Pada hari Rabu, 17 Desember 2014 aku duduk di ruang tamu sedang menyampul
buku. Hari itu, sebenarnya tidak ada yang istimewa pada hari itu. Entah mengapa di tengah-tengah kesibukan ku. aku di datangi oleh kedua orang tua ku. Mereka sedang mengamati aktivitas
yang sedang aku lakukan, pada mulanya mereka hanya diam. Lama-kelamaan mereka
mulai terusik dengan suara bising dari lakban yang aku Tarik dari gulungannya.
Pertanyaan yang terlontar pertama dari pihak ayah ku, “kok lakban digunakan untuk menyampul buku?”, pertanyaan
itu mulai terlontar secara bertubi-tubi, aku belum sempat menjawabnya. “Kenapa
kamu mesti membungkus buku mu?”, Apakah buku mu, akan kamu simpan?, kenapa kamu
tidak buang saja”. Kemudian, ibu ku turut memberikan penjelasan bahwa buku-buku
kakak mu hanya dibuang-buang bahkan hanya disimpan di gudang hingga berdebu dan
rusak. Kakak-kakak mu tidak pernah melakukan hal serupa sebelumnya”. “apakah
buku-buku masih bisa digunakan oleh generasi selanjutnya?. Sementara aku hanya
tersenyum mendengarkan penjelasan dan pertanyaan mereka sambil menyampul buku.
Pertanyaan-pertanyaan dan sikap pesimis kedua orang tua ku terhadap buku,
bukan tanpa alasan. Kedua orang tua ku, sedikit pun tidak pernah tersentuh
dengan tradisi keberaksaraan. Ibu ku hanya mengenal huruf lewat pembelajaran
otodidak, beliau hanya mampu mengeja huruf demi huruf tidak bisa menyambungnya.
Sementara ayahku sedikit pun beliau tidak mengenali huruf bahkan cara memegang
pulpen beliau tidak tahu. Alasan yang lain, sikap kakak-kakak ku mengabaikan buku-bukunya yang selama ini,
mereka tidak pernah menjamah bukunya setelah selesai dari sekolah maupun dari
perguruan tinggi. Latar belakang ini menjadi alasan utama ketidakpahamannya
terhadap fungsi dan kegunaan buku. Sikap yang ditujukan orang tua kepada ku,
bisa jadi dialami juga oleh orang lain.
Dengan keterbatasan ku, aku berusaha menjelaskan satu persatu dari
pertanyaan yang mereka lontarkan. Mulai pentingnya menyampul buku bahkan hal
yang paling urgen. Tapi, yang ku utarakan dalam tulisan ini perihal pertanyaan “kenapa
kamu tidak buang saja itu buku mu?” apakah buku itu bermanfaat untuk generasi
selanjutnya? Kedua pertanyaan mengelikan bagi para pecinta buku. Mungkin ada
beberapa orang akan menganggap pertanyaan ini sangat bodoh. Apalagi ketika
dilontarkan oleh kalangan berpendidikan. Tapi, tidak sedikit juga kalangan berpendidikan melontarkan pertanyaan yang sama
diungkapkan oleh orang tua ku.
Bagi kedua orang tua ku, buku itu tidak memiliki arti apa-apa, mereka
menganggap bahwa buku hanya digunakan hanya semasa studi atau masa
sekolah/kuliah. Tapi, bagi saya pertanyaan ini adalah nasehat yang paling
berharga dari kedua orang tua ku yang “buta huruf”. Mereka mengingatkan ku pada
arti pentingnya buku dan pentingnya pengetahuan. Dengan pertanyaan mereka, aku
diberikan tanggung jawab untuk menjelaskan pentingnya buku kepada mereka. Aku menjelaskan
kepada mereka bahwa manfaat buku itu tidak pernah lekang oleh waktu dan bisa
diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, buku merupakan pengabadian gagasan
bagi para penulisnya, buku turut menyebarkan informasi untuk meningkatkan
penguasaan ilmu pengetahuan secara sistematis dan runtut. Buku itu mengajarkan
kita berpikir analitis, reflektif dan deskriptif. Berbanding terbalik dengan
budaya lisan mengajarkan kita berpikir sederhana dan singkat. Sebagaimana
dijelaskan oleh Sir Issac Newton bahwa dengan membaca, kita berpikir dengan
menggunakan kepala orang lain. Membaca di sini bisa diasosiasikan terhadap buku
sebagai sumber informasi dan pengetahuan. Penjelasan ini tentunya tidak seperti
yang aku jelaskan kepada orang tua ku.
Ketidaktahuan mereka terhadap kemanfaatan buku, seolah menyederhanakan
fungsi buku. Buku hanya dibutuhkan di ranah akademik sebagai panduan dalam
menyelesaikan tugas-tugas siswa maupun mahasiswa. Pemahaman yang
sederhana ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikan orang tua ku yang “buta
huruf”. Sehingga penghargaan terhadap buku masis sangat rendah. Sikap orang tua
ku ini, tersibak makna mereka belum sepenuhnya menghargai buku. Kurangnya penghargaan terhadap buku, sama halnya
tidak menghargai karya orang lain. Selain itu, pengabaian terhadap buku sama halnya tidak
menghargai jerih payah orang lain. Tentunya pemahaman
ini tidak dimiliki orang tua ku. Maka, beliau butuh penjelasan mengenai peran
dan fungsi buku, supaya mereka tahu bahwa buku yang ku miliki adalah hasil
tetesan keringatnya. Membuang buku
yang aku miliki, sama hal aku mengkhianati usaha dan jerih payahnya. Setidaknya
pengabdian dan penghargaan kepadanya dengan menghargai pengorbannya. Walaupun
penghargaan itu hanya sebatas memuliakan buku. Memuliakan buku bukan
hanya menyampul, menyimpang dan
mengoleksi tapi dengan membacanya. Dan memuliakan buku sebagai eksepsi (pengecualian) dari pemuseuman. Kata
pemuseuman bermakna pada “menyimpang atau mengoleksi”
Penjelasan yang diutarakan dalam tulisan ini mungkin sangatlah subjektif,
tapi secara historis peradaban-peradaban yang besar terlahir dari tradisi
membaca buku. Tapi, kebesaran manfaat buku tidak ada artinya ketika tidak ada
kesadaran untuk mengembangkan tradisi membaca dan memuliakan buku. Seperti
halnya yang terjadi sekarang, pemuliaan terhadap buku di perpustakaan sebatas
pengoleksian belaka. Perpustakaan ibaratnya hanyalah sebuah museum. Museum
digunakan untuk pembuangan arkeologi. Sementara, perpustakaan sebagai tempat
pembuangan. Seperti halnya tindakan yang dilakukan oleh kakakku dengan mengabaikan
buku-bukunya.
Satu yang patut diapresiasi dari orang tua ku, karena mereka menyadarkan ku
pentingnya buku dengan cara menyekolahkan ku. Sebab, aku tidak pernah tahu
manfaat buku ketika aku tidak disekolahkan. Hingga, Aku tahu bahwa buku adalah
pemecah es yang mencairkan lautan yang membeku dalam jiwa. Sama halnya yang di
utarakan oleh Ahmad Wahib bahwa Dengan membaca, aku melepaskan diri dari
kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi
sebentar lagi akan datang saatnya di mana aku tidak bisa lagi lari dari
kenyataan. akhir
kata beribu terima kasih kepada kedua orang tua ku. Mereka menyadarkan ku pada
kenyataan bahwa aku dituntut untuk memuliakan buku. Selamat hari ibu, terima
kasih bu yang senantiasa mengingatkan di saat lupa untuk membaca. Sebab, dengan
membaca membuka rasionalitas yang terbungkus dalam memori.