Review Buku
: Pikiran Kembara (Moderniasasi dan Kesadaran Manusia)
Biarkan buku itu berbicara dengan realitasnya kepada kesadaran
subjek. Dimana realitas bersifat
intension. Sebagaimana kematian pengarang yang telah di dengunkan oleh Roland
Barthes terhadap sebuah karya tulis bahwa pengarang telah mati. Sebab,
keterberian informasi dalam buku atau karya tulis tersebut ada pada otoritas
subjek Pembaca untuk menginterpretasikan karya tersebut. Dengan menjalajahi
karya dari pemikir terkemuka yaitu Peter L. Berger, Brigitte Berger, Hansfriend
Kellner. lewat tulisannya Pikiran Kembara (modernisasi dan Kesadaran
Manusia) untuk membuka tirai kehidupan proyek modernitas yang menggugah
kesadaran atas sebuah ketimpangan dalam proyek tersebut.
Buku ini mengulas sebuah realitas kemoderenan atas kesadaran
manusia. karena dalam tatanam sosial hubungan individu dan realitas sekitarnya
memeliki sifat yang otonom dan terikat dalam sebuah kelompok. Akan tetapi,
dengan pola perilaku dalam masyarakat kontemporer yang paling dominan adalah
perilaku otonom itu sendiri dalam sikap individu, yang bersifat zkisoferenia.
Dalam pernyataan ini bahwa dalam ruang modernitas manusia mengalami sebuah
kegalauan identitas atas dirinya.
Dengan melihat konteks keindonesiaan. Budaya itu sangat rupawan,
pesonanya menebar ke semua ruang sehingga menjadi ektasi-ektasi kepada manusia
atau masyarakat. Budaya itu menjadi candu dimana penikmatnya adalah masyarakat
telah tersipuh di ruang-ruang rehabilitasi kebudayaan. Mereka tersenyum,
tertawa dan bahagia atas sebuah kekerdilan dirinya yang tidak menyadari identitasnya.
tak luput dari ingatanku di negeri ini telah di banjiri oleh budaya import
yaitu pada tahun 2000 negeri di sodomi budaya India, namun sebelum itu budaya negeri
telah berselingkuh dengan budaya Amerikanisme, namun pada akhirnya negeri ini
telah bersenggama dengann korea dengan budaya Gangnam Style dan Boy And
Gilrs Band. Namun, jauh sebelumnya negeri ini telah memperistri budaya Islam. Entahlah
selanjutnya siapalagi menjadi pasangan negeri ini. Negeri ini selayaknya
pelacur budaya. Dimana masyarakatnya adalah pelaku prostitusi budaya.
Perilaku ini begitu nyata di hadapan kita semua budaya asing
menjadi medang kepentingan untuk menjadi Eksis. Sebab Eksistensi dari sebuah
manusia dalam lingkup sosial adalah mengikuti arus yang di bentuk oleh pola
arus media atau teknologi atas budaya tinggi. Konstruksi kedirian individu
telah dibentuk sedemikian rupa oleh teknologi untuk menginjakkan jejak
lengkahnya untuk berjalan di atas pasir. Kontruksi itu hadir atas modeling
aktor atas sebuah sosok figur yang patut di contoh oleh publik atas
perilakunya, dimana tubuh adalah sebuah kontruksi produk.
Perjalanan negeri adalah perjalanan ekspansi budaya asing.
Mengenal keasliannya seperti menutup mata di tengah kegelapan.
Pergeseran-pergeseran kebudayaan hanya menapaki jejaknya atas spekulan-spekulan
atas sebuah preuposisi yang tak jelas arahnya. Tak pelak lagi kita berada pada
sebuah posisi global village
(Perkampungan global). Dimana identitas telah melampui ruang dan waktu. Sulit
mengenal batas dan teritorial dari sebuah negera seperti yang di ungkapkan oleh
Anthony Giddens ruang ini telah menyusut. Kita di perhadapkan sebuah dunia
virtual (nayata tapi tidak aktual). Kehidupan ini seolah menjadi tidak real
seperti khayalan belaka yang tidak mengenal jejak. Ruang-ruan sosial menjadi
tersitematisi oleh sebuah tatanam
monolitik terbentuk oleh kehidupan yang monodimensi. Realitas ini seolah
menekan individu dalam kesadaran dalam dunia yang nyata.
Menapaki buku Peter L Berger DKK, meniupkan ruh atas sebuah
kegelisahan atas realitas modernitas yang di tinjau dari sosiologi pengetahuan.
Membuka wejangan-wejangan kesadaran manusia atas keberadaan teknologi. Peran
teknologi dalam ruang modernitas sebab produksi teknologi memberikan peran
penting terhadap kondisi kesadaran manusia. karena saat ini kesadaran modern
telah banyak berpusat pada “Pandangan Dunia Ilmiah” atau “mentalitas
Keinsinyuran”. Dari pandangan ini para ilmuwan atau Insinyur memandang
masyarakat sebagai masyarakat berteknologi. (hal 29)
Kesadaran Subjek
Kesadaran subjek sebagai sebuah tumpuan dalam modernitas atas
sebuah terwujudnya sebuah tatanam sosial atas produksi teknologi dengan kesadaran
manusia. sehingga dalam proses abtrakasi
terhadap realitas memberikan logika produksi telah terasuki dalam kesadaran
manusia. Pembentukan kesadaran manusia terhadap produksi Teknologi telah
mencecah pengetahuan dengan berbagai serpihan atas pengetahuan yang di miliki
manusia. serpihan-serpihan pengetahuan
ini membentuk polanya masing-masing sesuai dengan kondisi sosial yang dialami
seorang individu. Seperti yang di jelaskan dalam buku ini bahwa kehidupan
keluarga dan kehidupan keluarga memiliki pola pengatahuan dan gaya kognitif di
miliki individu (hal 34). Kesadaran
individu itu mengaju pada instutisi dalam kedirian individu. Sehingga terjadi
sebuah keterpisahan antara dunia kerja
dan dunia Individu (hal 34).
Akibatnya, pengetahuan tentang kerja di tentukan pada tingkat institusional. Sehingga
kesadaran inidividu di tentukan pada setting
sosial seseorang dimana dia berada seperti yang terjadi di indonesia yang telah
di ulas sebelumnya sebagai negeri bekas ekspansi. Negeri ini berada pada sebuah
anomia zaman atas keasliannya. Institusional di produksi atas kesadaran
teknologi. Dimana keberadaan Indonesia di ombang-ambing oleh konteks zaman.
Tetapi yang perlu kita ketahui konstruksi modernitas membentuk
dunia yang bersifat ajeg. Dunia yang ajeg ini membuat manusia menjadi
terspesialisasi dengan profesionalismenya masing-masing. Dunia ini kembali pada
sebuah tatanam feodal yaitu sebuah sistem hirarkis yang mencuat atas tinggi dan
rendah dengan sebuah status sosial. Pembentukan stratifikasi dan diferensiasi
sosial di tentukan pada sebuah peran sosial atas institusinya. Sistem hirarkis
ini menandakan sebuah kejamakan dan pluralitas identitas yang di bentuk oleh
sebuah tatanam sosial yang ada dalam masyarakat. Kecenderungan ini bisa kita
amati dalam dunia birokratis dalam sebuah institusi tingkatan pengatahuan
individu telah terlgeitimasi atas spesialisasinya dengan bagian kerja
masing-masing. Di posisi ini individu tidak mencampuri wilayah kerja
masing-masing. Dalam satu institusi ratusan orang yang tidak memiliki peran
yang sama dalam sebuah institusi. Sebab keberdaan individu telah terlegitimasi oleh
sebuah peran yang di berikan oleh individu tersebut.
Kecenderungan ini menempatkan individu pada sebuah posisi yang
plural. Dengan kondisi yang plural dalam sebuah institusi menuntut sebuah
kompitisi untuk menaiki sebuah tahta atau status yang lebih tinggi dengan
menguasai disiplin yang lain dan pendalaman terhadap sebuah peran sosial
tersebut yang telah menjadi institusi. Pelegitimasian atas status sosial
individu oleh institusi memberikan sebuah anomia tersendiri bagi individu atas
perannya.
Posisi individu harus menempuh dan mengatahaui sebuah “peta
Masyarakat” sebagai ruang lingkupnya. Ia dapat merolokasikan dan memproyeksikan
dirinya sendiri berkenaan dengan baik dan perenungan dengan riwayat hidup masa
lalu maupun proyek masa depan. Hidup individu dilihat sebagai perjalanan
melintasi peta itu. Dan kumpulan pengatuhuan faktual yang telah di buat
bobotnya oleh individu. Sehingga kehidupan ini bisa di rencanakan. Seperti
halnya dengan sebuah jenjang karir sebuah karyawan (hal 68). Selain itu, perencanaan
itu terwujud dalam sebuah fantasi yang haya bereorentasi pragmatis atas sebuah
tatanam sosial yang ia kehendaki. Sehingga realitas sosial yang melingkupi kita
saat ini merupakan sebuah dunia yang hendak kita wujudkan.
Modernitas Versus kontra Modernitas
Prasangka terhadap modernitas memiliki perspektif yang
berbeda-beda setiap tokoh sosial dan ilmuwan yang lain. Akan tetapi, spirit
dari kehadiran dari modernitas adalah proses pembaharuan atau dengan kata lain
bahwa modernitas adalah proses kemajuan. Berdasarkan definisi ini Berger Dkk.
Mendefinisikan modernisasi sebagai Penyiaran paket-paket.
Mengantar manusia pada ruang modernitas adalah adalah bidang
teknologi, ekonomi, dan birokrtis politik. Dimensi ini mengantarkan dunia
ketiga menjadi inti dari ruang modernitas dunia ketiga dewasa ini. Maka dari
itu, Berger Dkk, mengemukakan sebuah hipotesis bahwa tingkat perkembangan
ekonomi berteknologi sama-sama merupakan variasi kunci dalam kemoderenan(hal
110).
Pengaruh yang paling besar dalam dunia ketiga adalah proses
indutrialisasi merupakan sebuah model ekspansi negara maju di dunia ketiga(Hal
111). Proses indutrialisasi ini melabrak budaya-budaya yang dianggap
konservatif yang bisa menghalangi laju modernisasi sehingga yang terjadi dalam
dunia ketiga adalah melemahnya sistem sosial konvensional khususnya pada
masyarakat pedesaan pada konsep-konsep yang dianggap bersifat promordial.
Sehingga modernisasi memberikan dampak besar terhadap kehidupan
kemanuisaan yang mengantarkan pada sebuah krisis kemanusiaan. sebab, nilai-nilai yang dianggap menantang terhadap
dirinya harus dinegasikan. Dengan sistem yang baru yaitu sistem tekonologi yang
besifat parokial (mengkotak-kotakkan). Pergeseran kehidupan manusia menjadi sebuah
simbolitas dengan legitamasi dari institusion mengantarkan manusia yang
bersifat homogen dalam sebuah institusi.
Selain itu kehidupan modern mendorong manusia untuk bersifat
konsumtivisme. Kehidupan manusia di berikan stimulus untuk mengembankan hasrat
yang di miliiki manusia. Akibatnya, tingkat
kreativitas dan inovatif dengan tingkat produktivitas semakin menurun dengan daya yang beli yang
tinggi akan tetapi tidak di barengi dengan nilai objektif atau nilai guna dan
fungsi kebutuhan manusia.
Wabah ini telah melanda negara-negara dunia ketiga yang terlena
dengan hegemoni barat. Seduksi yang di tawarkan barat telah manjadi opium/ekstasi
bagi negara dunia ketiga. Hal ini menjadi sebuah anomi yang mesti di carikan
obat penawarnya. Sehingga Berger DKK mengatakan bahwa dengan muncul problem-poblem
bagi negara dunia ketiga mencul berbagai respon terhadap modernisasi. Pihak
kontra dengan modenisasi banyak tipe atau model kontra terhadap modernitas
seperti ada yang menolak secara keseluruhan dan menolak nilai yang di bahah
modernisasi. Hal tergantung dari latar belakang ideologis dari pihak penolak
tersebut.
Proses penolakan terhadap modernisasi bukan hanya terjadi di
negara dunia ketiga akan tetapi juga terjadi di negera-negara Maju dengan
hadirnya beberapa budaya tanding dalam moderniasi itu sendiri. Sebab, modernisasi tidak mongakomodasi kepentingan
mereka di atas perwujudan kemaslahatan
golongan. Titik kejenuhan pada negara maju ketika modernitas telah merasuki
semua lini kehidupan membentuk pola perilaku masyarakat yang homegen. Titik
balik dari semua itu de-modernisasi di wilayah-wilayah tertentu.
Sebutir debu untuk Peter L Berger DKK
Gagasan yang di kembangkan dalam buku ini merupakan perwujudan
dari sebuah analsisis sosiologi pengatahuan untuk mengembalikan sosiologi dalam
objek kajian filsafat untuk menelanjangi sebuah realitas dengan mengunakan
pendekatan Fenomonologis. Objek kajian dari buku ini adalah modernitas sebagai
konteks sebagai fenomena perkembangan
zaman dan modernitas sebagai sebuah proses rekayasa sosial. Sebagai seorang
teoritikus tak luput dari sebuah kekurangan, gagasan tidak melahirkan sebuah
gambaran modernitas yang komprehensif tentang modernitas atau modernisasi.
Sebab kajian dalam buku ini memfokuskan pada objek kesadaran subjek sebagai aktor
dan agen sosial dalam modernitas itu sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar