TAFSIR SOSIAL ATAS KENYATAAN:
KESENJANGAN SOSIAL DI MASYARAKAT PUSAT
Oleh : sampean
Kenyataan
menurut Peter L berger adalah sebagai sebuah kualitas yang terdapat dalam
fenomena-fenomena yang kita akui sebagai memiliki Keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak
kita sendiri (kita tidak dapat “meniadakan dengan angan-angan). Ini risalah
yang di sampaikan oleh Berger atas sebuah kontruksi fenomena-fenomena kehidupan
sehari-hari manusia. Pemandagan atas kenyataan ini membuka mata kita untuk
menikmati sebuah pemandangan yang ironik dalam sebuah masyarakat.
Pemandangan itu adalah sebuah kesenjangan
sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kesenjangan sosial yang terjadi bukan
hanya pada sebuah sistem hirarkis dan kasta yang terkonstruk oleh sistem
primordial masyarakat setempat atau masyarakat adat. Akan tetapi, kesenjangan
sosial itu terbentuk oleh sebuah sistem hegemoni oleh sebuah sistem sosial yang
bersifat universal. Ketimpangan ini Menurut Fritjof Japra bahwa zaman ini telah
di selimuti oleh sebuah penyakit-penyakit Peradaban. krisis sosial dan budaya
terjadi dimana-mana. Ungkapan ini di lanjutkan oleh Koppi Annam bahwa abad
ke-20 merupakan sebuah abad yang terkejam.
Abad
ke-20 ini menangantarkan kita pada sebuah dunia yang tak berjarak, di seluruh
akses semakin cepat, dunia penuh dengan ketidakpastian. Kondisi ini
mengantarkan kita pada sebuah kenyataan seperti yang di bahasakan oleh Peter L
Berger bahwa kenyataan itu tidak bisa kita hindari. Kenyataan itu di
perhadapkan pada kita atas kedirian kita sebagai individu dan kelompok atas
sebuah realitas yang sesungguhnya. kesenjangan
sosial yang terjadi merupakan sebuah proses rekayasa sosial (Sosial Engginering) atas kendali epos
modernitas.
Selubung
modernitas itu memperlihatkan kita pada sebuah penampakan kesenjangan sosial
yang terjadi dengan miniatur-miniatur spasional dan temporal. Pemandangan ini
di telah di ungkapkan oleh Anthony Giddens terkait dengan proyek epos
modernitas itu. Menurut Giddens modernitas adalah sebuah panser raksasa (Janggernaut) yang dinamis dan sulit
untuk di kendalikan (Runaway). Epos
ini menurut Anthony Giddens terdiri dari empat institusi yaitu pertama, kapitalisme berdasarkan pada
sebuah kepemilikan modal pribadi, sistem produksi, sistem kerja tanpa Poverty,
dan sistem kelas. Kedua,
Indutrialisme merupakan bentuk eksplorasi Alam dengan menggunakan teknologi. Ketiga, birokratisme adalah sebuah
susunan struktural bersifat hirarkis
untuk melakukan proses pengawasan terhadap individu dan kelompok
terhadap aktivitasnya terkhususnya warga pada konteks kenegeraan. Keempat, Militerisme merupakan sebuah institusi
yang di gunakan untuk mengendalikan konflik sosial yang terjadi dalam
masyarakat sehingga fungsinya merupakan sebuah social control (pengaman).
Keempat
institusi ini mengantarkan masyarakat dalam sebuah tingkatan solidaritas
organik dalam masyarakat menurut Durkheim. Dimana masyarakat berada sistem
difirensiasiasi dan stratifikasi sosial yang tinggi. Diferensiasi dan
stratifikasi sosial ini menurut Giddens bahwa hal ini di sebabkan oleh sebuah
sistem keahlian teknik yaitu proses kecakapan teknik yang di miliki oleh
masing-masing individu atau keahlian profesionalisme yang di bentuk oleh sebuah
institusi sosial. Berdasarkan dengan pandangan ini Berger membahasakan bahwa
sistem sosial saat ini semakin plural
yang mengakibatkan sebuah ketimpangan sosial[1].
Kesenjangan status sosial semakin jelas penempakannya. Refleksifitas dari
sebuah tatanam sosial ini tak lebih dari sebuah momok atas kesejangan sosial
yang terjadi dalam masyarakat.
Kesenjangan
sosial bukan hanya pada sebuah status dan peran sosial di dalam ruang-ruang
sosial. Akan tetapi, kesenjangan sosial dapat di amati dengan pada ruang yang
telah terpolarisasi. polarisasi ruang telah banyak di kemukakan oleh
tokoh-tokoh sosial dalam membahas kesenjangan sosial. Sebab dari polarisasi
tersebut adalah penerapan kebijakan ekonomi, Hukum, prinsip-prinsip kemanusiaan
yang bersifat Universal. Bentuk-bentuk dari polarisasi dunia yang menjajakkan
indikator-indikator yang bersifat universal menggunakan hukum positivistik. Akibat
dari polarisasi itu mengakibatkan munculnya berbagai macam konstruk
fenomena-fenomena kesenjangan sosial. kesenjangan sosial yang di bentuk polarisasi ruang adalah seperti yang
di kemukakan oleh Samir Amin dalam mendefinsikan polarisasi dengan menggunakan
perangkat ekonomi bahwa negara maju berada di pusat (core/Central)dan negara miskin pinggiran (peryphery). Konteks ini
memberikan kita sebuah gambaran dalam bentuk sentralisasi pembangunan. Relasi
dari ungkapan Samir Amin dengan kesenjangan sosial dengan tulisan ini adalah
pada pendikotomian ruang yaitu pusat dan pinggiran. Akan tetapi analisis ini
tidak di gunakan untuk membahas kesenjangan yang terjadi pada antara pusat dan
pinggiran. Melainkan, pada kesenjangan sosial yang terjadi di bagian pusat.
Pendikotomian
ini mamandu kita untuk masuk sebuah pendikotomian baru mengenai pusat dan pinggiran
terhadap pembacaan mengenai ruang terhadap masyarakat adalah masyarakat pusat
dan masyarakat pinggiran. Masyarakat pusat adalah masyarakat yang mendiami
wilayah kota sedangkan wilayah pedesaan merupakan sebuah masyarakat pinggiran.
Sesuai dengan pandangan sebelumya bahwa kesenjangan tidak berada pada lokus
kesenjangan pusat dan pinggiran. Akan tetapi menjadi fokus pemabahasan adalah
kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat pusat yang berdiri di atas dari
sebuah kenyataan pada masyarakat pusat. Hal ini bisa kita lihat pada realitas
masyarakat pusat seolah menjadi wisata pengatahuan untuk menjelajahinya dengan
berbagai ketimpangan diantaranya sebagai berikut:
Miniatur Pencakar Langit VS Miniatur Kumuh
Menurut
Soekarno presiden RI pertama bahwa Kemajuan suatu negara di tandai oleh
keberadaan sebuah bangunan yang menjulang tinggi dalam tata ruang kota dalam
suatu wilayah atau negara. Hal ini bisa kita amati dari beberapa negara di
dunia yang punya perekonomian yang cukup maju dan masyarakatnya sejahtera.
Negara-negara tersebut adalah Prancis yang Identik dengan menara Eiffel,
Amerika Serikat Identik dengan patung Liberty, Italy Identik dengan menara
Pisa. Sehingga hal mendasari pembangunan Monuman Nasional (MoNas) yang di
miliki oleh Indonesia yang menjadi tanda
keberadaan ibu kota RI dan kohesi sosial yang di masyarakat. Akan tetapi,
keberadaan MONAS tidak menunjang Indonesia ke arah yang lebih baik. Justru
bangunan ini hanyalah sebagai gudang penyimpangan romantisme masa lalu. Karena
generasi mudah saat ini sudah ogah dengan kehidupan yang primordial yang tidak
menawarkan fantasi seks. Di MONAS tidak ada pelampiasan hasrat untuk di kosumsi
kecuali meniatur-miniatur yang bercerita.
Sebagai
bahan reflektif dunia identik dengan gedung-gedung pencakar langit. Ketika di
lihat di atas udara bahwa dunia ini menjadi lukisan gedung pencakar
langit. Di hiasi dengan warna-warna
rumah kaca yang menyilaukan mata, bangunan tersusun latihan berbaris dengan
satu komando garis jalan. Dunia saat telah sesak dengan gedung yang menjulang
tinggi. Apartemen yang berdiri kokoh, istana para konglemerat, perusahaan
beridiri tegak atas kecokkakannya dengan ekskploitasi terhadap alam, gedung
pemerintah berhias kemewahan, restoran melampui pendapatan, pusat perbelanjaan
sebagai monumen kebuasan konsumtivisme manusia. Pesta wisata menjadi fenomena
manusia modern. Kenyataan ini bisa di lihat terhadap negara-negara yang
memiliki gedung tinggi seperti Malaysia yang identik dengan negara Petronas,
Kuba Identik dengan gedung Pencakar langit, Arab Saudi Identik dengan jam
tertinggi di dunia. Gedung ini menjadi penanda terhadap sebuah negara walfare state (negara kesejahteraan),
masyarakatnya dianggap sebagai masyrakat yang sejahtera dan swasembada. Di
negara-negara ini pula para penikmat wisata dunia keluyuran.
Pertanyaan
kemudian dimana posisi Indonesia sebagai penanda negara Walfare state yang jelas dengan konstitusi keindonesiaan.
Sebenarnya gedung yang menjulang tinggi di Indonesia tidak kalah menarik dengan negara-negara yang
lain, lihatlah peseona Jakarta yang di penuhi dengan gedung-gedung yang tinggi,
segala pusat berada disana. Bahkan orientasi dari setiap daerah membangun kota
dunia yang di penuhi ketimpangan sosial yang ada disana. Apakah permasalahannya
hanya bersifat sektoral atau atau keseluruhan wilayah Indonesia.
Jakarta
merupakan ibukota negara yang menjadi pusat pemerintahan dan administasi dan
sekaligus pusat ekonomi. Pesona wajah
Jakarta yang menggiurkan dan mengalihkan pandangan setiap orang yang melihatnya
akan tetapi di balik wajahnya yang mempesona dan rupawan ternyata menyimpang
sebuah kemunafikan. Di balik gedung-gedung yang menjulang tinggi itu sebuah
pemandangan yang lain. Lingkungan kumuh berada di kanal-kanal Jakarta,
pemukiman kumuh di sudut-sudut Kota dan paling para adalah di belakang gedung
yang menjulang tinggi ternyata terdapat pemukiman yang tak layak huni. Masih
ada rakyat hidup di kolom jembatan, masih ada rakyat tidur di trotoar jalan,
sekecam itu kota. Sebuah ibu kota RI yaitu Jakarta.
Bergeser
ke daerah lain sebagai cerminan kemajuan di Indonesia Timur yaitu kota daeng
(Makassar). Dengan pergerakan perekonimian yang cukup maju sehingga menjadi
contoh bagi daerah lain dalam mengembangan perekonimiannya. Dengan kemajuan
yang di miliki oleh kota makassar. Indonesia telah di tempah sebuah isu pada
Tahun 2010-2011 tentang perpindahan ibukota Indonesia. Salasatu kota yang
bersedia untuk menjadi calon kandidat ibu kota negara RI adalaha makassar,
selain itu pada tahun ini para pemimpin tertitnggi wilayah ini merencanakan
kota makassar menjadi kota dunia. Hal ini menjadi tidak mustahil sebab
apapun bisa di raih apabilah di sertai
usaha yang giat dengan mengorbankan nasib masyarakatnya.
Sadarkah
pemerintah saat ini dengan kondisi masyarakatnya saat ini, lihat penampilan
makassar. Makassar tidak ubahnya dengan Jakarta setiap hari macet mulai dari
sekitar jam 4 sore sampai jam 8 malam telah mengalami kemacetan di jalan-jalan
utama. Kita tidak usaha melihat kesiapann infrastruktur-infrakstruktur. Akan
tetapi lihatlah kondisi masyarakatnya, pinggir Kanal merupakan sebuah pemukiman
yang kumuh, tidak percaya silahkan telusuruhi kanal-kanal kota makassar
khususnya du belakang mesjid Istiqlal. Selain pemukiman yang tak layak huni ada
di pusat pemerintahan kota makassar yang di lindungi oleh gedung-gedung yang
menjulang tinggi sekitar area pantai losari.
Pemandangan
ini menjadi warna di masyarakat perkotaan atau masyarakat pusat dimana di balik
sebuah country state terdapat sebuah
kesenjangan sosial yang cukup besar. Lihatlah wajah mereka dan dimana dia
tinggal kata Iwan Fals tidur beralaskan bumi beratapkan Langit. Hal ini menjadi
hiasan kehidupan masyarakat kecil yang tak punya apa-apa. Selain itu rumah
mereka di lingkungan kumuh berdinding dengan zeng, beralaskan dengan tikar,
penuh dengan hiasan koran. Tetapi lihatlah disana rumah mereka beratap sakura roof , berdinding betong,
berhiasi dengan barang antik Cina. Bertabur emas dan mutiara. Mobil tiga di
pelataran parkir sementara penduduk marjinal berkendaraan roda sampah bercek
lumpur-lumpur sampah.
Tidak
adakah ibah untuk mereka untuk berbagi nasib. Apakah mereka hanya sebagai objek
pahala di bulan suci bagi orang-orang yang berduit. Hanya menerimah santunan
ketika hari-hari suci tiba. Seperti bulan suci ramadhan yang menjadi ladang
yang paling subur bagi mereka. Ini hanya sebuah nestapa kemanusiaan untuk di selesaikan bersama. Hal ini butuh
rangkulan kita untuk melangkahkan kaki bersama untuk mencapai kemanusiaan yang
ideal. Kita butuh Utopia untuk meneggakaan keadilan untuk disusupkan dalam
realitas supaya realitas itu ada.
Dasi dan Telapak tangan keatas
Ketimpangan
sosial struktur tata ruang kota di bahas
sebelumya. Namun, dalam epos modernitas yang telah di kemukakan oleh Giddens
mengenai epos ini adalah sebuah sistem birokrasi yang di ciptakan untuk
mengendalikan sebuah situasi sosial yang telah terdiferensiasi oleh sebuah
spesialisasi-spesialiasasi keilmuan. Dengan epos ini menusia menjadi
terinstitusinalisasi. Institusional ini membentuk sebuah manusia yang homogen
dan eksklusif.
Dengan
kehidupan yang seperti ini nilai dan moralitas menjadi terlembagakan dalam
sebuah institusi. Pembuktian kapabilitas seseorang di ukur dari deretan angka
dengan simbolitas pembungkus diri. Sistem tata nilai menjadi konstruk sosial
menjadi budaya yang universal. Pemaksaan sebuah identitas untuk di terapkan
sebuah identitas yang lain, peniadaan pluralitas estetis untuk menghadirkan
pluralitas kronik. Pluralitas estetis
adalah pengayoman terhadap kedirian individu lain dengan tidak memaksakan
kehendak kita terhadapnya. Sedangkan pluralitas kronik adalah pemaksaan
indentitas yang lain untuk menjadi bagian dari kita dengan menggunakan prinsip
spesialiasi-spesialiasi. Sebagai contoh pluralitas kronik sangat berbeda dengan
isntitusi-institusi dengan pluralitas dalam dalam masyarakat yang tidak
terinstitusionaliasasi. Sebagai contoh institusi pendidikan menciptakan sebuah
pluralitas dengan spesialiasi-spesialisasi disiplin keilmuan dengan cara
pemaksaan kehendak akan tetapi dalam masyarakat pembentukan karekter dan
kreatifitas berjalan begitu alami menentukan potensi hidupya.
Kehadiran
birokrasi menjadi titik pangkal oleh sebuah kelas sosial baru dalam masyarakat.
Pada awalnya sistem kelas dalam masyarakat di tentukan oleh sistem primordial
atau sistem hukum adat namun dalam pembentukan kelas dalam masyarakat tersebut
bersifat eksklusif seperti pada pembentukan kelas pada masyarakat hindu yang
menjadi empat kasta. Tingkat kesenjahteraan ini seseorang di tentukan oleh
posisi setiap kasta sebab tidak mampu melakukan mobilitas sosial.
Namun
konteks ini tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial yang terjadi saat ini.
Akan tetapi situasi sosial yang terjadi saat ini tak jauh bedanya dengan zaman
lampau dimana fondasi kehidupan sosial dengan sistem liberal. Semestinya yang
kita tahu adalah bahwa yang terjadi saat ini adalah neo hukum rimba bahwa
kehidupan ini adalah sebuah kompetisi dan persaingan siapa yang tidak punya
modal dan skill harus tersingkir dari arena persaingan. Bersiap untuk menjadi
budak para modal dengan kerja upah
minimun yang sangat rendah.
Dengan
munculnya berbagai berbagai macam kelas karena ditentukan oleh status dan peran
yang di embangnya. Dalam kelas ini memberikan sebuah perbedaan yang cukup
signifikan terhadap masing-masing peran yang di miliki dengan upah yang di
dapatkan. Akan tetapi menurut Marx bahwa dalam masyarakat terdapat dua kelas
yang yaitu kelas ploretariat dan kelas borjuasi. Akan tetapi, dalam kondisi
masyarakat saat ini bukan hanya kelas ini yang bermain tapi dengan berbagai
macam kelas.
Akan
tetapi realitas masyarakat pusat adalah fenomena munculnya berbagai macam
profesi dan keterbukaan pada hati nurani. Salasatu profesi di masyarakat
kontemporer adalah masyarakat peminta-peminta. Kelas sosial ini menjadi
sandingan terhadap masyarakat berdasi di masyarakat pusat. Ketika kita berjalan
di dalam institusi dan lembaga pemerintahan, lembaga formal kita menemukan
pemandangan yang mengasyikkan yaitu pakaian yang bersih, rapih, wajah yang
rupawan. Pesona mengalihkan dunia ku untuk bisa menjadi mereka.
Situasi
yang berbeda ketika kita berjalan di kota ini pada pinggir jalan di hiasi
dengan pemandangan yang berbeda yaitu sebuah penampakan sosial yang timpang
seperti disabilitas adalah kelas sosial yang memiliki kekurangan salasatuh
tubuh, Lansia (Lanjut usia), anak Kecil yang tak tau apa-apa, semuannya berada
di pinggir jalan menengadahkan tangannya ke atas berharap sesuap nasi untuk
hari ini. Fenomena seperti bisa kita amati di jalan Hasanuddin kota makassar
dan masih banyak jalan lagi yang di tempati kelas seperti itu menengadahkan ke
atas. Namun yang menjadi pertanyaan adalah di balik kehidupan di masyarakat
pusat adalah yang gelamor, kelimparuahan pendapatan dan tingkat kesejahteraan
ternyata masih ada sebuah kelas sosial seperti itu. Apakah kelas sosial ini
merupakan sebuah rekayasa sosial atas eksistensinya di kota atau karena sebuah
situasi alamiah yang menentukan posisi mereka seperti itu. Hal ini menjadi
sebuah tanda tanya dengan kehidupan kota merupakan ruang yang terbuka untuk
melakukan mobilitas sosial akan tetapi masih ada kelas sosial yang
terpinggirkan.
Ataukah
memang ruang sosial ini merupakan sebuah arena hutang belantara gedung—gedung
pencakar langit sebagai arena kompetisi sebagi penerapan hukum neo hukum rimba
sehingga mereka adalah orang-orang yang kalah pertarungan tersebut. Sehingga
mereka menjadi kelas belas kasih sebagai penyeimbang kelas sosial yang lain
supaya ada orang yang di kasih dan tempat pengeluaran bagi kelasnya.
Sehubung
dengan ini terdapat teori dalam sosiologi yaitu sosiologi struktural fungsional
bahwa kelas sosial ini merupakan sebuah perangkat sistem sosial secara
fungsional telah teringtegrasi ke dalam sebuah bentuk ekuilibrium[2].
Sehingga kelas sosial ini merupakan sebuah kewajaran sebab kelas sosial ini
akan beradaptasi dengan lingkungan sosial yang menjadi pembentuknya. Sehingga
kehadirannnya merupakan sebuah penyeimbang dengan kelas sosial yang lain.
Akan
tetapi, bukankah keberadaan mereka butuh
di selamatkan, dimana posisi negara yang telah menjajikan mereka kehidupan yang
layak bahwa anak terlantar dan fakir miskin di pelihara oleh negara dan tanah,
dan bumi di kuasi oleh negara untuk kepentingan rakyatnya. Apakah ini hanyalah
sebuah anekdot yang tak perlu kita terapkan.
Permaslahan
sosial yang terjadi saat ini tak perlu di kembalikan kepada negara sebab negara
hanya sibuk dengan urusn internasionalnya. Mari bersama berjuang untuk
membebaskan mereka dari keterpenjaraan sistem yang tidak adil. Mereka butuh
uluran tangan kita untuk berjuang bersama untuk keluar di lingkaran setang
kemiskinan. Siapa lagi kalau bukan kita untuk bersama dengan mereka.
Apakah Pedagan Kaki Lima sebagai Anomali
Fenomena
lain yang di tampakkan dalam ruang masyrakat pusat adalah penataan tata ruang
kota. Sekali lagi sistem sosial yang tak berpihak pada masyarakat kecil dan
memiliki modal yang sangat kecil, bersiap untuk tersingkir dari persaingan.
Sebab keberadaan mereka akan di buang pada tempatnya. Salasatu penyeimbang
dalam perekonomian makro adalah kehadiran perekonomian mikro. Salasatu dari bentuk dari perekonomian mikro
adalah keberadaan pedagang kaki lima.
Pedagang
kaki lima ini mewarnai pinggir-pinggir jalan kota makassar dan kota-kota besar
di Indonesia. Keberadaannya menjadi tumpuan ekonomi kelas bawah sebagai
penopang perekonomian mikro. Di sinilah para kelas-kelas bawah menjadi
sandungan untuk mengatur roda perputaran uangnya tidak seperti para pengusaha
yang lainnya hanya berbicara simbolitas uang dengan jumlah fantastis dengan
bentuk saham. Akan tetapi dalam masyarakat pedagan kaki lima hanya berbicara
pada lima perak dan gocek. Inilah perbedaaan ekonomi mikro dan makro secara
sepintas lalu yang tidak terwakili secara keseluruhan dalam disksusi ini. Refleksi
peristiwa atas sumbangsih ekonomi mikro dengan konteks kebangsaan. Pada tahun
1997 Indonesia dilanda depresi ekonomi mengakibatkan Indonesia jatuh tersungkur
akibat krisis ekonomi global. Sistem
perekonomian yang kacau balau posisi ekonomi Indonesia berada kondisi buncit
selama kemerdekaan negara Indonesia. Banyak perusahaan-perusahaan berskala
Nasional Kolaps dan guling tikar. Pengangguran terjadi dimana-mana. rakyat
Indonesia turut merasakannya dengan inflasi ekonomi yang tinggi. Kondisi ini
pun jadi kunci pengusiran masa orde baru (Presiden RI ke-2 Suharto) dari
singasana kepresiden selama 32 tahun.
Akan
tetapi, dalam kondisi ini di mana para pelaku ekonomi mikro, para pelaku
ekonomi mikro masih tetap eksis dalam posisinya masing-masing mengatur pola
peredaran uang sesama masyarakat kecil. Para pedagan kaki lima menjadi sandaran
penopang perekonomian sebagai pemasok dan penyuplai kebutuhan masyarakat di
pada ketika itu kebutuhan-kebutuhan sulit di jangkau oleh sebagian masyarakat.
Tetapi, pedagan kaki lima tetap bertahan
dengan modal yang sangat kecil. Peranan ekonomi mikro terhadap
bangkitnya kembali ekonomi makro seolah tidak menjadi bahan pertimbangan.
Pemerintah bangsa ini seolah lupa dengan peranan ekonomi mikro dan lebih memperhatikan
pelaku ekonomi makro.
Selepas
dari permasalahan tersebut adalah dengan melihat posisi keberadaan pedagan kaki
lima di trotoar jalan. Siapa mereka!mereka adalah pelaku ekonomi mikro. Apa
yang mereka lakukan! Adalah sedang menjajakkan makanannya untuk bertahan hidup
dari buasnya kehidupan kota. Tapi kenapa mereka di sana! Bukankah hal ini
mengotori pemandangan kota! Mereka ada disana karena tidak mendapatkan
perhatian dari pemerintah untuk
mendapatkan tempat yang layak untuk mereka. Mereka sebanarnya sudah di siapkan
oleh pemerintah akan tetapi posisi tempatnya tidak strategis dan kurang di
kunjungi oleh pengunjung. Selain itu mereka kalah bersaing dengan para
pelaku-pelaku ekonomi yang punya modal besar.
Sehingga untuk mendapatkan konsumen mereka menacari tempat strategis
menjajakkan dagannya. Tempat itu adalah di pinggir jalan di pusat aktivitas
kantor dan lembaga-lembaga penting. Perhatikan lapak mereka, mereka selalu
berdampingan dengan kantor-kantor.
Akan
tetapi, menjadi pertanyaan apakah pedagan kaki lima sebagai anomali dalam
kehidupan perkotaan atau bukan! Berdasarkan undang-undang penataan ruang di
sinilah posisi pedagan kaki lima sebagai
anomali sebab mereka dianggap menganggu keindahan kota sehingga posisi
mereka di anggap sebagi sampah yang perlu untuk di bersihkan yang terjadi
adalah penggusuran. Sehingga yang terjadi adalah konflik antara pasukan
pemerintah (Satpol PP) versus pedagan kaki lima. Pemandangan ini sebagai pentas
sandiwara kehidupan akan kerasnya perjuangan kehidupan di dalam kota. Mereka
mempertahankan posisinya masing Satpol PP menegakkan hukum dan pedagan kaki
lima memperjuangkan keberlangsungan hidupnya. Akibatnya atau korban adalah
berada kedua pihak tersebut tapi yang adem adalah para penontonnya dan
pengambil parkebijakan yang di lindungi para kroninya.
Eksklusif VS Insklusif
Selaras
dengan kesenjangan sosial yang terjadi dalam masyarakat pusat sederet peristiwa
telah mewarnai kesenjangan-kesenjangan itu. Seharusnya kita tidak luput pada
sebuah pergeseran nilai yang terjadi
dalam masyarakat pusat menurut Durkheim bahwa masyarkat pusat adalah sebuah
masyarakat yang berada di tingkatan solidaritas organik di masyarkat telah
terdiferensiasi dan stratifikasi sosial sehingga memicu terjadi berbagai macam
profesionalisme.
Sehubung
dengan itu Ferdinan Tonnis mengatakan yang sama bahwa pola pergeseran ini
adalaah sebuah pergeseran dari masyarakat yang gemeischaft ke geselchaft.
Masyarkat gemeischaft adalah masyarakat yang tingkat kekeluargaan sangat tinggi
dan rasa persaudaraan, kebersamaan masih
terjalin dengan baik. Akan tetapi, dalam masyarakat Geselchaft nilai itu
menjadi bergesar menjadi nilai yang bersifat individualistik dan acuh tak acuh
dalam kehidupan di sekitarnya. Kondisi ini memicu terjadinya sebuah ekslusivitas
dalam masyarakat itu dengan berbagai macam pola prilakunya.
Fenomena
itu bisa kita lihat dalam masyarakat pusat melalu prilakunya. Dalam sebuah
realitas itu sebanarnya merupakan sebuah proses objektivasi dari lingkungan
sosial yang terjadi dalam dirinya. Akan tetapi, perlu kita ketahui eksluvitas
itu kita bisa lihat dari struktur-struktur bangunan yang melingkupi rumahnya.
Coba perhatikan struktur bangunan yang terdapat dalam masyarakat pusat.
Rumah-rumah mereka telah di batasi dengan tembok yang cukup tinggi sampai tidak
ada orang yang bisa mengamati aktivtasnya dari luar atau tetangganya. Efek dari
ini adalah tetangga yang satu dengan tetangga yang lain tidak saling mengenal.
Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Mereka masing teraleanasi dari kehidupan
yang menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial.
Selain
itu, perilaku masyarakat pusat adalah
mereka hanya mereka bergaul dengan seprofesinya saja. Orang-orang dalam
masyarakat tersebut hanya lebih akrab dengan sahabat kantornya dari pada yang
lain. Hal ini mendasari ekslusivitas bagi dirinya atas objektivasi dari
pergaulan mereka. Karena kehidupan mereka hanya di kejar dengan waktu dengan
pekerjaan yang menempuk. Sehingga dengan aktivitas yang seperti ini membentuk
dirinya dan teralienasi dari kehidupan sosial.
Sehingga
dengan fenomena yang muncul sebuah organisasi-organisasi perkumpulan sesuai
dengan latar belakang denga profesi mereka seperti perkumpulan para dosen dan
perkumpulan para mahasiswa dan perkumpulan geng motor. Selain itu, perkumpulan itu
memunculkan ekslusivtas terhadap
kelompok yang lain di dasari oleh ego. Sehingga mengakibatkan terjadinya
masyarakat konflik sosial.
Tak
luput dari itu eksklusivitas adalah
memci terjadinya kehidupan yang individualistik dan sikap acuh dan tak
acuh dalam realitas sosial sehingga untuk mendapatkan sebuah perubahan besar
dalam masyarakat tersebut sangat kecil kemunkinannya terjadi. Sebab mereka
cenderung mementingkan dirinya sendiri dan konsep berpikir bersifat
utiltarianisme yang bermain.
Kesenjangan Sosial Sebagai Proyek
Dengan
berbagai macam fenomena-fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat pusat
memberikan keuntungan pada pihak lain. Karena keberadaan kesenjangan sosial
merupakan sesuatu yang menggiurkan. Hal yang mendasari tersebut adalah
munculnya para cendikiwan yang ingin melacurkan kemampuannya. Kesenjangan sosial di jadikan alat sebagai
mata pencaharian untuk meraut keuntugan yang sebesar-besarnya. Kesenjangan
sosial sebagai proyek bisa di lihat dar berbagai aspek dan fenomena sosial yang
terjadi dalam masyarakat seperti pertama Penjualan kesenjangan sosial yang
paling laku di pasar adalah pesta demokrasi. Sebab para aktor-aktor pesta
demokrasi menjajakkan jualannya terhadap sebuah solusi terbaik untuk
kesenjangan sosial. Akan tetapi, kelarisan jualan itu tergantung dari proses
rasionalisasi kepada konsumen. Konsumen di buai dengan solusi berbagai macam
janji-jani politik tentang sebuah kesejahteraan, akan tetap realisasi dari hal
tersebut hanya sebagai langkah untuk memuluskan jalan untuk mencapai sebuah
posisi tertentu.
Kedua,
para NGO dan organisasi manjadi ladang subur untuk meneriakkan kepentingan
rakyat atas nama perjuangan. Penjualan perjuangan tersebut adalah sebuah
kesenjagan sosial. Hal ini menjadi momen bagi mereka untuk mendapatkan sebuah
posisi tertentu di kepemerintahan. Akan tetapi terkadang berteriak atas nama
rakyat akan tetapi kepentingan yang di bawah adalah kepentingan kelompok.
Ketiga,
kesenjangan sosial adalah sebgai proyek akadamis sebab hal ini menjadi pemantik
para pelaku akademis untuk melakukan penelitian dan berbagai macam diskusi di
dalam ruang-ruang sosial. Hal yang paling mendasari dalam banyak kesenjangan sosial
di jadikan sebagai judul-judul penyelesaian akhir dan mode-mode penelitian yang
lain. Selain itu adanya kesenjangan sosial bisa di gunakan untuk mendapatkan
pendapatan sosial. hal Ini mungkin yang mendasari Talcot Parson bahwa sesuatu
disungsional akan funsional pada masanya karena akan menyusaikan dengan kondisi
yang fungsional.
Penutup
Dari
berbagai pemaparan yang terjadi di atas. Analsis tentang kenyataan sosial
dengan kesenjangan sosial tidak bisa terwakili secara keseluruhan. Bahkan
ada beberapa hal yang bersifat parsial
sehingga masih perluh di tambahkan data-data yang real tentang kenyataan itu.
Akan tetapi dengan melihat situasi sosial saat ini, hal ini menjadi sebuah
kenyataan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sebab kenyataan sosial adalah
sebuah realitas yang berada di sekitar kita yang melingkupi kehidupan manusia.
Daftar Bacaan
Johnson,
Doyle Paul.1986. Teori Sosiologi Modern. Jilid
I. Diterjemahkan Oleh Robert M.Z.
Lawang. Jakarta: Gramedia.
Luckman,
Thomas dan Peter L. Berger. 1990. Tafsir
Sosial atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES
Ritzer,
Goerge. 2011. Sosiologi Ilmu Pengetahuan
Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali.
Ritzer,
George. 2012. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Terakhirnya Postmodern. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
0 komentar:
Posting Komentar