Senin, 23 April 2018

KETIKA ESOK TIADA

Aku ranting yang terpapar api. Sekujur tubuhku dipenuhi nyala, rona merah menjilat langit-langit. Di malam kali ini, aku ranting yang telah jadi abu. Aku terbang bersama angin mencarimu. Pada malam yang kalap ini, aku terdampar di suatu kota kecil, Bogor. Orang - orang di kota ini, senang sekali mengejar waktu, tergesa,  kerap kali pula, terhenti. Mereka senang sekali membuang waktunya, sia- sia.

Kamu tahu kan, arti sia-sia ; berumur  panjang tanpa pekerjaan, menghabiskan waktu bermain-main, menyisakan waktu di jalan. Aku disini, Din. takluk oleh waktu. Aku ingin menepi, menemui dirimu, secepat mungkin. Aku takut, esok tiada lagi, tanpa menatap matamu. Di matamu, aku melihat purnama yang berpendar untuk hari esok. Aku takut, Din, usia ku makin pangkas oleh waktu, aku belum sempat bertemu kembali. Semenjak perpisahan, di halaman rumahmu, di bawa pohon sukun, di lingkaran taman yang kamu rawat di saban pagi dan sore, aku takluk dengan kesepian.  Ia kerap kali menyergap ku tiba-tiba. Aku berusaha, memadamkan kesepian itu serupa aku memadamkan api di tubuhku, malam ini. Aku kalah, kesepian  terlanjur mengendap dalam tubuhku, rindu telah mengaduknya, bayanganmu datang seketika menampar ku. Aku tidak  tahu, kekerasan ini berhenti sampai kapan.






0 komentar: