Selasa, 30 Desember 2014

,

Buku dan Orang Tua


Pada hari Rabu, 17 Desember 2014 aku duduk di ruang tamu sedang menyampul buku. Hari itu, sebenarnya tidak ada yang istimewa pada hari itu. Entah mengapa di tengah-tengah kesibukan ku. aku di datangi oleh kedua orang tua ku. Mereka sedang mengamati aktivitas yang sedang aku lakukan, pada mulanya mereka hanya diam. Lama-kelamaan mereka mulai terusik dengan suara bising dari lakban yang aku Tarik dari gulungannya. Pertanyaan yang terlontar pertama dari pihak ayah ku, “kok lakban  digunakan untuk menyampul buku?”, pertanyaan itu mulai terlontar secara bertubi-tubi, aku belum sempat menjawabnya. “Kenapa kamu mesti membungkus buku mu?”, Apakah buku mu, akan kamu simpan?, kenapa kamu tidak buang saja”. Kemudian, ibu ku turut memberikan penjelasan bahwa buku-buku kakak mu hanya dibuang-buang bahkan hanya disimpan di gudang hingga berdebu dan rusak. Kakak-kakak mu tidak pernah melakukan hal serupa sebelumnya”. “apakah buku-buku masih bisa digunakan oleh generasi selanjutnya?. Sementara aku hanya tersenyum mendengarkan penjelasan dan pertanyaan mereka sambil menyampul buku.
Pertanyaan-pertanyaan dan sikap pesimis kedua orang tua ku terhadap buku, bukan tanpa alasan. Kedua orang tua ku, sedikit pun tidak pernah tersentuh dengan tradisi keberaksaraan. Ibu ku hanya mengenal huruf lewat pembelajaran otodidak, beliau hanya mampu mengeja huruf demi huruf tidak bisa menyambungnya. Sementara ayahku sedikit pun beliau tidak mengenali huruf bahkan cara memegang pulpen beliau tidak tahu. Alasan yang lain, sikap kakak-kakak ku  mengabaikan buku-bukunya yang selama ini, mereka tidak pernah menjamah bukunya setelah selesai dari sekolah maupun dari perguruan tinggi. Latar belakang ini menjadi alasan utama ketidakpahamannya terhadap fungsi dan kegunaan buku. Sikap yang ditujukan orang tua kepada ku, bisa jadi dialami juga oleh orang lain.
Dengan keterbatasan ku, aku berusaha menjelaskan satu persatu dari pertanyaan yang mereka lontarkan. Mulai pentingnya menyampul buku bahkan hal yang paling urgen. Tapi, yang ku utarakan dalam tulisan ini perihal pertanyaan “kenapa kamu tidak buang saja itu buku mu?” apakah buku itu bermanfaat untuk generasi selanjutnya? Kedua pertanyaan mengelikan bagi para pecinta buku. Mungkin ada beberapa orang akan menganggap pertanyaan ini sangat bodoh. Apalagi ketika dilontarkan oleh kalangan berpendidikan. Tapi, tidak sedikit juga kalangan  berpendidikan melontarkan pertanyaan yang sama diungkapkan oleh orang tua ku.
Bagi kedua orang tua ku, buku itu tidak memiliki arti apa-apa, mereka menganggap bahwa buku hanya digunakan hanya semasa studi atau masa sekolah/kuliah. Tapi, bagi saya pertanyaan ini adalah nasehat yang paling berharga dari kedua orang tua ku yang “buta huruf”. Mereka mengingatkan ku pada arti pentingnya buku dan pentingnya pengetahuan. Dengan pertanyaan mereka, aku diberikan tanggung jawab untuk menjelaskan pentingnya buku kepada mereka. Aku menjelaskan kepada mereka bahwa manfaat buku itu tidak pernah lekang oleh waktu dan bisa diwariskan secara turun-temurun. Selain itu, buku merupakan pengabadian gagasan bagi para penulisnya, buku turut menyebarkan informasi untuk meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan secara sistematis dan runtut. Buku itu mengajarkan kita berpikir analitis, reflektif dan deskriptif. Berbanding terbalik dengan budaya lisan mengajarkan kita berpikir sederhana dan singkat. Sebagaimana dijelaskan oleh Sir Issac Newton bahwa dengan membaca, kita berpikir dengan menggunakan kepala orang lain. Membaca di sini bisa diasosiasikan terhadap buku sebagai sumber informasi dan pengetahuan. Penjelasan ini tentunya tidak seperti yang aku jelaskan kepada orang tua ku.

Ketidaktahuan mereka terhadap kemanfaatan buku, seolah menyederhanakan fungsi buku. Buku hanya dibutuhkan di ranah akademik sebagai panduan dalam menyelesaikan tugas-tugas siswa maupun mahasiswa. Pemahaman yang sederhana ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikan orang tua ku yang “buta huruf”. Sehingga penghargaan terhadap buku masis sangat rendah. Sikap orang tua ku ini, tersibak makna mereka belum sepenuhnya menghargai buku. Kurangnya penghargaan terhadap buku, sama halnya tidak menghargai karya orang lain. Selain itu, pengabaian terhadap buku sama halnya tidak menghargai jerih payah orang lain. Tentunya pemahaman ini tidak dimiliki orang tua ku. Maka, beliau butuh penjelasan mengenai peran dan fungsi buku, supaya mereka tahu bahwa buku yang ku miliki adalah hasil tetesan keringatnya. Membuang buku yang aku miliki, sama hal aku mengkhianati usaha dan jerih payahnya. Setidaknya pengabdian dan penghargaan kepadanya dengan menghargai pengorbannya. Walaupun penghargaan itu hanya sebatas memuliakan buku. Memuliakan buku bukan hanya menyampul, menyimpang dan mengoleksi tapi dengan membacanya. Dan memuliakan buku sebagai eksepsi (pengecualian) dari pemuseuman. Kata pemuseuman bermakna pada “menyimpang atau mengoleksi”
Penjelasan yang diutarakan dalam tulisan ini mungkin sangatlah subjektif, tapi secara historis peradaban-peradaban yang besar terlahir dari tradisi membaca buku. Tapi, kebesaran manfaat buku tidak ada artinya ketika tidak ada kesadaran untuk mengembangkan tradisi membaca dan memuliakan buku. Seperti halnya yang terjadi sekarang, pemuliaan terhadap buku di perpustakaan sebatas pengoleksian belaka. Perpustakaan ibaratnya hanyalah sebuah museum. Museum digunakan untuk pembuangan arkeologi. Sementara, perpustakaan sebagai tempat pembuangan. Seperti halnya tindakan yang dilakukan oleh kakakku dengan mengabaikan buku-bukunya.

Satu yang patut diapresiasi dari orang tua ku, karena mereka menyadarkan ku pentingnya buku dengan cara menyekolahkan ku. Sebab, aku tidak pernah tahu manfaat buku ketika aku tidak disekolahkan. Hingga, Aku tahu bahwa buku adalah pemecah es yang mencairkan lautan yang membeku dalam jiwa. Sama halnya yang di utarakan oleh Ahmad Wahib bahwa Dengan membaca, aku melepaskan diri dari kenyataan yaitu kepahitan hidup. Tanpa membaca aku tenggelam sedih. Tapi sebentar lagi akan datang saatnya di mana aku tidak bisa lagi lari dari kenyataan. akhir kata beribu terima kasih kepada kedua orang tua ku. Mereka menyadarkan ku pada kenyataan bahwa aku dituntut untuk memuliakan buku. Selamat hari ibu, terima kasih bu yang senantiasa mengingatkan di saat lupa untuk membaca. Sebab, dengan membaca membuka rasionalitas yang terbungkus dalam memori.

0 komentar: