Sabtu, 16 Juni 2012

Aktualisasi kepemimpinan tradisional sebagai utopia

AKTUALISASI KEPEMIMPINAN TRADISIONAL SEBAGAI UTOPIA
Manusia sebagai makhluk sosial memiliki naluri untuk hidup berkelompok dan saling berbagi antara individu dengan individu lainnya sehingga terjalin ikatan emosional yang menciptakan sebuah tatanan sosial. Dari kehidupan bersama ini selalu membutuhkan sebuah “kepemimpinan” untuk mengatur, membina, teladan, menuntun dan mempengaruhi dalam aktivitas komunitas atau masyarakat. Posisi pemimpin sangat menentukan kondisi sosial yang berada dalam sebuah komunitas. Dari asumsi ini Kepemimpinan bisa diartikan secara leksikal atau menurut bahasa bahwa kepemimpinan berasal dari kata “pimpin” yang mengandung dua unsur pokok yaitu pemimpin sebagai subjek dan pemimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga dalam menjalankan sebuah kepemimpinan memiliki tipe kepemimpinan yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dari sebuah komunitas. Menurut Max Weber dalam menjelaskan perbedaan tipe-tipe kepemimpinan berdasarkan pada jenis kepemimpinan dan wewenangnya yaitu pertama, pemimpin tradisional merupakan pemimpin yang berlandaskan pada kearifan lokal yang dianut oleh sebuah komunitas. Model kepemimpinan ini mendapatkan sebuah wewenang berdasarkan proses pensucian dari komunitas tersebut kedua, rasional absah model ini mendapatkan wewenang berdasarkan pada kepercayaan dalam legalitas atau kesahan peraturan tersebut. Model ini sering disebut sebagi wewenang birokratis. Proses pemilihan kepemimpinan ditentukan oleh proses demokratisasi seperti dalam pemilihan presiden. Ketiga, pemimpin karismatik yaitu pemimpin yang memiliki karakter khusus seperti, sifat kepahlawanan, kesuciannya yang terpatri dalam dirinya sehingga mendapatkan pengikut yang sukarela. Karena jenis pemimpin ini memiliki kualitas kemanusiaan yang luar biasa segala perilakunya diberkati yang menjadi magis bagi para pengikutnya.
Dalam konteks keindonesiaan untuk saat ini, tipe kepemimpinan yang dominan di Indonesia adalah rasional absah yaitu pemimpin dipilih langsung oleh masyarakat melalui pesta demokrasi, hal ini berlaku dari pemerintahan yang paling bawah hingga pada pemilihan kepala negara. Bahkan proses ini telah terasuki ke dalam institusi sosial dan organisasi sosial dalam memilih pemimpinnya. dalam perhelatan pesta demokrasi pemilihan pemimpin terjadi proses tawar menawar melalui visi misi pada konstituen. Penentuan Pemimpin ini sangat ditentukan oleh kekuatan massa, kekuatan Finacial, dan pengaruh calon pemimpin. Kelebihan dari tipe kepemimpinan ini adalah masyarakat mampu memilih langsung pemimpinnya. Namun dalam dalam pengambilan Keputusan dan kebijakan ditentukan oleh seorang pemimpin yang cenderung diskriminatif terhadap golongan yang tidak berpihak padanya. Karena model lebih mengutamakan kepentingan individu atau kelompoknya hal ini senada dengan Dahrendorf bahwa otoritas sangat ditentukan oleh posisi struktur posisi individu dalam komunitas atau masyarakat sehingga seorang pemimpin dalam menggunakan perannya sebagai seorang individu berpotensi untuk melakukan dominasi dan menundukkan. Pemimpin yang terpilih dalam perhelatan tersebut selalu menjaga wibawanya terhadap masyarakat yang di pimpinannya sehingga masyarakat yang di pimpinannya merasa segang bertemu dengan pemimpinannya. Selain itu, tipe kepemimpinan ini tidak mampu mengakomodasi kepentingan masyarakatnya karena tipe ini pemimpin ini tidak mau berbaur dengan masyarakat secara langsung di mana-mana selalu menggunakan pengawalan ketat. Tipe pemimpin seperti ini hanya mau bergabung jika ada sebuah momen yang tepat untuk melakukan pencitraan untuk memuluskan rencananya atau untuk mencalonkan kembali dirinya sebagai seorang pemimpin.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan model kepemimpinan pertama yaitu kepemimpinan tradisional yang mencerminkan gaya kepemimpinan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kepatuhan dan loyalitas, mengedepankan kepentingan orang lain (masyarakat) serta nilai toleransi yang tinggi, serta memberikan contoh yang baik kepada yang dipimpinnya dengan mengutamakan nilai-nilai moral di dalam masyarakat serta memberikan perlindungan kepada masyarakatnya. Akan tetapi, tipe ini mencerminkan proses penguasaan, terlepas dari hal ini tipe kepemimpinan ini lebih mengutamakan aspek moral karena aspek moral sangat menentukan berjayanya dan tidak berjayanya seorang pemimpinan karena moral merupakan landasan dan kriteria utama dari masyarakat, maka tidak diragukan lagi bahwa proses kepemimpinan ini mendapat simpati dari masyarakatnya. Tipe pemimpin seperti ini harus rela mengorbankan harta bahkan jiwanya untuk kepentingan masyarakat, tipe pemimpinan harus bertindak sebijaksana mungkin dalam rangka mengayomi, menuntun dan mensejahterakan seluruh masyarakatnya, jika ada rakyatnya kesulitan, maka seorang pemimpin harus menolongnya. Selain itu pemimpin yang tidak mempunyai kualitas seperti ini dianggap sebagai pemimpin yang tak layak untuk memimpin.
Namun, dalam proses pemilihan pemimpin tradisional menggunakan prinsip pewarisan kepemimpinan dalam masyarakat di dasarkan pada stratifikasi sosial tetapi bukan berarti bahwa semua keturunan bangsawan secara otomatis akan menjadi seorang pemimpin akan tetapi, orang yang mengetahui segala seluk beluk atau tata cara menjadi seorang pemimpin dan ketentuan-ketentuan dalam masyarakat sehingga orang yang akan menjadi pemimpin memiliki proses belajar yang panjang. Cermin dari model kepemimpinan ini bisa dilihat dari masyarakat Dusun Karumpuang, desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo kabupaten Sinjai dan Kajang di Bulukumba dan masih banyak daerah yang bisa di teliti mengenai sistem kepemimpinan ini seperti ini. proses pengangkatan pemimpin mengutamakan musyawarah dan mufakat. Konsep kepemimpinan yang seperti ini cukup ideal untuk diterapkan dalam sistem yang modern saat ini yang mengalami krisis moralitas yang hanya mengejar tingkat prestise dan status di masyarakat sebagai orang yang berkuasa.
Mentransformasikan nilai, pemikiran atau ajaran di masa lalu untuk ditarik ke masa kini, memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa. Karena budaya luhur (kearifan lokal) menjadi diskursus di kalangan para akademisi sekarang bisa dilihat dari berbagai macam seminar yang sudah dilaksanakan dengan mengusung kearifan lokal untuk menjadi alternatif pengganti sistem sekarang yang dianggap gagal. Konsep kepemimpinan saat ini merupakan sebagai produk luar yang harus di ganti dengan konsep kepemimpinan yang tradisional yang mengutamakan moral dan suara hati masyarakatnya bukan karena sebuah keterpaksaan untuk memilih orang yang mereka tidak kenal atau memilih pemimpin karena janjinya yang diobral di mana-mana. Upaya untuk mengganti sistem kepemimpinan saat ini hanya merupakan sebuah romantika di kalangan para elit dan akademisi karena hanya tergugah pada konsep yang ideal dalam sistem kepemimpinan akan tetapi mereka tak pernah tergugah untuk mengaktualisasikannya. Realitas ini kita bisa pungkiri untuk penerapan model kepemimpinan tradisional karena lingkup UNM saja tidak mampu kita terapkan bahkan di skala mikro di UNM tingkatan lembaga kemahasiswaan sama-sama mengutamakan tirani kekuasaan dibandingkan dengan mendengar suara masyarakatnya.

0 komentar: