Diskursus
Gender : Visi Eksploitasi Terhadap
Perempuan
Oleh
: Sampean
Dalam era perkembangan ilmu pengetahuan
semakin pesat, arus wacana semakin meningkat dalam berbagai lintas keilmuan
yang mulai salin terkait dan mengalami ketergantungan satu sama lain termasuk
diskursus tentang gender. Diskursus gender hadir dari sebuah kegelisahan
terhadap sebuah ketimpangan sosial di arus modernitas. Ketimpangan itu
melahirkan sebuah diskursus tentang gender dengan spirit kesetaraan. Namun,
dalam perkembangan wacana gender mengalami berbagai polemik sebab isu gender
mencoba melabrak sebuah kemapanan atas nama kesetaraan dan kebebasan.
Gender merupakan gaung yang di bawah
oleh para kaum feminis untuk melepaskan perempuan dalam sebuah jeratan konstruk
budaya patriarki. Upaya pembebasan ini di topang oleh wacana gender. Dari upaya ini nampak bahwa isu
gender melakukan rekayasa untuk dalam memperjuangkan sebuah dunia yang baru
yaitu dunia tanpa penindasan. Di balik semua itu apa sebenarnya gender itu?..
Gender merupakan diskursus perbedaan
perempuan dan laki-laki di tinjau dari segi peran dan status dalam kehidupan
sosial. Berarti dalam pengertian ini bahwa diskursus gender merupakan sebuah
hasil konstruksi sosial budaya terhadap peran dan status manusia. Dari
pengertian ini pula bahwa isu gender di gunakan sebagai analisis untuk melihat
sebuah ketimpangan sosial yang tidak berpihak pada perempuan. Sebab, wacana
gender di gunakan para kaum feminis sebagai ideologisasi untuk memperjuangkan
sebuah kesetaraan.
Ungkapan ini senada dengan kutipan dari
Showalter bahwa yang mengartikan gender lebih dari sekedar pembedaan laki-laki
dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya, tetapi menekankan gender
sebagai konsep analisa sebagai mana kita dapat menggunakannya untuk menjelaskan
sesuatu. Sehingga isu gender bagi kaum feminis
merupakan sebuah momentum untuk melakukan emansipasi terhadap perempuan.
Sebab, perempuan dalam konstruk
kehidupan sosial mengalami ketertindasan oleh budaya patriarki.
Menurut pandangan kaum feminis bahwa
perempuan selama ini ini hanya berkutat pada ranah domestik yaitu bahwa
perempuan hanya bisa berkiprah sebagai pelayan rumah tangga atau yang biasa
kita kenal pekerjaan perempuan adalah kasur, sumur dan dapur. Dari dominasi ini
perempuan di dorong untuk keluar berkiprah di ranah publik. Sebab dengan
melihat volume penduduk dunia bahwa perempuan lebih banyak daripada laki-laki.
Namun dari segi realitas yang berkiprah di ranah publik masih di dominasi oleh
laki-laki sehingga perlu memberikan kesempatan yang sama terhadap perempuan. serta
potensi yang di miliki oleh manusia adalah sama Karena setiap manusia dalam
proses untuk menjadi.
Gelombang perjuangan perempuan telah mendapat
legitimasi dari PBB. Arus pembelaan kesetaraan semakin meningkat sebab wacana
kesetaraan gender menjadi indikator sebuah kemajuan suatu negara melalui HDI (Human Developtment Indeks). Sehingga
dalam respons ini merupakan hal yang sangat positif bahwa perjuangan yang
dilakukan oleh para kaum feminis menuju pintu keberhasilan. Keberhasilan ini di
tandai oleh perempuan di berbagai belahan dunia mendapatkan kesempatan kerja
yang sama dengan upah yang sama dan pendidikan yang sama.
Dari implementasi ini peraturan ini
memberikan sebuah babakan baru dalam mengukur sebuah kemajuan suatu negara
dengan melihat partisipasi perempuan di ranah publik. Selain itu, kebijakan ini
memberikan warna baru di ranah publik karena terbuka semua ruang-ruang sosial bagi
perempuan untuk berkiprah di bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan
kebudayaan.
Kebijakan ini di iringi sebuah tanda
tanya ketika negara-negara maju mengalami sebuah kemerosotan pendapatan dan
mengalami stagnan dalam mengembang
perusahaan. Sebab industri-industri negara maju sedang mengalami
keterbatasan sumber daya manusia sementara suplai tenaga kerja dari laki-laki
semakin berkurang, selain itu tingkat kelahiran di negara-negara maju mengalami
ketidakseimbangan atau tingkat kelahiran di negara maju sangat rendah di banding tingkat Kematian semakin
meningkat. Upah buru atau tenaga kerja semakin melambung tinggi. Hal ini
memberikan sebuah kehawatiran sendiri bagi para pengusaha-pengusaha besar
terhadap kekurangan tenaga kerja sebab mereka sangat bergantung pada aspek
tenaga kerja. Selain itu, perusahaan-perusahaan raksasa mulai kehilangan
karismanya di belantara pasar bebas karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang satu dengan
yang lain. Hal ini di sebabkan oleh kekurangannya tenaga ahli dari kaum
laki-laki sehingga perlu inovasi sebuah kebijakan baru dari para kaum korporasi
dengan mendorong perempuan ke ranah publik.
Sebab volume tenaga kerja dari kaum
perempuan lebih banyak daripada laki-laki dan memiliki kemampuan kognitif dan skill yang sama. Sehingga di pandang
perlu melakukan pemberdayaan terhadap
perempuan. Sehingga ketersediaan tenaga kerja semakin luas terkhusus di
negara-negara dunia ketiga sebab bagi mereka volume tenaga kerja di dunia
ketiga sangat besar sehingga memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk
membuka ruang untuk merekrut tenaga kerja yang banyak dengan harga yang murah
dengan kualitas yang sangat memadai dengan motivasi kerja yang sangat tinggi.
Sehingga diskursus gender seolah di
tunggangi oleh sebuah kekuasaan dan kepentingan para kaum korporasi sebagai
babakan baru di era globalisasi ini. Hal ini memberikan dampak positif bagi
kaum para korporasi untuk melakukan eksploitasi tenaga kerja terhadap
perempuan.
Dari perspektif ini bahwa diskursus
gender telah membuktikan dirinya telah bermuka
dua atau bersifat ambivalen sebab para kaum feminis berharap bahwa
perempuan mampu melepaskan jeratan dari kaum patriarki akan tetapi di sambut
dengan perselingkuhan kebutuhan korporasi terhadap kebutuhan tenaga kerja.
Bisa kita lihat implementasi kebijakan
ini, dari berbagai instansi-instansi, perusahaan yang telah di dominasi oleh
kaum perempuan. Bahkan perempuan telah menjadi bahan pajangan dan tontonan bagi
laki-laki di berbagai media. Sebab perempuan menjadi ikon kecantikan dengan
memamerkan kemolekan tubuhnya dengan mengait para konsumer. Para pengusaha
mendorong perempuan untuk menjadi simbol sebuah iklan bahkan bintang iklan di
dominasi oleh perempuan yang estetis dan eksotis. Dan tubuh perempuan menjadi sangat
murah untuk di pertontonkan dan bahkan gratis karena tak di lirik oleh
pengusaha namun mereka telah mengikuti ikon dari iklan tersebut.
Keterlibatan
perempuan di ranah publik di sambut baik
oleh para para kapitalis-kapitalis untuk mengeksploitasi manusia. Para
kapitalis itu berlomba untuk meningkatkan proses produksi mereka dengan
eksploitasi tenaga kerja dari kaum perempuan. Posisi perempuan menjadi fungsi
ganda perempuan berkecimpung di ranah domestik sekaligus perempuan ikut
terlibat dalam ranah publik demi sebuah keseteraan dan pertukaran peran. Namun
membuat perempuan dalam keadaan terjepit.
Memperjuangkan hak perempuan dalam
menuntut kesetaraan dengan laki-laki
merupakan sebuah keharusan akan tetapi kesetaraan itu menjebak perempuan
yang pada masalah yang pelik di atas sebuah tuntutan yang lebih. Namun yang seharusnya perempuan yang
di lakukan oleh perempuan adalah menuntut sebuah keadilan. Bergeraklah untuk
menuntut keadilan itu. Sebab hari ini bukanlah perempuan yang mengalami
penindasan akan tetapi laki-laki merasakan yang sama.
***
sAmPeAn
1 komentar:
Mantap..lanjutkan kreasi penannya. Jika ditambah data-data itu bagus Kang
Posting Komentar