Senin, 10 Oktober 2016

, ,

PARADIGMA DAN TRINITAS FILSAFAT

Oleh : SAMPEAN

PARADIGMA DAN TRINITAS FILSAFAT
Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam makalahnya pada Kuliah Umum “Paradigma Penelitian Ilmu-ilmu Humaniora" diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009 menjelaskan bahwa paradigma sebagai kerangka teoritis (theoretical framework), kerangka konseptual (conceptual framework), kerangka pemikiran (frame of thinking), orientasi teoritis (theoretical orientation), sudut pandang (perspective), atau pendekatan (approach). Dengan Kata lain menurut Ahimsa-Putra, paradigma sebagai seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/ atau masalah yang dihadapi. Atau menurut Guba (1990, hlm 77) (dalam K. Denzin dan S. Lincoln, 2009:123) Paradigma sebagai keyakinan dasar membimbing tindakan, menentukan pandangan dunia peneliti sebagai bricoleur.
Bricoleur (dalam K. Denzin dan S. Lincoln, 2009 : 2-3) adalah manusia yang serba bisa, profesional, dan mandiri. Bricoleur memunculkan brikolase sebagai serangkaian praktek yang disatupadukan dan disusun rapi untuk menghasilkan solusi terhadap masalah pada situasi yang nyata. Solusi (brikolase) hasil konstruksi baru  dari hasil metode Bricoleur. Metode ini ditekankan pada metodologi kualitatif (K. Denzin dan S. Lincoln, 2009 : 2-3).
Baik Ahimsa-Putra dan Guba menekankan pada seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis dan Seperangkat keyakinan memahami, menjelaskan, menafsirkan kenyataan membutuhkan paradigma. Paradigma sebagai cara pandang berdiri pada tiga elemen yakni ontologi, epistemologi, dan Metodologi (dalam K. Denzin dan S. Lincoln (Ed), 2009:123). Atau dalam, konsep filsafat dikenal sebagai trinitas ilmu pengetahuan yakni Ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi membicarakan hakikat tentang yang ada, yang merupakan ultimate reality baik berbentuk jasmani/konkret maupun rohani/abstrak (Bakhtiar, 2009). menurut Suriasumantri (1990) Ontology membahas tentang apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau, dengan kata lain suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Sedangkan menurut K. Denzin dan S. Lincoln (Ed)(2009 : 133) merumuskan pertanyaan ontologis, apa bentuk dan sifat dari realitas, apa yang dapat diketahui tentangnya.
Epistemologi berkaitan erat dengan konsep keilmuan relasi subjek dan objek. Atau dengan kata lain, epistemologi bagian filsafat mengkaji asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat,dan bagaimana memperoleh pengetahuan dan menentukan paradigma peneliti. Epistemologi menentukan karakter pengetahuan bahkan keberterimaan dan kebertolakan kebenaran. Epistemologi menentukan metode memperoleh pengetahuan. Jadi pertanyaan terbangun menurut Denzin dan S. Lincoln (Ed)(2009 : 133) yakni bagaimana prosedur, mekanisme, cara kerja segala sesuatu yang sesungguhnya, yang dibangun dari pertanyaan apakah sifat yang terjalin antara yang ingin mengetahui dan yang ingin diketahui dari sesuatu.
Aksiologi, Menurut Jujun S. Suriasumantri (1990) adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari ilmu pengetahuan yang diperoleh.  Sedangkan Wibisono (dalam Surajiyo, 2009:152) mendefinisikan aksiologi sebagai nilai yang  dijadikan landasan kebenaran, etika, dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu[1]. Sedangkan, pertanyaan metodologisnya, apa cara yang digunakan peneliti untuk mengetahui atau menemukan apapun yang ia percaya dapat diketahui (Denzin dan S. Lincoln (Ed), 2009 : 133).
Ketiga dasar kepercayaan ini menentukan sikap ilmiah seoran peneliti melihat kenyataan atau yang ingin diteliti. Asumsi-asumsi ontologis, epistemologi, dan aksiologi harus saling berkesinambungan dalam menyusun paradigma yang mengonstruksi peneliti. Paradigma dihadirkan menurut Guba (1992) (dalam Denzin dan S. Lincoln (Ed), 2009 : 134) untuk mewakili pandangan yang matang terhadap penganutnya untuk menghindari sikap relativitas radikal sebab dalam sederet jawaban atas tiga pertanyaan mendasar tiada lain dari konstruksi manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya Sebuah Pandangan. Makalah. Disampaikan dalam Kuliah Umum yang diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009.
Amsal, Bakhtiar. 2009. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali pers.
Denzin dan S. Lincoln (Ed). 2009. Handbook  Qualitative Research (Edisi Bahasa Indonesia). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta : Bumi Aksara.
Suriasumantri, Jujun S.1990. Filsafat ilmu: Sebuah Pengantar Populer.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.


[1] https://evinovi.wordpress.com/2009/12/04/59/ diakses pada 10-10-2016, pukul 12.15 WIB.


Catatan "Tulisan ini tidak untuk dikutip, apalagi untuk ditiru" silakan mengutip dari sumber primernya.

0 komentar: