Kamis, 13 Desember 2012

Review Buku : Pikiran Kembara (Moderniasasi dan Kesadaran Manusia)

Review Buku : Pikiran Kembara (Moderniasasi dan Kesadaran Manusia)
 oleh : sampean

Biarkan buku itu berbicara dengan realitasnya kepada kesadaran subjek.  Dimana realitas bersifat intension. Sebagaimana kematian pengarang yang telah di dengunkan oleh Roland Barthes terhadap sebuah karya tulis bahwa pengarang telah mati. Sebab, keterberian informasi dalam buku atau karya tulis tersebut ada pada otoritas subjek Pembaca untuk menginterpretasikan karya tersebut. Dengan menjalajahi karya dari pemikir terkemuka yaitu Peter L. Berger, Brigitte Berger, Hansfriend Kellner.  lewat tulisannya Pikiran Kembara (modernisasi dan Kesadaran Manusia) untuk membuka tirai kehidupan proyek modernitas yang menggugah kesadaran atas sebuah ketimpangan dalam proyek tersebut.
Buku ini mengulas sebuah realitas kemoderenan atas kesadaran manusia. karena dalam tatanam sosial hubungan individu dan realitas sekitarnya memeliki sifat yang otonom dan terikat dalam sebuah kelompok. Akan tetapi, dengan pola perilaku dalam masyarakat kontemporer yang paling dominan adalah perilaku otonom itu sendiri dalam sikap individu, yang bersifat zkisoferenia. Dalam pernyataan ini bahwa dalam ruang modernitas manusia mengalami sebuah kegalauan identitas atas dirinya.
Dengan melihat konteks keindonesiaan. Budaya itu sangat rupawan, pesonanya menebar ke semua ruang sehingga menjadi ektasi-ektasi kepada manusia atau masyarakat. Budaya itu menjadi candu dimana penikmatnya adalah masyarakat telah tersipuh di ruang-ruang rehabilitasi kebudayaan. Mereka tersenyum, tertawa dan bahagia atas sebuah kekerdilan dirinya yang tidak menyadari identitasnya. tak luput dari ingatanku di negeri ini telah di banjiri oleh budaya import yaitu pada tahun 2000 negeri di sodomi budaya India, namun sebelum itu budaya negeri telah berselingkuh dengan budaya Amerikanisme, namun pada akhirnya negeri ini telah bersenggama dengann korea dengan budaya Gangnam Style dan Boy And Gilrs Band. Namun, jauh sebelumnya negeri ini telah  memperistri budaya Islam. Entahlah selanjutnya siapalagi menjadi pasangan negeri ini. Negeri ini selayaknya pelacur budaya. Dimana masyarakatnya adalah pelaku prostitusi budaya.
Perilaku ini begitu nyata di hadapan kita semua budaya asing menjadi medang kepentingan untuk menjadi Eksis. Sebab Eksistensi dari sebuah manusia dalam lingkup sosial adalah mengikuti arus yang di bentuk oleh pola arus media atau teknologi atas budaya tinggi. Konstruksi kedirian individu telah dibentuk sedemikian rupa oleh teknologi untuk menginjakkan jejak lengkahnya untuk berjalan di atas pasir. Kontruksi itu hadir atas modeling aktor atas sebuah sosok figur yang patut di contoh oleh publik atas perilakunya, dimana tubuh adalah sebuah kontruksi produk.
Perjalanan negeri adalah perjalanan ekspansi budaya asing. Mengenal keasliannya seperti menutup mata di tengah kegelapan. Pergeseran-pergeseran kebudayaan hanya menapaki jejaknya atas spekulan-spekulan atas sebuah preuposisi yang tak jelas arahnya. Tak pelak lagi kita berada pada sebuah posisi global village (Perkampungan global). Dimana identitas telah melampui ruang dan waktu. Sulit mengenal batas dan teritorial dari sebuah negera seperti yang di ungkapkan oleh Anthony Giddens ruang ini telah menyusut. Kita di perhadapkan sebuah dunia virtual (nayata tapi tidak aktual). Kehidupan ini seolah menjadi tidak real seperti khayalan belaka yang tidak mengenal jejak. Ruang-ruan sosial menjadi tersitematisi  oleh sebuah tatanam monolitik terbentuk oleh kehidupan yang monodimensi. Realitas ini seolah menekan individu dalam kesadaran dalam dunia yang nyata.
Menapaki buku Peter L Berger DKK, meniupkan ruh atas sebuah kegelisahan atas realitas modernitas yang di tinjau dari sosiologi pengetahuan. Membuka wejangan-wejangan kesadaran manusia atas keberadaan teknologi. Peran teknologi dalam ruang modernitas sebab produksi teknologi memberikan peran penting terhadap kondisi kesadaran manusia. karena saat ini kesadaran modern telah banyak berpusat pada “Pandangan Dunia Ilmiah” atau “mentalitas Keinsinyuran”. Dari pandangan ini para ilmuwan atau Insinyur memandang masyarakat sebagai masyarakat berteknologi. (hal 29)

Kesadaran Subjek
Kesadaran subjek sebagai sebuah tumpuan dalam modernitas atas sebuah terwujudnya sebuah tatanam sosial atas produksi  teknologi dengan kesadaran manusia.  sehingga dalam proses abtrakasi terhadap realitas memberikan logika produksi telah terasuki dalam kesadaran manusia. Pembentukan kesadaran manusia terhadap produksi Teknologi telah mencecah pengetahuan dengan berbagai serpihan atas pengetahuan yang di miliki manusia.  serpihan-serpihan pengetahuan ini membentuk polanya masing-masing sesuai dengan kondisi sosial yang dialami seorang individu. Seperti yang di jelaskan dalam buku ini bahwa kehidupan keluarga dan kehidupan keluarga memiliki pola pengatahuan dan gaya kognitif di miliki individu (hal 34).  Kesadaran individu itu mengaju pada instutisi dalam kedirian individu. Sehingga terjadi sebuah keterpisahan antara dunia kerja dan dunia Individu (hal 34).
Akibatnya, pengetahuan tentang kerja di tentukan  pada tingkat institusional. Sehingga kesadaran inidividu di tentukan pada setting sosial seseorang dimana dia berada seperti yang terjadi di indonesia yang telah di ulas sebelumnya sebagai negeri bekas ekspansi. Negeri ini berada pada sebuah anomia zaman atas keasliannya. Institusional di produksi atas kesadaran teknologi. Dimana keberadaan Indonesia di ombang-ambing oleh konteks zaman.
Tetapi yang perlu kita ketahui konstruksi modernitas membentuk dunia yang bersifat ajeg. Dunia yang ajeg ini membuat manusia menjadi terspesialisasi dengan profesionalismenya masing-masing. Dunia ini kembali pada sebuah tatanam feodal yaitu sebuah sistem hirarkis yang mencuat atas tinggi dan rendah dengan sebuah status sosial. Pembentukan stratifikasi dan diferensiasi sosial di tentukan pada sebuah peran sosial atas institusinya. Sistem hirarkis ini menandakan sebuah kejamakan dan pluralitas identitas yang di bentuk oleh sebuah tatanam sosial yang ada dalam masyarakat. Kecenderungan ini bisa kita amati dalam dunia birokratis dalam sebuah institusi tingkatan pengatahuan individu telah terlgeitimasi atas spesialisasinya dengan bagian kerja masing-masing. Di posisi ini individu tidak mencampuri wilayah kerja masing-masing. Dalam satu institusi ratusan orang yang tidak memiliki peran yang sama dalam sebuah institusi. Sebab keberdaan individu telah terlegitimasi oleh sebuah peran yang di berikan oleh individu tersebut.
Kecenderungan ini menempatkan individu pada sebuah posisi yang plural. Dengan kondisi yang plural dalam sebuah institusi menuntut sebuah kompitisi untuk menaiki sebuah tahta atau status yang lebih tinggi dengan menguasai disiplin yang lain dan pendalaman terhadap sebuah peran sosial tersebut yang telah menjadi institusi. Pelegitimasian atas status sosial individu oleh institusi memberikan sebuah anomia tersendiri bagi individu atas perannya.
Posisi individu harus menempuh dan mengatahaui sebuah “peta Masyarakat” sebagai ruang lingkupnya. Ia dapat merolokasikan dan memproyeksikan dirinya sendiri berkenaan dengan baik dan perenungan dengan riwayat hidup masa lalu maupun proyek masa depan. Hidup individu dilihat sebagai perjalanan melintasi peta itu. Dan kumpulan pengatuhuan faktual yang telah di buat bobotnya oleh individu. Sehingga kehidupan ini bisa di rencanakan. Seperti halnya dengan sebuah jenjang karir sebuah karyawan (hal 68). Selain itu, perencanaan itu terwujud dalam sebuah fantasi yang haya bereorentasi pragmatis atas sebuah tatanam sosial yang ia kehendaki. Sehingga realitas sosial yang melingkupi kita saat ini merupakan sebuah dunia yang hendak kita wujudkan.

Modernitas Versus kontra Modernitas
Prasangka terhadap modernitas memiliki perspektif yang berbeda-beda setiap tokoh sosial dan ilmuwan yang lain. Akan tetapi, spirit dari kehadiran dari modernitas adalah proses pembaharuan atau dengan kata lain bahwa modernitas adalah proses kemajuan. Berdasarkan definisi ini Berger Dkk. Mendefinisikan modernisasi sebagai Penyiaran paket-paket.
Mengantar manusia pada ruang modernitas adalah adalah bidang teknologi, ekonomi, dan birokrtis politik. Dimensi ini mengantarkan dunia ketiga menjadi inti dari ruang modernitas dunia ketiga dewasa ini. Maka dari itu, Berger Dkk, mengemukakan sebuah hipotesis bahwa tingkat perkembangan ekonomi berteknologi sama-sama merupakan variasi kunci dalam kemoderenan(hal 110).
Pengaruh yang paling besar dalam dunia ketiga adalah proses indutrialisasi merupakan sebuah model ekspansi negara maju di dunia ketiga(Hal 111). Proses indutrialisasi ini melabrak budaya-budaya yang dianggap konservatif yang bisa menghalangi laju modernisasi sehingga yang terjadi dalam dunia ketiga adalah melemahnya sistem sosial konvensional khususnya pada masyarakat pedesaan pada konsep-konsep yang dianggap bersifat promordial.
Sehingga modernisasi memberikan dampak besar terhadap kehidupan kemanuisaan yang mengantarkan pada sebuah krisis kemanusiaan. sebab,  nilai-nilai yang dianggap menantang terhadap dirinya harus dinegasikan. Dengan sistem yang baru yaitu sistem tekonologi yang besifat parokial (mengkotak-kotakkan). Pergeseran kehidupan manusia menjadi sebuah simbolitas dengan legitamasi dari institusion mengantarkan manusia yang bersifat homogen dalam sebuah institusi.
Selain itu kehidupan modern mendorong manusia untuk bersifat konsumtivisme. Kehidupan manusia di berikan stimulus untuk mengembankan hasrat yang di miliiki manusia.  Akibatnya, tingkat kreativitas dan inovatif dengan tingkat produktivitas  semakin menurun dengan daya yang beli yang tinggi akan tetapi tidak di barengi dengan nilai objektif atau nilai guna dan fungsi kebutuhan manusia.
Wabah ini telah melanda negara-negara dunia ketiga yang terlena dengan hegemoni barat. Seduksi yang di tawarkan barat telah manjadi opium/ekstasi bagi negara dunia ketiga. Hal ini menjadi sebuah anomi yang mesti di carikan obat penawarnya. Sehingga Berger DKK mengatakan bahwa dengan muncul problem-poblem bagi negara dunia ketiga mencul berbagai respon terhadap modernisasi. Pihak kontra dengan modenisasi banyak tipe atau model kontra terhadap modernitas seperti ada yang menolak secara keseluruhan dan menolak nilai yang di bahah modernisasi. Hal tergantung dari latar belakang ideologis dari pihak penolak tersebut.
Proses penolakan terhadap modernisasi bukan hanya terjadi di negara dunia ketiga akan tetapi juga terjadi di negera-negara Maju dengan hadirnya beberapa budaya tanding dalam moderniasi itu sendiri. Sebab,  modernisasi tidak mongakomodasi kepentingan mereka di atas  perwujudan kemaslahatan golongan. Titik kejenuhan pada negara maju ketika modernitas telah merasuki semua lini kehidupan membentuk pola perilaku masyarakat yang homegen. Titik balik dari semua itu de-modernisasi di wilayah-wilayah tertentu.
Sebutir debu untuk Peter L Berger DKK
Gagasan yang di kembangkan dalam buku ini merupakan perwujudan dari sebuah analsisis sosiologi pengatahuan untuk mengembalikan sosiologi dalam objek kajian filsafat untuk menelanjangi sebuah realitas dengan mengunakan pendekatan Fenomonologis. Objek kajian dari buku ini adalah modernitas sebagai konteks sebagai  fenomena perkembangan zaman dan modernitas sebagai sebuah proses rekayasa sosial. Sebagai seorang teoritikus tak luput dari sebuah kekurangan, gagasan tidak melahirkan sebuah gambaran modernitas yang komprehensif tentang modernitas atau modernisasi. Sebab kajian dalam buku ini memfokuskan pada objek kesadaran subjek sebagai aktor dan agen sosial dalam modernitas itu sendiri.

0 komentar: