SOSIOLOGI, AGAMA PEMBEBASAN
Oleh : Sampean
Suatu perjalanan panjang bagi sosiologi untuk
lahir sebagai ilmu. Kajian tentang sosiologi hanya sebagai serpihan-serpihan
gagasan yang tersebar di setiap ilmuwan sosial dan sains. Serpihan gagasan
tersebut melintasi berbagai zaman hingga menemukan tuannya bernama Auguste
Comte. Auguste Comte kemudian meracik ilmu tentang kemasyarakatan yang
melahirkan sosiologi. Ilmu sosiologi pada dasarnya merupakan respons terhadap
kondisi kemasyarakatan dan perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu. Auguste
Comte menganggap bahwa untuk menyelesaikan persoalan dalam masyarakat di
butuhkan suatu disiplin keilmuan. Sebagai upaya untuk melakukan konstruksi dan
rekayasa sosial dalam masyarakat. Walaupun pada saat itu, kajian tentang
masyarakat mulai berkembang dengan berbagai macam peristilahan seperti statika
sosial yang dikembangkan oleh Quetelet, kemudian fisika Sosial yang di
kembangkan oleh Saint Simon, kemudian Auguste Comte mengembangkan istilah Sosiologi.
Pada akhirnya memicu terjadinya sengketa dalam peristilahan dan dimenangkan oleh Auguste Comte. Bagi Comte
hal ini merupakan suatu prestasi melahirkan disiplin ilmu yang mengkaji secara
murni tentang masyarakat. Comte mampu melepaskan ilmu kemasyarakatan dalam hal
ini Sosiologi dari Filsafat. Pencapaian
ini mempengaruhi perkembangan kajian ilmu sosial selanjutnya. Sehingga Comte
menaruh harapan besar bagi sosiologi untuk menjadi agama bagi umat manusia yang
sifatnya universal dan empiris.
Gagasan Comte tentang sosiologi tidak lepas dari
kondisi sosial di Prancis pada saat itu. Prancis pada saat mengalami sebuah guncangan
besar dalam perkembangan politik dan perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
pergolakan ilmu pengetahuan dalam fase
akhir abad ke-18 dan awal fase ke-19 merupakan transisi perkembangan pemikiran
dari rasionalisme menuju pemikiran empiris, era ilmu pengetahuan alam
menciptakan teknologi. Gagasan tentang rasionalisme Descartesian mulai di
tinggalkan sementara perkembangan sains sangat pesat, mulai ditemukan berbagai
macam teknologi yang membantu kerja manusia. kemudian kajian ilmu sosial
kemudian terseret ke ranah itu, sebagaimana Auguste Comte terpengaruh terhadap
kedirian sosiologi yang sifatnya positivistik. Istilah positivitik merupakan
istilah dalam filsafat yang melihat masyarakat sebagai kenyataan dengan
menggunakan metode ilmu pengetahuan (Veeger, 1993:17). Dari gagasan Comte terlihat
pola perubahan masyarakat dengan mengamati pola perkembangan akal budi manusia
dengan kenyataan sosial dalam masyarakat. Dengan relasi ini Comte menyusun
kerangka sosiologi untuk menjadi pengetahuan yang sifatnya empiris dengan
menautkan kenyataan sosial dalam masyarakat. sebab, kenyataan sosial merupakan
sesuatu yang bisa diamati dan di verifikasi. Sehingga mampu dipertanggungjawabkan
secara ilmiah. Secara lahiria sosiologi dihubungkan dengan proses perkembangan
filsafat positivisme dengan perkembangan kesadaran dalam masyarakat Prancis.
Sosiologi : Positivisme Persilangan akal
Budi Dan Kenyataan
Istilah positivisme dalam karya Auguste Comte
cukup mendominasi, dalam hal ini Comte sangat terobsesi terhadap sistem
masyarakat yang sifatnya harmonis. Masyarakat yang harmonis menurut Comte
ketika ada hukum yang sifatnya universal untuk mengatur masyarakat. hukum
tersebut bersifat positivistik dengan kata lain bahwa kenyataan sosial yang
meliputi, gejala sosial, proses sosial, interaksi sosial dan komunikasi hal itu
bisa di ukur dengan mengaitkan pendekatan ilmu alam. Pertautan ini yang
dianggap mampu menjawab persoalan masyarakat sebab kemampuan akal budi untuk
mencandra realitas di butuhkan alat yang lain. Sehingga Comte berusaha
mengombinasikan kemampuan indra dalam
memverifikasi kenyataan. Kenyataan dalam pendekatan positivisme bahwa kenyataan
yang dikonsepsikan harus sesuai dengan objeknya. Dengan kata lain, kenyataan merupakan keterjalinan proses
sosial dalam tatanan sosial yang melibatkan unsur aktor, ruang, waktu dan
gerak.
Sehingga Hukum positivisme mampu mengukur
kenyataan sosial dengan cara menguji dan meninjau masyarakat dengan pendekatan
ilmu pengetahuan (Veeger, 1993:17). Sehingga gejala sosial yang sifatnya
empiris harus diterima sebagai kenyataan dengan hukum yang mengaturnya untuk meramalkan situasi sosial (Veeger,
1993:18). Dalam bingkai positivisme masyarakat
dilihat sebagai sesuatu yang sifatnya alamiah sehingga bisa di ukur
dengan pendekatan ilmu alam. Dengan menggunakan determinisme alam bahwa
kenyataan sosial merupakan sesuatu yang berjarak dari pengamatnya. Dalam posisi
ini kenyataan hanya sebagai objek yang sifatnya netral. Kenyataan yang Sifatnya
netral menjaga kediriannya dari asumsi dan prasangka sekaligus mendorong
manipulasi terhadapnya. Manipulasi tersebut tidak terlepas dari kerangkeng
hukum keniscayaan yaitu hukum sebab akibat (kausalitas) dengan berbagai macam
landasan instrumental. Sebagai mana yang di jelaskan oleh Francis Budi Hardiman
(2014:23 ) bahwa :
Ilmu-ilmu sosial dihasilkan
diyakini sebagai potret tentang fakta sosial bisa dikenal dengan bebas nilai (Value free) yaitu tidak mengandung
interpretasi subjektif dari penelitinya. Siapa pun dia asalkan memenuhi
prosedur-prosedur penelitian tidak mempengaruhi pengetahuan yang dihasilkannya.
Sehingga pengetahuan yang dihasilkannya
dapat dipakai secara instrumental oleh siapa saja, sebab bersifat instrumental
dan universal.
Prosedur penelitian yang dimaksud oleh F.B.
Hardiman di sini sesuai dengan kaidah hukum positivisme yaitu distansi penuh
(penjarakan), netralitas, manipulasi, hukum-hukum, bebas kepentingan,universal
dan instrumental. Pendekatan ini dilakukan Comte dalam melihat masyarakat untuk
mendirikan sosiologi sebagai disiplin keilmuan sekaligus agama yang sifatnya humanis.
Keberadaan agama yang humanis yang sifatnya universal untuk memproyeksikan
masyarakat yang harmonis tidak lepas tingkat atau perkembangan kesadaran
manusia. kesadaran manusia atau pencapaian akal budi manusia akan mengantarkan
manusia pada titik keteraturan sosial yaitu masyarakat positivistik. Hal ini
dapat dilihat dalam tatanan sosial dan perkembangan akal budi dalam konsepsi
Comte. Ramalan atau proyeksi Comte tantang masyarakat harus melalui tahapan
perkembangan kesadaran atau akal budi.
Evolusi : statika dan dinamika sosial
Perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat
sangat ditentukan oleh perkembangan akal budi. Akan tetapi, Comte juga tidak
menafikan tentang sesuatu yang tetap dalam masyarakat yaitu keteraturan.
Gagasan tentang keteraturan hadir dalam prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan itu
dilandasi atas akal budi dan indra. Akal budi dan indra sifatnya universal
dimiliki oleh setiap manusia. unsur dasaria ini akan menghasilkan persepsi,
asumsi dan kesimpulan yang sama. Oleh kesamaan ini menurut Comte akan
melahirkan hukum yang sama di seluruh dunia dan memiliki tahap perkembangan
yang sama. Sebab, masyarakat menurut Comte bersifat “holistik” yaitu masyarakat
dilihat sebagai suatu kesatuan, arah dan bentuk perkembangan masyarakat tidak
bergantung pada inisiatif anggotanya, tetapi proses spontan – otomatis perkembangan akal budi manusia (Veeger,
1993:20). Manusia menurut Comte tidak punya otoritas untuk menentukan sejarahnya
akan tetapi manusia bergantung pada hukum deterministik alam, sehingga manusia
harus beradaptasi dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Dasar ini
menjadi pijakan hukum evolusi yang di gagas oleh Comte.
Pijakan tersebut menginspirasi Comte bahwa dalam
masyarakat terdapat yang tetap dan teratur. Walaupun dasar pemikiran ini sangat
dipengaruhi oleh gagasan pendahulunya yaitu Plato tentang orde yang di latar belakangi oleh kenyataan, dalam
diri manusia terdapat unsur salin membutuhkan dan saling melengkapi satu sama
lain (Veeger, 1993:21), selain itu, gagasan tentang tahapan perkembangan akal
budi dalam masyarakat tidak lepas dari pengaruh gurunya yaitu Saint Simon
sebagai seorang sosialisme industrialis mengedepankan kebersamaan dan
persaudaraan (Giddens, 2009:6). Selain itu, beberapa Orang di sekitarnya Comte
turut memberikan kontribusi terhadap pemikirannya termasuk Quetelet yang
mengembankan fisika sosial yang di dasari atas filsafat probabilistik Concordet
(Riyanto, 2008:2). Pengaruh kedua tersebut menimbulkan kegeraman bagi Comte
karena masyarakat dijadikan sabagai kuantifikasi matematika yang mereduksi
manusia dan masyarakat. sebab Comte menganggap bahwa masyarakat mempunyai hukum
sendiri yaitu Positivisme.
Dari berbagi corak pemikiran yang mempengaruhinya
Comte menyusun kerangka teoritisnya dalam dua bangunan yang besar yaitu hukum
statika sosial dan dinamika Sosial. Statika sosial yaitu semua unsur struktural
yang menunjang kestabilan yang sifatnya tetap. Di antaranya struktur sosial
harus ditunjang oleh hukum, kewajiban, hak, sistem nilai dan sistem norma yang
mampu mewujudkan kehidupan yang sama. Hal ini di dasari atas kemauan umum
menurut Comte. Tapi, dalam perkembangan pemikiran Comte, unsur perasaan turut
mewarnai pemikirannya menjadi cerminan agama humanis.
Tapi yang paling ditekankan dalam pemikiran
Auguste Comte adalah dinamika sosial. Dinamika sosial adalah proses pergolakan
menuju perubahan sosial. Dinamika sosial merupakan daya gerak sejarah, pada
setia tahap evolusi untuk mencapai tahap keseimbangan. Dalam proses evolusi
yang terjadi dalam masyarakat menurut Comte merumuskan hukum tiga perkembangan
masyarakat sebagai berikut :
Tahap Pertama, tahap agama atau tahapan mistis. Pada
tahapan ini perkembangan masyarakat dilihat dari perkembangan akal budi dengan
melihat kenyataan di masyarakat. akal ditautkan (dikaitkan) dengan berbagai
kejadian atau peristiwa terjadi di sekitar kita. Di sisi ini, manusia belum
mampu mengindentifikasi dirinya sebagai Mahluk yang punya kuasa atas yang lain,
sehingga melahirkan sebuah dunia yang di hayati dengan cara mengagumkan
sekaligus menakutkan. Sehingga pada tahap ini manusia melakukan personifikasi
(memberikan kekuatan terhadap benda mati) terhadap alam. Dengan kata lain,
tahap mistis merupakan masa kanak-kanak
manusia untuk mencari segala penyebab fenomena, baik dengan cara mengaitkan
dengan benda-benda di sekitarnya. Pada tahan manusia mengalami proses perkembangan
evolusi mistis juga yaitu tahap animisme, dinamisme, politeisme dan monoteisme.
Perkembangan evolusi mistis mewarnai perkembangan keagamaan di beberapa wilayah
di dunia.
Tahap Kedua, tahap metafisika. Pada tahap ini pada
dasarnya merupakan lanjutan dari tahap sebelumnya. Tetapi kenyataan tidak lagi
ditaukan dengan hal bersifat mistik. Namun, akal budi mencari sebuah formulasi
baru dengan cara melakukan abstraksi terhadap kenyataan. Proses abstraksi
tersebut masih bersifat filosofis dan universal. Pada tahap ini manusia belum bisa
berpikir ilmiah sehingga membutuhkan lompatan selanjutnya.
Tahap Ketiga, tahap positivisme yaitu tahap yang
meluruhkan tahap mistis dan agama karena kemampuan akal budi sudah mampu
berpikir ilmiah dan mendalam. Pada keadaan ini kemampuan intelegensi manusia
pada tahap kesempurnaan, pada tahap ini manusia melarikan diri dari tindakan
yang sifatnya abstrak menuju tahap eksperimentasi. Manusia menemukan hukum
positivisme yang mampu menyusun keteraturan dalam masyarakat, manusia telah
mampu mengetahui untuk meramalkan hukum-hukum yang efektif berupa hubungan
suksesi dan kesamaan yang tidak berubah.
Dari tahapan yang di gagas oleh Comte sosiologi
menjadi sebuah disiplin ilmu pengetahuan yang positif. Sebagaimana di jelaskan
Anthony Giddens (2009:10) Bahwa :
Fisika sosial yang dibaptis
kembali menjadi sosiologi pada gilirannya harus menjadi sebuah ilmu pengetahuan
positif. Ilmu ini memungkinkan kita mengetahui hukum-hukum organisasi
masyarakat (Statika sosial) sekaligus hukum evolusinya (dinamika Sosial). A.
Comte berusaha mencari mencari penyelesaian atas berbagai persoalan dalam
masyarakat. tujuannya adalah untuk memecahkan persoalan sosial agar mampu
mengambil tindakan pencegahan (meramalkan) agar kita mampu menguasai.
Prinsip ini membawa Comte untuk menggagas sebuah agama yang humanis untuk
mananggalkan agama-agama yang berkutat dalam gereja serta prinsip filsafat
dalam kehidupan manusia. sehingga Comte berharap Sosiologi akan menjadi tonggak
agama yang humanis dan mampu menjawab persoalan dalam masyarakat. Gagasan ini
tidak lepas dari perkembangan Prancis pada abad ke 18 menuju abad 19,
masyarakat Prancis mengalami transisi dari paham rasionalistis dan dominasi
gereja menuju masyarakat industri. Agama yang humanistik tidak lepas juga dari
pengaruh pergolakan batin Auguste Comte dengan hubungannya dengan Clotilde De
Veux.
Walaupun gesitnya Comte memperjuangkan agama
Humanis untuk melepaskan dari filsafat dan agama. Tapi, Comte terjebak dengan
penjabaran teorinya yang sangat filosofis dan kental nuansa spiritualitas.
Pemaparan berhubungan dengan sosiologis ternyata sangat filosofis walaupun melakukan
pendekatan yang positivisme.
Sosiologi Sebagai Agama Pembebasan
Dalam arus pemikiran Comte secara garis besar
terbagi dua yakni pada tahap pertama Comte, sebagai pengagung akal budi atau
kekuatan intelegensi sedangkan pada tahap kedua, Comte melibatkan unsur
perasaan, cinta dan kasih sayang dalam proses pembentukan karakter masyarakat.
kedua fase perkembangan gagasan Comte tersebut terjadi polemik yaitu
penghujatan dan pengultusan terhadap dirinya. Di posisi penghujat Comte
dianggap tidak konsisten dalam mengembangkan gagasannya. Comte mengurangi peran
akal budi dalam proses tatanan masyarakat. sedangkan di posisi pengultusan
Comte menganggap bahwa Comte hendak menyempurnakan gagasannya, menurut para
pengikutnya ketika masyarakat diserahkan pada kekuatan intelektual semata
justru masyarakat akan mengalami kembali ketimpangan. Kehawatiran tersebut
tanpa di dasari alasan, akan tetapi, pada saat itu Prancis terlalu
mengedepankan pengetahuan sebagaimana pengultusan terhadap agama. Hal seperti
ini diantisipasi Oleh Auguste Comte kemudian mendeklarasikan sebuah agama
Humanis yaitu Sosiologi.
Agama ini menurut Comte menjadi akan perekat dalam
masyarakat yang mengedepankan tentang Cinta, Perasaan dan kasih sayang. Menurut
Comte unsur ini merupakan unsur yang universal yang lain, dari akal budi dalam
diri manusia. unsur universal ini dikembangkan Comte untuk menciptakan
masyarakat berdiri di atas keadilan, keselarasan, persaudaraan dan kebersamaan.
Asas moral ini menjadi dasar pendirian agama Humanis Comte yang kita kenal
sekarang sebagai Sosiologi. Tapi yang menarik dalam diri Comte adalah dia tidak
mengultuskan model masyarakat yang berkembang saat ini yaitu kapitalisme,
sosialisme, maupun komunisme. Comte hanya mengharapkan masyarakat yang harmonis
dan keteraturan. Comte tidak terjebak pada narasi yang besar yang berkembang
dalam masyarakat. Justru Comte meruntuhkan itu untuk menciptakan narasi-narasi
kecil tentang nilai-nilai universal dalam diri manusia.
Dengan dasar ini, Comte Merumuskan “agama Humanis”
untuk menjawab persoalan manusia yang mengalami anomali pasca peran dunia
kedua, berbagai guncangan sosial di masyarakat Prancis pada khususnya. Dengan
persoalan tersebut “agama humanis” menjadi yang terdepan dalam merekayasa
masyarakat. sebab. Agama Humanis ini mampu meramalkan kondisi suatu masyarakat.
sehingga tugas utama “Agama Humanis” yang di kembangkan oleh Comte pada
dasarnya mengandung prinsip pembebasan manusia dari keterpurukan, penindasan,
dan kezaliman. Prinsip ini sosiologi seharusnya mampu menjawab persoalan
masalah kekinian, bahkan masa depan manusia.
Mungkin tidak salah
ketika sosiologi nantinya, dijadikan sebagai ilmu konsultan persoalan bangsa.
Ilmu sosiologi dijadikan sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan dalam
hal pertimbangan penerapan hukum dalam masyarakat. Sesuai dengan napasnya
Sosiologi sebagai spirit agama pembebasan yang humanis. Tapi, di sisi yang
lain, sosiologi yang di gagas oleh Comte tidak luput dari kekurangan sehingga
butuh penyempurnaan dari pengikut-pengikutnya dan tidak terjebak oleh dogma
Comte. Sebab, masyarakat senantiasa terus berkembang maka ilmu sosiologi juga
harus terus berkembang dengan spirit awalnya yaitu pembebasan berdasar pada
akal budi dan cinta. Sebab, kekuasaan tanpa di dasari dengan prinsip ini adalah
tirani. Pada dasarnya kedua unsur ini terdapat pada agama Ibrahimia. Pada
dasarnya setiap Agama lahir untuk menjawab persoalan kaumnya, hanya saja
tiraniawan saja yang menyulap agama menjadi keji. Sebagaimana halnya dengan
sosiologi. Sosiologi harus tampil melawan tirani tersebut dan memperjuangkan
risalah kenabian (profetik).
Daftar Bacaan
Doyle Paul Johnson, Teori
Sosiologi Klasik dan Modern jilid I, di Indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang.
Jakarta. Gramedia
Phillippe Cabin & Jean
Francois Dortier (ed). 2009. Sosiologi Sejarah dan Berbagai pemikirannya.
Djogjakarta. Kreasi wacana.
K.J Veeger. 1993. Realitas
Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas hubungan individu-masyarakat dalam
cakrawala Sejarah sosiologi. Jakarta. Gramedia
Geger Riyanto. 2009. Peter L
Berger Perspektif Metateori Pemikiran. Jakarta. LP3ES.
F.Budi Hardiman. 2014.
Melampaui Positivisme dan Modernitas ; Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas. Yogyakarta. Kanisius.
C.A Van Peursen. Susunan Ilmu
Pengetahuan sebagai pengantar Filsafat ilmu, diterjemahkan J. Drost. Jakarta.
Gramedia.
Jujun Sumardaminta.
Filsafat Ilmu
Loren Bagus, Kamus Filsafat
0 komentar:
Posting Komentar