FIKSI
Mungkin kata “Fiksi” bagi kita
semua adalah kata yang sederhana. Pemahaman kita akan tertuju pada pendefinisian
Bahwa fiksi adalah hasil rekaan atau khayalan yang tidak punya kenyataan
(KBBI). Betulkah seperti itu, fiksi tidak punya kenyataan!!. Dari sumber yang
berbeda “fiksi” di artikan sebagai prosa naratif yang
bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan
mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar
manusia (dalam Teori Pengkajian Fiksi Burhan Nurgiyantoro (1995), (Wikipedia.org/wiki/fiksi).
Kedua
penjelasan ini, aku berusaha mendeskripsikan tentang fiksi sesuai dengan
kapasitas ku, selaku sosiolog. Sebagai seorang sosiolog sudah tentu akan
mengalami keterbatasan untuk mengkaji tentang “fiksi” yang notabenenya adalah
kajian bahasa. Tulisan ini lahir dari pendiskusian dari teman dunia “maya” yang
mencecar beberapa pertanyaan. Maka sepatutnya pula, saya menjawab dari pertanyaan
itu dengan berbagai keterbatasan ku sebagai sosiolog. Saya menjelaskan dengan
sudut pandang sosiologis sebab, disiplin itu yang melahirkan saya atas
legitimasi ijasa. Sepantasnya pula, harus menguasai disiplin ilmu itu walau
belum sempurna. Sebab, kesempurnaan hanya dimiliki oleh pemilik kesempurnaan
itu.
Berangkat dari penjelasan di atas
tentang fiksi belumlah cukup untuk memenuhi pertanyaan saudara penanya dari
dunia maya itu. Secara garis besar pertanyaan itu, menyangkut eksistensi
kenyataan dalam fiksi. Penanya menganggap bahwa fiksi pada dasarnya hasil
rekaan semata yang tidak punya wujud realitas. Sungguh pernyataan ini sangat
mengelitik. Tapi entahlah, apakah asumsi ini hanya menguji pemahaman saya
terkait dengan tersebut atau memang dia belum tahu tentang itu. Semoga anggapan
ini salah, dari penjelasan disampaikan menunjukkan penanya memiliki wawasan
terkait pendiskusian tersebut. walau, penjelasan tentang “fiksi” lebih
dipersempit. Bagi saya itu tidak menjadi persoalan., karena dalam dirinya juga
terdapat unsur kebenaran.
Dari dua sumber yang berbeda
tentang penjelasan “fiksi” perlu digaris bawahi yaitu khayalan, imajiner dan
kenyataan. Ketiga terma tersebut menjadi unsur pembangun dalam menyusun
struktur bahasa dalam mendefinisikan “fiksi”.
Namun, terlepas dari ketiga kata tersebut tentunya kita tidak boleh melupakan
kata “fantasi”. Menurut Budiono Kusumohamidjojo ketiga istilah tersebut tidak
terlalu dibedakan dalam KBBI, bahkan memiliki keserupaan. Sementara, Budiono
Kusumohamidjojo menjelaskan dalam buku filsafat
kebudayaan proses realisasi manusia bahwa fantasi dan imajinasi
cukup berbeda, Fantasi adalah sebagai daya manusia untuk membayangkan dan
memikirkan sesuatu tanpa bertolak dari pengalaman (memikirkan yang tidak
terpikirkan). Sedangkan imajinasi merupakan daya manusia untuk membayangkan
memikirkan sesuatu dengan bertolak dari pengetahuan (memikirkan yang belum
dipikirkan). Penjelasan ini kurang bermanfaat dalam penjelasan fiksi. Tapi
cukup untuk memberikan pemahaman kejelasan kekeliruan dalam fiksi tersebut.
kedua unsur tersebut sudah jelas ada dalam fiksi. Fiksi pada dasarnya sulit
lepas di arena bahasa. Kedua hal tersebut dihadirkan pada ruang struktur
bahasa. Sedangkan di arena bahasa dan alam fiksi, realitas yang yang tidak punya
wujud kenyataan material dan tidak terfantasikan dan imajinasikan, kondisi yang
seperti itu hadir hanya bahasa, seperti segita lima sisi, gunung yang menangis,
bulan yang tertawa, lingkarang yang berujung. Konsep-konsep ini hanya hadir
lewat bahasa, dan digunakan dalam bahasa fiksi. Pengungkapan ini dikenal
sebagai gaya bahasa konotasi. Bahkan sulit di imajinasikan dan difantasikan.
Tapi, makna sejatinya hadir lewat bayang-bayang kenyataan. Bahkan sulit
menemukan kenyataan. Tapi, setidaknya memberikan sebuah kenyataan bahwa ada
yang hadir lewat bahasa tapi tidak punya kenyataan material, namun ada. Itu nyata, lewat fiksi
Fiksi tidak boleh dilepaskan dari
yang mengadakannya yaitu hasil narasi pikiran manusia. Fiksi sebagai narasi
manusia, tentunya hasil pemainan pikiran manusia yang seusai penjelasan
sebelumnya yaitu fantasi, imajinasi dan
arena bahasa.
Bahasa, Narasi dan
Kenyataan
Perwujudan suatu fiksi adalah
narasi. Narasi tersebut dituturkan oleh manusia melalui teks. Pesan teks akan
tersampaikan melalui bahasa. keindahan yang disampaikan oleh karya fiksi
bergantung dari permainan bahasa. Permainan bahasa sesuai selera penggunanya. Dalam ruang fiksi dan bahasa akan mengandung metafora,
pengandaian, anekdot, adagium, majas dan lain-lain. Kesemuanya itu adalah
permainan bahasa untuk menggambarkan realitas yang sulit terbahasakan. Bahkan
bahasa mampu mengkerdilkan dan memperluas kenyataan melalui bahasa. bahkan
fiksi tidak punya latar belakang histori, ataupun realitas. Tapi fiksi
menceritakan sebuah kenyataan. Entah kenyataan itu hadir setelah kehadiran
narasi atau kenyataan yang melatarbelakanginya. Inilah realitas fiksi.
Fiksi pada dasarnya menyampaikan
pesan kepada interpreter (pembaca) tentang makna. Fiksi kurang memedulikan
realitas sesungguhnya bahkan cenderung melebih-lebihkan (hipebola) tentang realitas.
Fiksi akan menyampaikan realitas kesempurnaan yang berbeda dengan sesungguhnya.
Fiksi akan berbeda dengan bahasa pers atau jurnalistik yang menggambarkan atau
mendeskripsikan realitas/kenyaataan yang sesungguhnya. Bahasa pers diangkat
melalu fakta dan harus sesuai dengan fakta tersebut. sementara, fiksi tidak.
Bahasa punya ruang tersendiri dimana sang penutur punya otoritas menggambarkan
realitas fiksi tersebut. maka ada yang beranggapan bahwa bahasa fiksi
mengandung kebohongan. Anggapan tentunya mengandung kebenaran. Sebagaimana yang
dituturkan oleh Muhiddin M. Dahlan bahwa penulis fiksi adalah pembohong yang
baik.
Fiksi akan melukiskan tentang
keindahan. Karya fiksi merupakan ungkapan imajinatif, fantasi dan khayalan
melalui narasi. Maka fiksi bisa menghadirkan melo drama dalam sebua drama
narasi. Fiksi mampu menghadirkan aktor-aktor narasi yang sempurna bahkan paling
jahat sekalipun. Sebagaimana dilukiskan oleh film mahabrata yaitu sikap Krisna
atau nama lainnya Basu Dewa atau Govinda, sikap dan tutur katanya begitu
lembut, tindakannya penuh dengan sikap kebajikan. Sikap merepresentasikan
sebagai seorang dewa bahkan Dia anggap sebagai dewa. Gambaran cerita ini saya
sesuai dengan kebutuhan saya, sebagaimana pendiskusuan saya dengan teman dunia
maya. Kembali lagi dengan pertanyaan
teman saya “apakah tokoh seperti krisna itu pernah ada?”
Pertanyaan ini agak menyulitkan bagi saya untuk menjawab
pertanyaan ini. Sebab, saya tidak pernah hidup di mana tokoh itu hadir. Cerita
ini tersampaikan lewat narasi teks dan narasi dari tutur manusia. Cerita ini
dikonversi melalui visual untuk disampaikan kepada khalayak. Film itu tidak
mempersoalkan apakah kenyataannya ada atau tidak itu urusan khalayak. Maka saya
berpendapat bahwa bisa saja tokoh itu pernah ada. Sikap kesempurnaan yang
dimiliki oleh sikap Krisna untuk merepresentasikan bagi malaikat, ataupun dewa.
Tapi, dalam dunia yang nyata menunjukkan lakon yang berbeda sepertinya halnya
dengan sikap nabi dan rasul. Ketika kita penganut agama setidaknya kita percaya
tentang kenabian. Sikap kenabian dan kerasulan akan menggambarkan sebuah sikap
dan tindakan kesempurnaan manusia. Seperti ungkapan Istri Nabi Muhammad SAW,
Aisyah. ra ketika ditanya bagaimanakah akhlak nabi, beliau menjawab Sungguh
akhlak Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam adalah al-Qur’an. Al
Quran di sini melambangkan kesempurnaan, sulit manafikan tersebut. Tapi
bagaimana dengan Krisna??. Krisna bisa merepresentasikan sikap nabi tersebut
walaupun disampaikan melalui lakon yang berbeda sebagaimana dengan dunia fiksi.
Sampai disini saya tetap meyakini
bahwa ada manusia yang memiliki sikap mirip dengan Krisna. Sebab, sikap
kesempurnaan merupakan potensi dalam diri yang senantiasa terus menjadi. Hanya
proses sampai kesana tidak berjalan sebagaimana seharusnya karena melakukan
penyimpangan-penyimpangan. Ketika ada usaha akan meniru dengan sikap tersebut
tidak akan menjadi sebagaimana Krisna dan sikap nabi tersebut. sikap
kesempurnaan ini dibantah oleh erik Fromm bahwa pada dasarnya sikap otentik
manusia adalah agrasif selalu berbuat kegaduhan. Dalam sebuah karya fiksi lakon
jahat dan kebaikan akan tetap ada.
Disinilah keindahan fiksi dimana
dunia diracik sesuai dengan selera, menggugah imajinasi dan menciptakan epos
yang sulit dengan akal rasional manusia. bahkan, tipuan sekalipun bisa diyakini
bahwa keberadaannya itu ada. Itulah kekuatan fiksi. Fiksi dan fiktif itu nyata.
Bulukumba, 19 September 2014
Oleh “S”
0 komentar:
Posting Komentar