan kehebatan dan kepopulerannya hanya di ketahui segelintir orang khususnya dalam perkembangan literatur. Tapi, lebih miris lagi ketika orang-orang yang memiliki identitas yang sama atau pemikir yang lahir dari rahim yang sama mencoba untuk melupakannya. Ketika kondisi  ini terjadi sama halnya melupakan sejarah pemikir tersebut khususnya kepada ilmuwan Islam. Untuk itu maka di harapakan kepada generasi mudah saat ini di harapkan untuk menggali khasanah pengetahuan yang di miliki oleh para pemikir timur sendiri.
Ibnu Khaldun sering di lekatkan sebagai bapak sosiologi sebelum Aguste Comte mempopulerkannya, karena telah memberikan sumbangsih terhadap  pengkajian masyarakat baik secara metodologis maupun sacara keilmuwan. Khasanah pengatahuannya termaktub dalam bukunya yaitu Muqaddimah sebagai pengantar dari beberapa karyanya yang lain, tetapi buku ini merupakan  inti dari segala pemikirannya. Dalam buku tersebut keluasan gagasan beliau tidak bisa di pahami secara utuh karena dalam tulisan memberikan gambaran-gambaran umum yang terpisah.
Salasatu sumbangsinya dalam pemikirannya terhadap sosiologi adalah sebuah konsep analisis kelas  sosial pada masyarakat. Dia menggambarkan dalam masyarakat terdapat kelas yang di kuasai dan menguasai. Ulasan ini di mulai  dari sebuah proses pembentukan masyarakat. Masyarakat terbentuk menurut ibnu khaldun merupakan jalinan interaksi antara individu membentuk sebuah kelompok sosial. kelompok tersebut yang  telah terbentuk manjalin sebuah kerjasama untuk memenuhi kebutuhannya, mendapatkan perlindungan dari kelompoknya. Maka disinilah terbangun sebuah konsensus untuk membuat sebuah aturan, norma untuk di taati bersama dalam kelompok tersebut.
Namun, perkembangan masyarakat menurut ilmu khaldun memiliki dua bentuk yaitu masyarakat pengembara dan masyarakat menetap. Masyarakat pengembara adalah masyrakat yang hidupnya masih sangat bergantung pada alam, kehidupannya masih nomaden, dan berburu. Tetapi memiliki watak  keras dan keras. Solidaritas antara mereka sangat terhadap kelompoknya sesuai denngan keyakinannya.
Kedua, masyarakat menetap adalah masyarakat yang sudah tinggal bersama dalam suatu tempat dan merupakan perkembangan dari masyarakat pengembara. Masyarakat ini ditandai dengan sifatnya yang lebih malas dan suka dengan yang mudah-mudah, tetapi lebih berpengalaman dan pintar. Mereka juga masih tergantung dengan kekuasaan politik seperti gubernur dan raja serta para tentara. Menurut Khaldun, mereka telah dibentengi oleh kekuatan yang kuat, sehingga mereka tidak perlu memegang senjata. Setelah itu, ketika telah terbangun sebuah kelompok  kemasyarakatan yang kuat maka di bentuk sebuah sistem administrasi negara untuk mengatur wilayah kekuasaan.
Dalam masyarakat tersebut sebuah konsep ashobiya yang menjadi perekat kelompok sebagai kepemilikan identitas bersama. Kekuatan kolompok sosial dalam masyarakat ketika kekuatan  ashobiyanya yang sangat kuat dan di topang oleh jumlah massa  yang kuat. Karena dalam diri manusia menurut ibnu khaldun terdiri dari manusia memiliki tiga potensi dalam dirinya, yaitu intelligibilia, sensibilia, dan spiritualia. Ketiga hal ini dimaksudkan Ibn Khaldun sebagai potensi yang mampu mengembangkan eksistensi kemanusiaan dalam diri manusis. Apabila ketiga potensi tersebut mampu dikembangkan dengan baik, maka manusia mampu menjalankan fungsiya sebagai khalifah di mua bumi.
Namun, manusia juga memiliki potensi yang lain yang bisa mendorongnya bertindak agresif. Potensi itu muncul karena adanya pengaruh animal power.
a.        Cinta terhadap (identitas) kelompok
Manusia secara fitrah memiliki rasa cinta terhadap garis keturunan dan golongannya. Rasa cinta ini menimbulkan pereasaan senasib dan harga diri kelompok, yang akhirnya akan membentuk kesatuan dan persatuan kelompok.
Ketika manusia hidup dalam suatu kelompok, maka akan timbul rasa cinta terhadap kelompok, yang disebut Ibn Khalsun sebagai  Ashobiyah. Dalam masyarakat primitif, faktor pengikatya adalah garis keturunan atau ikatan darah. Sedangkan pada masyarakat modern faktor pengikatnya adalah kepentingan-kepentingan anggota kelompok.
b.        Agresif
Manuisa memiliki sifat agresif karena dalam diri manusia terdapat  animal power yang mendorongnya untuk melakukan kekerasan atau penganiayaan.
Menurut Ibn Khalsun, yang membedakan manusia dengan binatang adalah akal atau pikiran. Sejalan dengan Khaldun, Luther menyatakan bahwa manusia memiliki watak jujur dan kejam, jahatnya watak manusia dan kurangnya kebebasan untuk memilih yang benar merupakan salah satu konsep fundamental dalam kese;uruhan pemikiran Luther. McClleland menyatakan bahwa sebagaimana dengan hewan, manusia juga harus bisa bertahan untuk melangsungkan hidupnya.
Agresifitas manusia itu kemudianmenjasi pemicu munculnya konflik diantara mereka. Lorenz seorang ahli biologi menyatakan bahwa sebagaimana hewan lain, manusia juga memiliki instink agresif yang built-in dalam setruktur genetiknya. freud dalam teori Psikologisnya menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rendah, yang dipenuhi dengan kekerasan kebencian, dan agresif. Lebih lanjut kemudian Lorenz mengatakan bahwa bukan partai politik yang berbeda yang menyebabkan agresi, akan tetapi agresilah yang menyebabkan adanya partai politik.
Pandangan di atas ditentang oleh para ilmuawan yang lain, jika pendapat di atas mengatakan bahwa tidakan agresi terjadi karena faktor internal manusia, maka ilmuan yang tidak setuju dengan pendapat diatas mengatakan bahwa agresi itu tiak timbul dari dalam seseorang, melainkan dari faktor external. Bebeapa filsuf abad pencerahan berada dalam kelompok ini. Juga yang termasuk dalam kelompo ini adalah teori yang mengatakan bahwa konflik muncul karena rasa frustasi, yakni ketika seseorang gagal mendapatkan apa yang diinginkannya. Maka jika tidak ada rasa frustasi, maka tidak ada pula konflik.
Fromm, merupakan salah satu tokohnya. Ia menyatakan bahwa tindak agresif-destruktif tersebut muncul karena adanya kondisi eksternal yang ikut menstimulir, seperti konflik politik, kemiskinan, dan sebagainya. Berdasarkan teori ini, distorsi-distorsi menimbulkan kekecewaan masyarakat yang dari waktu ke waktu terakumulasi secara eskalatif. Selain itu, Fromm juga melihat narsisme sebagai salah satu sumber utama agresifitas manusia. Suatu kelompok atau bangsa yang narsistik akan bereaksi dengan penuh kemarahan dan bersikap agresif yang sedemikian besar, ketika ada orang-orang yang melecehkan simbol narsis mereka. Oleh Sampean

sumber : 
http://alunda65.blogspot.com/2012/10/elaborasi-teori-pemikiran-ibn-khaldun.html

0 komentar: