Rabu, 25 Mei 2011

Cultur Barat ada di Kampus

Cultur Barat ada di Kampus

Perkembangan kehidupan saat ini serba kompleks di bawah pengaruh kapitalisme dengan berbagai tawaran kebahagiaan hidup yang sifatnya materil yang menjajikan surga dunia dengan fasilatator tehnologi yang dia tawarkan untuk memenuhi hasrat manusia dan memenuhi kebahagiaannya. Pengaruh ini tidak bisa di nafikan sebagai produk dari modernisasi untuk menciptakan Peradaban Barat diseluruh belahan Dunia, proses hegemoni ini di sebut sebagai proses Westernisasi sebagai visi terselubung dari modernisasi untuk menciptakan budaya yang universal. Budaya universal ini diterima baik di Indonesia di segala institusi-institusi pemerintahan sebagai kenyamanan hidup di luar jangkaun kemanusiaan. Kultur Barat (Budaya Universal ) ini disebut sebagai budaya populer (biasa disingkat Budaya POP) yang menciptakan budaya instan dengan life style yang molek yang elok dipandang pandang berdasarkan iklan di media yang menciptakan indikator kehidupan dari budaya POP. Produk dari budaya POP memiliki banyak varian untuk mempengaruhi kehidupan manusia diantaranya sebagai berikut :
Pertama, Demokratisasi Hasrat yaitu budaya POP dianggap berasal dari rakyat yang dianggap memiliki budaya tinggi di Barat, sehingga budaya ini disebarkan untuk rakyat di belahan dunia untuk menjadi selera bagi rakyat. Sehingga tolak ukur dari kebahagiaan mereka berasal dari seberapa banyak alat teknologi yang dimilikinya dan seberapa mahal tehnologi yang digunakannya hal ini tergantung dari hasrat manusia yang diluar kontrol rasio manusia sebagai bentuk kebebasan atau kemerdekaan manusia untuk mencapai kebahagiaannya. Pengaruh ini sangat terasa aktualisasinya di masyarakat yang memiliki strata yang paling bawah.
Kedua, Budaya Instan merupakan ciri utama dari budaya POP yang dapat diamati lansung dari penggunan Tehnologi yang serba instan. Gaya hidup ini sebenarnya memiliki dampak positif dan negatif bagi kehidupan manusia karena memiliki posisi yang netral dalam penggunaannya. Akan tetapi dalam penerapannya lebih banyak moderatnya karena disalahgunakan oleh penggunanya. Pengaruh ini masih dalam satu sisi dari segi kebutuhan tersier, budaya instan pun sangat terlihat dari kebutuhan sandang, papan dan pangan manusia dari gaya hidupnya. Dimana diciptakan serba instan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehingga tidak ada celah lagi untuk mencicipi budaya-budaya tradisional. Karena munculnya pakain yang instan, makanan instan, perumahan yang instan tinggal menyediakan berapa duit untuk mendatangkan semua hal itu, hal ini pun dipermudah dengan adanya kredit yang dilakukan oleh para Bank dan para rentenir bagi yang membutuhkan uang segera dengan sebuah jaminan.
Ketiga, Budaya konsumerisme adalah budaya yang diciptakan oleh Barat yang berciri khas Americanisme yang mengutamakan prinsip manusia yang ekonomikus yang memandang dunia hanya sebagai materi untuk menjadi surga bagi dirinya sehingga hidupnya difokuskan pada kepentingan ekonomi dimana kesejahteraan manusia diukur dari materi yang dimilikinya sebagai corak hidup untuk menjadi manusia didepan publik. Budaya ini telah merasuki masyarakat Indonesia sehingga sudah menjadi syarat mutlak bagi kehidupan perkotaan terutama pada kalangan mudah untuk ikut budaya ini. Efek ini sangat terlihat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia kebanyakan hidupnya dihabiskan berbelanja di Mall dengan harga yang tinggi sebagai penanda memiliki hirarkis kelas dalam lingkungannya sebagai orang terpandang, wibawa diukur dari seberapa banyak barang mewah yang dimiliki untuk menjadi mulia dihadapan masyarakat. Dampak dari budaya ini menciptakan manusia yang ambisius untuk memenuhi ketidakpuasannya terhadap kebutuhan hidupnya dengan barang serba mewah yang tidak diukur dari rasio kebutuhan karena pendorong dari budaya hasrat yang tersentuh langsung dari sebuah sistem yang membentuknya sehingga pergerakan budaya ini sangat cepat karena negara tak mampu mengkanter budaya ini apalagi di Indonesia sengaja dikembangbiakkan sebagai bangsa penikmat tehnologi.
Keempat, Etika Pragmatis berangkat dari ketiga budaya di atas bahwa manusia selalu diarahkan pada sebuah kesejahteraan yang selalu diukur dari sebuah materi. Etika pragmatisme merupakan sebuah produk dari modernisme untuk menciptkan manusia setengah manusia atau manusia lumpuh yang jauh dari nilai-nilai mahluk sosial yang hanya condong kepada individualistik yang oportunis karena Etika Pragmatis memiliki kehidupan yang selalu mengharapkan keuntungan atas segala tindakanya dan harus mampu dilihat secara kasat mata, kesuksesan selalu diukur dari jabatan yang dimilikinya dengan besaran pendapatan yang diraihnya, kesejahteraan di ukur dari barang mewah yang dimilikinya. Etika ini melambangkan matinya nalar perikemanusiaan karena terkadang manusia untuk memenuhi kategori ini manusia terkadang melakukan segala cara untuk memenuhi kebutuhannya walaupun untuk mengorbankan orang lain disekitarnya. Sehingga banyak orang mengatakan bahwa “lebih baik aku hidup bahagia dia atas penderitaan orang lain.” Sehingga perilaku manusia menjadi amoral seperti yang kita lihat sekarang saat ini adalah banyaknya tindakan korupsi, kriminal, asosial, diskriminatif yang mewarnai kehidupan ini tapi pelakunya bukan hanya dari masyarakat awan tapi pelaku utamanya adalah orang-orang yang berdasi.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah kenapa budaya ini masuk ke Indonesia begitu saja tanpa ada kontrol dari pemerintah karena telah meruntuhkan budaya lokal bangsa ini yang berakibat fatal pada sistem sosial Indonesia sebab budaya ini telah meracuni generasi mudah bangsa ini. Tapi yang lebih parah adalah Budaya POP ini sudah menjadi budaya nasional karena sudah menjadi budaya seragam dengan life style satu dimension dengan model Baratisme atau mirip dengan iklan di TV menurut ST12 dari salah satu judul lagunya sebagai bentuk penggambaran dari kehidupan modernitas. Gaya kehidupan modernitas ini sudah menjadi keharusan bagi setiap masyarakat terutama pada masyarakat perkotaan karena tidak mengikuti zaman ini dianggap ketinggalan zaman karena tidak mengikuti perkembagan budaya barat katanya sebagai budaya yang universal. Proses hegemoni budaya ini berasal dari media yang menggongborkan superior barat yang mampu menguasai teknologi dengan budaya yang dianutnya. Sehingga budaya ini telah mempengaruhi institusi-institusi formal maupun non formal terutama di dunia pendidikan khususnya di Perguruan Tinggi yang tepatnya biasa disebut dengan kampus tempat hidupnya kaum intelektual dengan budaya intelektualnya pula. Disitulah tempatnya orang-orang yang bermoral sebagai agen of change, moral force, social control yang biasa disebut sebagai peran dan fungsi mahasiswa. Tapi saat ini berbanding terbalik dari konsep ideal dari seorang mahasiswa karena cultur budaya barat telah melakukan urbanisasi di kampus sebagai corak kehidupan kampus saat ini.
Kultur ini sangat terlihat dari kehidupan mahasiswa dengan life style modern yang mengikuti gaya Barat. Style sangat nampak pada aksesoris yang mereka miliki serta model kostum persis dengan kostum Barat yang memiliki harga yang cukup mahal. Sehingga, banyak mahasiswa rela membohonngi orang tuanya demi selembar kostum yang mereka ingin miliki untuk pergi dipesta teman-temannya supaya dianggap keren. Pengaruh budaya POP ini sangat terlihat di kehidupan mahasiswa dengan berbagai pelabelan yang digunakan terhadap mahasiswa ini seperti mahasiswa hedonisme, Pragmatisme, Homo ludens, apatis dan lain-lain. Bahkan mahasiswa sekarang ini mengalami dekandensi moral sehingga banyak terjebak dalam pergaulan bebas dengan berganti-ganti pacaran dengan gaya Barat, seperti istilah yang pernah saya dapat dalam forum diskusi pematerinya mengatakan seperti ini sekarang ini zaman serba cepat jadi gaya pacaran juga harus dipercepat dengan model seperti eksposisi berikut “kenalan hari ini, malamya sms-an, esok harinya jadian, besoknya jalan-jalan ke kost, tidak lama kemudian sudah satu atap.” Fenomena ini selalu membuatku bertanya kenapa kehidupan kampus ini begitu ironis yang identik dengan kehancuran moral diluar real-real dari peranan kemahasiswaan yang selalu diangunkan oleh masyarakat awan diluar sana yang tidak pernah menginjakkan kakinya di kampus.
Budaya kampus adalah pembuangan identitas mahasiswa dari nilai-nilai lokalitas dimana posisi mahasiswa berada pada posisi kemandirian yang pasif atas ketiadaanya orang tua sebagai kontrol individu yang selalu mencegah ke hal-hal yang di anggap negatif secara langsung sehingga individu itu merasa bebas untuk berkehendak (will to power) menurut Niestche. Sehingga lingkungan kampuslah yang memberikan warna kepada individu pasif itu untuk memberikan bentukan kepribadian itu dengan berbagai macam kultur dalam kampus tersebut sehingga banyak mahasiswa yang salah alamat dalam menempuh jalan hidup untuk dirinya yang tidak mampu bertahan dengan kehidupan yang serba elit yang disediakan oleh kampus dengan life Style yang menggiurkan karena budaya kampus saat ini mengarahkan kepada buadaya POP dimana budaya baca sebagai ciri mahasiswa telah hilang. Sementara perkembangan Budaya POP ini dimapankan oleh dunia pendidikan khususnya pada kampus karena Perguruan Tinggi mengarahakan Mahasiswa kepada hidup mekanis sebab Pihak Universitas lebih cenderung kepada pengembangan kreatifitas yang individualistik tanpa mengarahkan kepada bentukan mental sosio-religius kepada mahasiswa, bahkan pihak universitas melakukan proses reifikasi kepada mahasiswa menurut Lucas dengan pembekuan lembaga-lembaga kemahasiswaan dimana pihak birokrasi mengintervensi langsung lembaga kemahasiswaan baik penentuan program kerja sampai pencalonan ketua umum di intervnasi. hal ini pun dibenarkan oleh peraturan lembaga kemahasiswaan yang diatur oleh Universitas. Selain itu dalam proses transformasi ilmu dalam proses perkuliahan di dalam kelas mengajarkan kita menjadi seorang pembohong karena kita hanya diisi oleh seperti Botol yang kosong yang sulit untuk dibantah pandangannya yang mengancam memberikan nilai yang Error khususnya Dosen yang memberikan Metode Ceramah.
Selain itu dalam pemberian tugas yang dikerjakan dirumah keasliannya sangat dipertanyakan, karena mahasiswa tidak pernah merasa terbebani dengan tugas yang diberikan oleh dosen karena bahannya semuanya ada di internet pengaruh dari ini mengahasilkan mental mahasiswa sebagai mental palgiatnisme yang menjadi ciri khas bangsa ini. Budaya baca buku pun hilang akibat dari pengaruh ini sehingga kita susah untuk di urai ujung pangkalnya karena sudah sistem yang membentuknya selain itu terkadang dosen lebih mementingkan urusan bisnisnya daripada urusan akademik yang mengutamakan nilai materil yang ingin dirautnya. Sehingga proses akademik pun terlantar kebohongan pun terjadi untuk membenarkan tindakannya. Jadi kerusakan moral kepada mahasiswa tidak perlu dipertanyakan. Sehingga Nasib bangsa dipertanyakan dimana Pendidikan Menjadi lahan bisnis yang menciptakan manusia yang homo Ludens dan menciptakan manusia robotif yang bekerja untuk kepentingan pribadi yang sudah teralianeasi dari dunia sosial. Hal ini lah dicita-citakan oleh negara-negara kolonialisme untuk membuang nilai-nilai agama karena menjadi faktor penghambat dari kemajuan tehnologi sehingga bangsa Barat melakukan proses infiltrasi terhadap dunia pendidikan dengan budaya hasrat yang ditawarkan yang begitu menggiurkan karena iming-iming kesejahteraan, kesenangan dan kebahagiaan materi. Hal ini pun sulit untuk ditolak karena benar adanya dengan kenikmatan yang dimilikinya. Akibatnya pendidikan tidak lagi menciptakan jiwa-jiwa pembrontak untuk melakukan perubahan tapi pendidikan saat ini memapankan penindasan psikologis pada mahasiswa.

0 komentar: